Magi
oleh P. H. Embuiru, SVD
Magi berasal dari perkataan Yunani “mageia” artinya perbuatan ajaib yang dilakukan golongan imam dari para ahli magi itu. Dalam bahasa Indonesia ada banyak kata untuk magi: ilmu sihir, ilmu gaib, jampi dan sebagainya.
Pada umumnya magi mempunyai arti negatif. Yang dimaksud dengan magi ialah pertunjukan atau praktek yang didasarkan pada semacam kekuatan adikodrati, dengan mana manusia, benda ataupun upacara tertentu dianggap dapat menghasilkan hal-hal yang penuh rahasia dan abnormal.
LATAR BELAKANG MAGI
1. Pandangan tentang dunia dan pandangan tentang hidup menurut orang-orang primitif, yang dalam ilmu agama disebut “dynamisme” artinya siapa yang hidup dan berbuat berdasarkan pandangan tentang hidup yang dinamis itu, berpangkal pada suatu keyakinan bahwa orang-orang tertentu, benda-benda tertentu dan sebagainya mengandung “dynamic” (= daya, kekuatan) yang istimewa.
Ada benda yang dianggap mempunyai kesaktian. Di Jawa Tengah ada Kyai dan Nyai Sekati, yakni seperangkat gamelan keramat yang dipersuami-isterikan satu sama lain; Kyai Jagur dan Nyai Sotomi, yakni meriam-meriam kuno peninggalan VOC.
2. Faktor kedua yang memegang peranan penting dalam magi ialah kepercayaan bahwa orang-orang tertentu dapat menggunakan daya-daya magis untuk tujuan tertentu dengan mantera, suara atau perbuatan.
MACAM MAGI
1. Menurut Cara Melaksanakannya:
a. Magi Kontak: ialah magi yang berpangkal pada anggapan bahwa dengan jamahan, singgungan atau kontak terjadi peralihan “daya kekuatan” atau kesaktian dari orang yang satu ke orang yang lain. Misalnya, seorang dukun menyembuhkan suatu penyakit dengan meludahi atau meniup atau menjamah tempat yang sakit itu.
b. Magi Imitatif: ialah magi yang berpangkal pada prinsip bahwa sesuatu hal atau keadaan dapat menimbulkan atau menolak hal atau keadaan lain yang serupa. Misalnya, sorang wanita hendak bersalin; dukun memberi perintah supaya semua pintu, jendela dan lemari dibuka lebar-lebar. Seorang wanita hamil; ia membuat boneka (bayi tiruan) dan selama mengandung, boneka itu dirawatnya baik-baik seperti ia merawat bayi. Pemburu, sebelum berburu terlebih dahulu menusuk gambar binatang-binatang pada sehelai kertas, dengan harapan bahwa perburuannya akan berhasil.
2. Menurut Tujuan dan Lingkungannya:
a. Magi Produktif: misalnya magi untuk berburu, untuk kesuburan tanah, untuk membuat hujan, untuk membuat perahu, untuk mendapatkan untung dalam perdagangan.
b. Magi Protektif: misalnya magi untuk menolak bahaya, untuk mengobati penyakit, untuk keselamatan dalam perjalanan, untuk perbuatan pantang, untuk menjaga harta benda.
c. Magi Destruktif: misalnya magi untuk mendatangkan penyakit, malapetaka, angin topan, kematian dan sebagajnya.
Dalam mempraktekkan magi, biasanya terdapat tiga unsur pokok: 1. unsur alat atau obat, artinya sesuatu yang dipakai; 2. unsur upacara, artinya sesuatu yang dilakukan; 3. unsur mantra, artinya sesuatu yang diucapkan.
Alat atau obat biasanya berupa sesuatu yang teknis belaka, sedangkan upacara berfungsi untuk menghubungkan magi dengan obyek tertentu. Yang berperan paling penting ialah mantra. Mantra adalah terjemahan dari keinginan manusia dalam kata-kata, guna memberi dorongan kepada kekuatan-kekuatan alamiah.
3. Menurut Akibatnya:
a. Magi Putih: mendatangkan kebaikan
b. Magi Hitam: mendatangkan akibat buruk (santet, guna-guna).
AGAMA MELARANG MAGI
Orang yang dengan sesungguh hati mengasihi agamanya, menerima suatu panggilan untuk memberantas magi yang terdapat di dalam hidupnya sendiri dan di alam sekitarnya.
1. Magi memiliki sifat egosentris, dan bukan teosentris, artinya bahwa ia tidak berpusatkan pada Tuhan tetapi pada manusia. Manusia yang berjiwa magis tidak mau mengabdi, tetapi mau berkuasa, mau memaksa. Manusia yang berjiwa magis adalah seorang oportunis, seorang yang berbuat sewenang-wenang, kejam dan lalim. Bukan kekudusan nama Allah, bukan pelaksanaan kehendak Allah, melainkan pemuasan keinginan dan nafsu sendiri yang diutamakan.
2. Orang yang berjiwa magis tidak peduli dari mana pertolongan datang. Ia tidak menghiraukan siapa yang menolongnya, asal saja ia ditolong dalam melaksanakan kehendaknya. Jika dukun A gagal, ia pergi ke dukun B dan seterusnya.
3. Magi memupuk ikatan yang terlampau erat kepada manusia, yaitu kepada tukang sihir. Selama orang terpengaruh oleh tukang sihir tertentu, ia seolah-olah menjadi budak, lemah, terikat dan tergantung pada orang lain.
CATATAN
Kata orang Roma, “Tempora mutantur et nos mutamur in illis” artinya waktu berubah dan kita pun ikut terhanyut di dalamnya. Hidup manusia memang sering dilihat sebagai sebuah perjalanan: datang dari Tuhan melalui kandungan ibu dan kembali kepada Tuhan melalui kandungan bumi. Sejalan dengan itu Kitab Mazmur 103 mengingatkan: “Hidup itu selaksana rumput, selaksana bunga di padang; ia berkembang tetapi bila datang angin, ia diterbangkan dan orang tak pernah tahu dimana ia pernah berdiri.”
Konsekuensinya, yang dikejar dalam hidup ini, bukan banyaknya, tetapi mutunya; bukan kuantitasnya tetapi kualitas hidupnya. Maka kalau agama (termasuk Gereja) melawan praktek magi, itu semua karena agama ingin supaya hidup manusia lebih bermutu, lebih berkualitas. Aneh kalau di zaman yang semakin maju ini, banyak orang masih menyandarkan hidupnya pada hal-hal yang berbau magi.
Sumber : “Marga Bahagia” oleh H. Embuiru; Penerbit Nusa Indah 1979, Ende - Flores
Catatan : P. Gregorius Kaha, SVD
|