Kremasi
oleh: P. William P. Saunders *
Baru-baru ini, isteri seorang tetangga meninggal dunia. Ia kemudian dikremasi. Mereka hendak membawa abu jenazah dan menebarkannya di pegunungan di mana ia sangat suka mendaki. Apakah kremasi diperbolehkan dalam agama Katolik dan apakah diperbolehkan menebarkan abu jenazah?
~ seorang pembaca di Falls Church
Kremasi jelas semakin kian populer; sesungguhnya kremasi merupakan sesuatu yang baru dalam tradisi Kristen Katolik. Gereja Perdana mempertahankan praktek Yahudi menguburkan jenazah dan menolak praktek kremasi yang umum di kalangan bangsa kafir Romawi. Dasar dari ketentuan ini adalah bahwa Tuhan menciptakan setiap orang seturut gambar dan citra-Nya, dan oleh sebab itu tubuh adalah baik dan sepatutnya dikembalikan ke tanah setelah kematian (Kej 3:19). Di samping itu, Tuhan kita Sendiri dikuburkan dalam makam dan kemudian bangkit dengan mulia pada hari Paskah. Sebab itu, umat Kristiani menguburkan mereka yang telah meninggal dunia demi hormat terhadap tubuh dan sebagai antisipasi kebangkitan pada hari penghakiman terakhir. St Paulus mengingatkan kita, “Sebab pada waktu tanda diberi, yaitu pada waktu penghulu malaikat berseru dan sangkakala Allah berbunyi, maka Tuhan sendiri akan turun dari sorga dan mereka yang mati dalam Kristus akan lebih dahulu bangkit” (1 Tes 4:16).
Sikap Gereja menentang kremasi juga didorong oleh mereka yang memperolok keyakinan akan kebangkitan badan. Banyak dari antara para martir awali dibakar di atas tiang pembakaran dan kemudian para penganiaya menebarkan abu jenazah mereka sebagai tanda menentang keyakinan Kristiani ini.
Setelah disahkannya kekristenan pada abad keempat, kremasi pada umumnya tidak lagi dilakukan dalam Kekaisaran Romawi. Sementara budaya Kristiani terus tersebar luas, juga di tanah-tanah misi, pemakaman jenazah menjadi umum, bahkan dalam budaya-budaya yang dulunya mempraktekkan kremasi. Karena keyakinan religius masyarakat, maka otoritas-otoritas sipil juga melarang kremasi. Sebagai misal, pada tahun 789 Charlemagne menjadikan kremasi sebagai suatu pelanggaran hukum yang dapat dikenai hukuman mati. Satu-satunya pengecualian bagi peraturan ini adalah apabila terjadi kematian massal dan ancaman tersebar luasnya suatu penyakit.
Pada abad kesembilanbelas, kremasi mulai muncul kembali di Eropa terutama sekali karena gerakan Freemasonry dan filsafat kaum rasionalis yang menyangkal gagasan apapun mengenai adikodrati atau rohani, teristimewa kekekalan jiwa, kehidupan sesudah mati dan kebangkitan badan. Pertimbangan akan higienis dan terbatasnya lahan juga mendorong munculnya kembali kremasi. Banyak orang mulai memandang kremasi sebagai suatu pengebumian yang umum dan dapat diterima. Namun demikian, terutama karena didorong oleh perlawanan terhadap iman Katolik melalui kremasi, Gereja secara resmi mengutuk praktek kremasi pada tahun 1886.
Kitab Hukum Kanonik yang lama, tahun 1917, No. 1203 melarang kremasi dan menetapkan agar jenazah umat beriman dikuburkan. Lagi, suatu pengecualian diberikan apabila terjadi kematian massal dan adanya ancaman tersebar luasnya suatu penyakit. Kepada mereka yang meminta agar tubuhnya dikremasi setelah kematian, tidak diberikan pemakaman gerejawi.
Pada tahun 1963, Gereja mengklarifikasi ketentuan ini. Kongregasi Ajaran Iman (yang pada waktu itu dikenal sebagai Holy Office) menerbitkan suatu instruksi “Piam et Constantem” yang menyatakan, “Praktek saleh yang tetap di kalangan umat Kristiani dalam menguburkan tubuh umat beriman yang telah meninggal dunia, merupakan obyek perhatian dari pihak Gereja, yang ditunjukkan dengan menyediakan baginya ritus-ritus yang sesuai demi mengungkapkan secara jelas simbolisme dan makna religius dari pemakaman, dan juga dengan menetapkan hukuman kepada mereka yang menyerang praktek yang luhur ini.” Gereja mengijinkan kremasi dalam kebutuhan-kebutuhan khusus, tetapi melarangnya bagi siapa saja yang mempergunakannya untuk melawan iman.
