Kontrasepsi Menurut Ajaran Gereja:
Bagian 3:
Kontrasepsi Melenyapkan Persatuan Perkawinan
oleh: P. William P. Saunders *
Dalam dua tulisan sebelumnya, kita telah membahas keyakinan kita mengenai Sakramen Perkawinan dan ungkapan kasih perkawinan yang indah, yang sekaligus unitive (= persatuan penuh cinta kasih) dan procreative (= pembiakan). Kedua aspek ini pada hakekatnya baik dan tak terpisahkan dalam tindakan suami isteri. Sebagai konsekuensinya, dalam kasih perkawinan, orang tak dapat memisahkan aspek unitive dari aspek procreative.
Karena alasan ini, Paus Paulus VI dalam ensikliknya Humanae Vitae memaklumkan, “bahwa tiap persetubuhan harus tetap diarahkan kepada kelahiran kehidupan manusia” (No. 11). Bapa Suci melanjutkan, “Ajaran ini yang sering dikemukakan oleh Magisterium Gereja, bersumber pada satu hubungan yang tidak terpisahkan yang ditentukan oleh Allah, antara kedua tujuan - kesatuan penuh cinta dan pembiakan - yang kedua-duanya terdapat dalam persetubuhan” (Humanae Vitae No. 12).
Dengan penggunaan sarana-sarana kontrasepsi (artifisial maupun bukan) dalam tindakan suami isteri, aspek pembiakan secara sengaja dienyahkan dan diabaikan. Sebab itu, aspek persatuan penuh cinta dipisahkan dari aspek pembiakan. Sama seperti suatu tindak kekerasan dalam kasih badani oleh seorang terhadap pasangannya melanggar aspek persatuan penuh cinta dari kasih perkawinan, demikian pula pelumpuhan terhadap kemampuan untuk menyalurkan kehidupan manusia melanggar aspek pembiakan. Di sini patut dicatat bahwa kontrasepsi menyangkut pelumpuhan atau pengenyahan salah satu aspek tak terpisahkan dari tindakan kasih seperti telah dirancangkan Tuhan. Pada hakekatnya, Tuhan telah merancangkan kasih perkawinan sebagai sekaligus persatuan penuh cinta dan pembiakan; mengenyahkan atau melanggar satu di antaranya berarti melawan rancangan Tuhan.
Namun demikian, kita telah menjadi saksi atas merajalelanya penggunaan sarana artifisial untuk mengatur kehamilan. Seperti telah berulang kali diperingatkan oleh Paus Yohanes Paulus II, juga Paus Paulus VI, sebagai konsekuensinya apa yang kemudian berkembang dalam masyarakat adalah mentalitas kontrasepsi, dienyahkannya kasih suami isteri dari Sakramen Perkawinan, dan dalam banyak kasus - teristimewa di luar konteks perkawinan - dimerosotkannya kasih suami isteri ke sekedar suatu tindakan seks tanpa kasih sejati. Dalam Evangelium Vitae, Paus Yohanes Paulus II menyesali dampak-dampak kontrasepsi, “Oleh karena itu seksualitas pun dikosongi nilai pribadinya dan digunakan semau sendiri. Dari kenyataannya sebagai tanda, tempat dan bahasa cinta kasih, yakni penyerahan diri dan penerimaan orang lain, dengan segala kekayaannya sebagai pribadi, seksualitas makin menjadi kesempatan dan instrumen untuk menyatakan diri, dan untuk memuaskan keinginan-keinginan serta naluri-naluri pribadi, didorong oleh cinta diri. Jadi makna asli seksualitas manusiawi mengalami distorsi dan pemalsuan, dan kedua maknanya, yakni untuk menyatukan dan mengadakan keturunan, yang melekat pada hakekat tindakan suami-isteri sendiri, diceraikan secara artifisial. Begitulah persatuan pernikahan dikhianati, dan kesuburannya dibawahkan kepada pilihan sesuka hati pasangan. Kalau begitu lahirnya keturunan menjadi `musuh' yang harus dihindari dalam tindakan seksual. Kalau lahirnya keturunan disambut baik, itu hanya karena mengungkapkan keinginan, atau memang ada maksud, untuk `bagaimana pun juga' mempunyai anak, dan bukan karena menandakan penerimaan penuh manusia lain, dan karena itu mengungkapkan sikap terbuka bagi kekayaan hidup yang nampak pada anak” (No. 23).
Di sini, kita berhenti sejenak untuk memeriksa aspek lain dari masalah dengan bentuk-bentuk artifisial pengatur kehamilan. Sebagian besar pil pengatur kehamilan artifisial sekarang ini dibuat sedemikian rupa sehingga memiliki “laras ganda”. Di satu sisi, pil bekerja sebagai sarana kontrasepsi dalam meniadakan ovulasi; di sisi lain, jika ovulasi tetap terjadi dan kehamilan terjadi “karena kecelakaan,” maka pil ini juga membuat endometrium (= selaput dalam rahim) menolak implantasi, dan dengan demikian membuang kehidupan yang telah dikandung. Ingat bahwa begitu perkandungan terjadi, suatu individu yang unik dan berharga telah tercipta; suatu ciptaan baru yang memiliki hak untuk hidup. Sebab itu, pil-pil ini sungguh berdampak aborsi, dengan efek yang sama seperti IUD (intrauterine device = Alat Kontrasepsi Dalam Rahim). Sesungguhnya, efek “laras ganda” ini merupakan daya jual yang menyedihkan dari obat RU-486, yang biasa disebut “pil sesudah pagi.”
