Masalah Perkawinan
oleh: P. William P. Saunders *
Baru-baru ini Anda menulis suatu artikel mengenai bagaimana umat Katolik wajib menikah dalam Gereja Katolik atau mendapatkan ijin khusus dari uskup untuk dapat menikah di suatu gereja lain. Saya menghadapi suatu masalah. Saya diundang ke perkawinan seorang sanak yang adalah seorang Katolik. Sayangnya, pasangan ini memilih untuk menikah di luar Gereja Katolik tanpa persiapan ataupun ijin dari Gereja, sebab seorang dari mereka harus terlebih dahulu mengurus pembatalan perkawinannya. Terlebih menyedihkan lagi, ayah mempelai perempuan, yang adalah seorang Katolik dan seorang hakim, bermaksud memimpin upacara perkawinan. Apakah sebaiknya saya pergi? Mereka adalah sanak saudara saya, namun demikian saya tahu bahwa saya memiliki kewajiban terhadap iman saya, dan orang-orang lain akan melihat kehadiran saya sebagai suatu bentuk dukungan terhadap tindakan ini yang saya yakin adalah salah.
~ seorang pembaca di Arlington
Sungguh sayang, skenario yang disajikan dalam pertanyaan di atas menjadi semakin lazim saja sekarang ini. Alasan utamanya adalah sebagian pasangan tak hendak menanti keputusan akhir dari “Proses Pembatalan Perkawinan” dari perkawinan sebelumnya dari salah satu atau kedua belah pihak. Alasan berikutnya adalah sebagian orang Katolik tidak tahu-menahu akan kewajiban mereka untuk menikah dalam Gereja Katolik. Cara terbaik menjawab pertanyaan ini adalah membahasnya tahap demi tahap.
Pertama, seorang Katolik yang mengamalkan imannya sepatutnya rindu untuk menikah dalam Gereja Katolik. Menikah dalam Gereja Katolik sungguh merupakan ketentuan dari hukum Gereja (terkecuali jika uskup memberikan ijin untuk menikah di suatu gereja lain karena suatu alasan tertentu). Namun demikian, seorang Katolik yang taat sepatutnya rindu merayakan Sakramen Perkawinan dalam Gereja di mana ia bersembah sujud, mungkin semenjak bayi. Mengabaikan Gereja Katolik karena orang tidak menyukai suatu peraturan tertentu, menunjukkan kurangnya iman orang. Terlebih lagi, persatuan yang demikian akan dianggap sebagai tidak sah dan pasangan akan hidup dalam keadaan dosa berat yang menjauhkan mereka dari Komuni Kudus.
Kedua, jika salah satu atau kedua belah pihak adalah seorang Katolik yang taat, tetapi seorang atau keduanya telah pernah menikah sebelumnya dan pasangan pertama mereka itu masih hidup, maka perkawinan yang pertama haruslah terlebih dahulu dibereskan entah dengan Pernyataan Pembatalan Perkawinan atau proses kanonik lainnya. Patut dicamkan bahwa perkawinan yang pertama berlangsung di hadapan publik - di hadapan Tuhan, sanak saudara, teman dan sahabat - dan pasangan saling bertukar janji perkawinan di mana dengan suatu cara dinyatakan “hingga maut memisahkan kita.” Sebab itu, suatu pernyataan publik oleh Gereja haruslah dibuat di mana dinyatakan bahwa orang ini sekarang bebas untuk menikah lagi, sebelum ia dapat menikah dengan orang lain. Tanpa deklarasi publik ini, perkawinan yang kedua sesungguhnya merupakan suatu tindak perzinahan. Tuhan kita mengajarkan, “Setiap orang yang menceraikan isterinya, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah; dan barangsiapa kawin dengan perempuan yang diceraikan suaminya, ia berbuat zinah” (Luk 16:18). Perzinahan adalah dosa berat, dan persatuan zinah ini akan menjauhkan pasangan dari Komuni Kudus. Kita tak dapat sekedar mengacuhkan apa yang Tuhan Sendiri ajarkan mengenai perkawinan. Jadi, janganlah seorang pun mengatakan bahwa peraturan-peraturan ini adalah “buatan manusia” atau “buatan Gereja”, seperti yang biasa kita dengar.