Kitab Hukum Kanonik yang baru (tahun 1983) menetapkan, “Gereja menganjurkan dengan sangat agar kebiasaan saleh untuk mengebumikan jenazah, dipertahankan, tetapi Gereja tidak melarang kremasi, kecuali jika cara itu dipilih demi alasan-alasan yang bertentangan dengan ajaran kristiani.” Sebab itu, orang dapat memilih untuk dikremasikan apabila ia mempunyai niat yang benar. Tetapi, abu jenazah wajib diperlakukan dengan hormat dan sebaiknya disemayamkan di sebuah pemakaman atau columbarium [= tempat penitipan abu jenazah].
Suatu masalah pastoral dengan kremasi muncul menyangkut dihadirkannya abu jenazah dalam Misa Pemakaman dan kemudian persemayamannya sesudah itu. Hingga baru-baru ini, abu jenazah tidak dapat dihadirkan dalam Misa Pemakaman. Pada tanggal 21 Maret 1997, Kongregasi Ibadat Ilahi dan Tata Tertib Sakramen memberikan suatu indult [= ijin khusus untuk melakukan sesuatu yang sudah tidak lazim] wewenang kepada masing-masing uskup diosesan untuk menetapkan suatu kebijakan mengenai dapat atau tidak dihadirkannya abu jenazah dalam Misa Pemakaman. Kongregasi menekankan bahwa abu jenazah wajib diperlakukan dengan hormat dan wajib disemayamkan sesudah Misa Pemakaman.
Sesuai dengan itu, Konferensi Waligereja Amerika, dengan sepersetujuan Kongregasi Ibadat Ilahi dan Tata Tertib Sakramen menerbitkan pedoman berikut, berjudul “Refleksi mengenai Tubuh, Kremasi dan Upacara Pemakaman Katolik,” yang dijadikan Tata Pemakaman Kristiani: “Abu jenazah hendaknya diperlakukan dengan hormat yang sama dengan yang diberikan kepada tubuh manusia dari mana abu itu berasal. Hal ini meliputi penggunaan suatu bejana yang pantas untuk menempatkan abu jenazah, perlakuan dengan mana abu jenazah dibawa, dipelihara dan dirawat ke penempatan yang pantas dan transportasi, serta persemayaman akhir. Abu jenazah hendaknya dikuburkan dalam sebuah makam atau disemayamkan dalam suatu mausoleum atau columbarium. Praktek menebarkan abu jenazah ke laut, dari udara, atau di tanah, atau menyimpan abu jenazah di rumah sanak saudara atau sahabat dari orang yang meninggal dunia, bukanlah disposisi penghormatan yang dikehendaki Gereja. Apabila mungkin, sarana-sarana yang pantas untuk mengingat dengan hormat kenangan akan orang yang meninggal hendaknya diberikan, seperti suatu plakat atau nisan yang mencatat nama orang yang meninggal” (No. 417). Di samping itu, di Keuskupan Arlington, Uskup terdahulu John R. Keating memberikan ijin abu jenazah dihadirkan dalam Misa Pemakaman, suatu peraturan yang masih berlaku hingga saat ini di Keuskupan Arlington.
Sebagai seorang imam, saya percaya bahwa keseluruhan liturgi pemakaman Katolik - Upacara Penutupan Peti, Misa Pemakaman Kristiani, Upacara Penguburan - menawarkan kepada kita suatu pengingat yang kuat akan iman kita dan pertolongan-pertolongan dalam pemulihan kita. Doa-doa dan tindakan-tindakan liturgis ditata demi menghormati tubuh. Di samping itu, tubuh secara paling baik mengingatkan kita akan pribadi orang yang memasuki suatu kehidupan baru pada saat Pembaptisan, yang menjadi “bait Allah”, yang diurapi pada saat Penguatan, yang diberi santapan Ekaristi Kudus, dan yang sekarang telah pergi; kita berharap dan berdoa, demi kegenapan hidup itu dan demi istirahat yang abadi. Kematian seorang yang kita kasihi selalu terasa berat, walau demikian ada sesuatu yang baik dan menghiburkan hati sementara kita berkumpul bersama sebagai suatu komunitas iman di hadapan Tuhan kita dan di hadapan tubuh dia yang telah meninggal dunia, dan mempersembahkan dia yang kita kasihi itu kembali kepada Tuhan. Sungguh sayang, di lebih dari satu kesempatan, saya menghadapi keluarga-keluarga yang memilih untuk mengkremasi orang yang mereka kasihi, dan kemudian menyesali tindakan ini, bahkan merasa amat bersalah. Saya selalu merekomendasikan kepada mereka yang ingin dikremasi atau mereka yang hendak mengkremasi orang yang mereka kasihi, agar mereka segera melakukannya setelah Misa Pemakaman dan kemudian menyemayamkan abu jenazahnya dengan layak. Meski kremasi diperkenankan dan indult mengijinkan dihadirkannya abu jenazah dalam Misa Pemakaman, yang terlebih disarankan adalah menguburkan jenazah orang yang kita kasihi yang telah meninggal dunia (Refleksi No. 413).
* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Church in Potomac Falls.
sumber : “Straight Answers: Cremation” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2004 Arlington Catholic Herald, Inc. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.
|