Di samping itu kita juga harus memikirkan kemungkinan efek sampingan dari pil-pil ini bagi kesehatan wanita. Dalam Physician's Desk Reference untuk berbagai obat kontrasepsi yang dikonsumsi dengan ditelan, daftar komplikasi kesehatan yang mungkin terjadi meliputi, menyebut beberapa saja di antaranya, myocardial infarction, thrombosis, cerebrovascular disorders, birth defects, dan berbagai bentuk kanker (payudara, leher rahim, indung telur, dan rahim). Tragisnya, banyak dokter tidak menginformasikan resiko kesehatan ini kepada para wanita ketika menuliskan resep obat-obatan ini. Karena tiap-tiap individu berkewajiban untuk memelihara kesehatannya, maka obat-obatan yang secara konsisten mengubah fungsi normal tubuh dan yang menimbulkan resiko-resiko ini secara moral tak dapat dibenarkan.
Jadi apakah yang harus dilakukan oleh pasangan yang tengah menghadapi masalah serius dalam perkawinan mereka, misalnya masalah kesehatan atau keterbatasan ekonomi? Gereja senantiasa mengajarkan bahwa pasangan wajib bertindak sebagai orangtua yang bertanggung jawab, “Dalam tugas menyalurkan hidup manusiawi serta mendidiknya, yang harus dipandang sebagai perutusan mereka yang khas, suami isteri menyadari diri sebagai mitra kerja cinta kasih Allah pencipta dan bagaikan penterjemah-Nya. Maka dari itu hendaknya mereka menunaikan tugas mereka penuh tanggung jawab manusiawi serta kristiani. Hendaknya mereka penuh hormat dan patuh-taat kepada Allah, sehati sejiwa dan dalam kerja sama, membentuk pendirian yang sehat, sambil mengindahkan baik kesejahteraan mereka sendiri maupun kesejahteraan anak-anak, baik yang sudah lahir maupun yang mereka perkirakan masih akan ada; sementara itu hendaknya mereka mempertimbangkan juga kondisi-kondisi zaman dan status hidup mereka yang bersifat jasmani maupun rohani; akhirnya hendaknya mereka memperhitungkan kesejahteraan rukun keluarga, masyarakat di dunia, serta Gereja sendiri” ( No. 50). Suami dan isteri, dengan visi menjadi orangtua yang bertanggung jawab, wajib memutuskan apakah sekarang merupakan saat yang tepat untuk mempunyai anak. Mungkin terdapat alasan-alasan serius untuk menunda kehamilan - meski tidak definitif - karena kesehatan, beban ekonomi atau alasan-alasan serius lainnya.
Namun demikian, orang harus berhati-hati untuk tidak menyelewengkan apa yang dimaksud dengan alasan “serius”. Paus Yohanes Paulus II menyatakan, “Keputusan mengenai jumlah anak-anak dan pengorbanan yang harus dilakukan bagi mereka janganlah diambil hanya berdasarkan pandangan demi menambah kenyamanan dan mempertahankan keadaan tenang sekarang. Dengan merefleksikan masalah ini di hadapan Tuhan, dengan rahmat-rahmat yang ditimba dari Sakramen, dan dengan dibimbing oleh ajaran Gereja, orangtua akan mengingatkan diri mereka sendiri bahwa sudahlah pasti kurang serius alasan mengurangi kenyamanan atau kesejahteraan material anak-anak mereka, dibandingkan menjauhkan mereka dari kehadiran saudara dan saudari yang dapat membantu mereka bertumbuh-kembang dalam kemanusiaan dan menyadari keindahan hidup di segala tingkat usia dan dalam segala keanekaragamannya” (1979).
Jika pasangan beranggapan bahwa sungguh ada alasan-alasan serius untuk menunda kehamilan, Gereja mengajarkan bahwa pasangan dapat memanfaatkan “siklus alami sistem reproduksi” (Humanae Vitae No. 16). Kita tahu bahwa seorang perempuan hanya dapat mengandung seorang anak selama masa subur. Sebab itu, pasangan dapat mengambil jalan untuk mengungkapkan kasih suami isteri hanya apabila mereka berada dalam masa tidak subur. Metode pengaturan kehamilan ini disebut Keluarga Berencana Alami, suatu sarana yang aman dan efektif, yang dapat diterima secara moral dan yang memelihara janji kasih perkawinan.
* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls.
sumber : “Straight Answers: Contraceptives Diminish Marital Union” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2003 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”
|