Seorang Katolik yang taat dan saleh, yang perkawinan pertamanya sayangnya harus berakhir dengan perceraian sepatutnya menginginkan suatu deklarasi publik yang menegaskan kebebasannya untuk menikah sebelum ia berpikir serius untuk menikah lagi. Di samping itu, seorang Katolik yang taat dan saleh akan menyadari juga bahwa tak ada jaminan bahwa suatu Pembatalan Perkawinan (atau pernyataan Kanonik lainnya) akan diberikan; sebaliknya, ia dapat saja terikat pada perkawinan pertamanya hingga “maut memisahkan kita”. Adalah lebih baik menunggu dan membereskan perkawinan pertama, daripada masuk ke dalam suatu persatuan zinah dan mencelakaan keselamatan diri. Proses mendapatkan Pembatalan Perkawinan mungkin tampak sulit dan rumit, namun sesungghnya Gereja sekedar berusaha menolong seorang yang perkawinannya sayangnya berakhir dengan perceraian, dengan memutuskan apakah perjanjian perkawinan yang saling diucapkan itu mengikat sementara Gereja menjunjung tinggi Injil kebenaran.
Lebih parah lagi, seperti dalam pertanyaan di atas, ayah mempelai perempuan yang seorang Katolik, yang kebetulan adalah seorang hakim, memimpin pernikahan sipil puterinya yang seorang Katolik; ini merupakan penyesatan. Ingat apa yang diajarkan Tuhan, “…Tetapi barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut. Celakalah dunia dengan segala penyesatannya: memang penyesatan harus ada, tetapi celakalah orang yang mengadakannya (Mat 18:6-7). Hakim ini jelas-jelas melakukan dosa berat karena menentang ajaran Injil mengenai perkawinan, karena menyetujui persatuan zinah puterinya, dan karena menyesatkan mereka semua yang hadir, teristimewa umat Katolik yang hadir di sana.
Hal ini menghantar kita ke suatu point lain. Jadi, jika demikian, menjadi saksi apakah sesungguhnya seorang sanak Katolik yang taat dan saleh ketika ia menghadiri upacara perkawinan dari seorang Katolik di luar Gereja Katolik? Apapun yang orang hendak katakan, itu bukanlah suatu perkawinan di mata Tuhan dan Gereja. Yang terpenting untuk dicamkan adalah bahwa ketika seorang menghadiri suatu upacara perkawinan, ia bukan hanya sekedar menghadiri, melainkan ia ikut ambil bagian dalam upacara perkawinan itu: Ia menjadi saksi atas pertukaran janji perkawinan kedua mempelai, memohon Tuhan untuk memberkati persatuan itu, dan bersukacita bersama segenap Gereja untuk “ciptaan yang baru” ini sebagai suami dan isteri. Sebab itu ikut ambil dalam suatu upacara yang tidak sah di mata Gereja dan yang menempatkan pasangan mempelai dalam keadaan dosa berat, adalah salah. Kesaksian yang demikian memberikan persetujuan diam-diam atas dosa, melawan suara batinnya sendiri yang benar, mendatangkan skandal bagi orang-orang lain dan menghantar mereka yang lemah iman kepada kesesatan. Renungkanlah akan pesan yang disampaikan oleh tindakan yang demikian kepada kaum muda yang hadir dalam perkawinan yang demikian, yang menyaksikan persetujuan dari orangtua, kakek nenek dan sanak saudara lainnya yang mereka hormati dan percayai.
Suatu ketika pasangan Protestan yang amat saleh bertanya kepada saya mengenai apakah sebaiknya menghadiri upacara perkawinan seorang teman Katolik yang telah bercerai, tetapi sekarang menikah kembali di sebuah gereja Protestan. Mereka ragu hadir oleh sebab ajaran Kristus dalam Injil. Mereka bertanya, “Kami pikir Gereja tidak menyetujui hal-hal demikian bukan?” Saya menjelaskan apa yang diajarkan Gereja kita mengenai masalah ini, yang meyakinkan mereka. Mereka tidak menghadiri perkawinan tersebut, dan kecewa terhadap teman Katolik mereka.
Sebagian sanak saudara takut menyakiti saudara mereka yang menikah secara tidak sah, dan sebab itu mereka menghadiri perkawinan. Dasar pemikiran mereka adalah bahwa dengan menghadiri perkawinan, mereka berharap dapat membujuk pasangan mempelai untuk kemudian “mengesahkan” perkawinan dalam Gereja. Tragedi di sini adalah bahwa pasangan tersebut masuk ke dalam keadaan dosa berat dan menjauhkan diri mereka sendiri dari Komuni Kudus. Andai pasangan ini mendadak meninggal dunia dan dalam keadaan menjauhkan diri dari keselamatan abadi, apakah gerangan yang akan ada dalam pemikiran sanak saudara ini dan betapa mereka harus ikut bertanggung jawab atas keterlibatan mereka dalam masalah ini? Perkataan ini mungkin kedengaran keras atau kolot, tetapi inilah kebenaran Injil.
Mungkin, apabila situasi-situasi sulit macam ini muncul, seorang sanak yang bijaksana, dipercaya, disegani, serta saleh dapat mengatakan atau menulis kepada orang Katolik yang dipersoalkan di atas:
Saudara Anu dan Anu: Engkau tahu bahwa aku sungguh mengasihimu. Aku menulis ini kepadamu sebab aku menaruh perhatian pada kesejahteraan rohanimu. Engkau adalah warga Gereja Katolik - dibaptis, menerima penguatan dan menyambut Komuni Kudus secara rutin. Sebagai anggota, maka sepatutnyalah engkau menikah dalam Gereja Katolik. Inilah Gerejamu. Jadi, mengapakah engkau menikah di tempat lain? Menikah sekarang di lain gereja adalah salah. Perkawinanmu tidak akan diakui oleh Tuhan maupun Gereja, dan engkau sendiri akan berada dalam keadaan dosa berat. Aku tak sanggup melihatmu melakukan dosa yang sedemikian. Mengapakah tidak menanti beberapa bulan, bereskanlah perkawinanmu yang pertama, dan baru kemudian menikah dalam Gereja? Mengapakah tidak membicarakannya dengan imam dan melihat apa yang dapat dilakukan untuk membantumu dalam situasi ini? Tidakkah lebih baik melakukan apa yang benar di mata Tuhan dan Gereja daripada mengambil resiko kehilangan jiwa? Aku berharap engkau merenungkan permohonan ini. Aku mengasihi engkau, dan aku akan berdoa untukmu, tetapi sekarang, dalam kejernihan batin, aku tak dapat menghadiri perkawinanmu sebab dengan berbuat demikian aku akan menentang keyakinanku sendiri.
Memang, kata-kata di atas tampak keras, tetapi Injil memang terkadang keras. Sama seperti para martir menghadapi pertentangan iman dengan gagah berani, demikianlah seharusnya kita, bahkan meski hal itu menyangkut orang-orang yang kita kasihi. Andai lebih banyak umat Kristiani, termasuk orang-orang Katolik, menangkap pesan Injil secara lebih serius, maka kita tidak akan berada dalam arah yang mengerikan dalam norma moral dan apatis Kristiani sekarang ini. Di samping itu, kemungkinan tingkat perceraian di Amerika tidak akan mencapai 50 persen dalam lima tahun pertama usia perkawinan.
* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a professor of catechetics and theology at Christendom's Notre Dame Graduate School in Alexandria.
sumber : “Straight Answers: Marriage Problems” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2005 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”
|