Disposisi Batin Imam
oleh: P. William P. Saunders *
Jika seorang imam tertahbis tidak percaya akan transubstansiasi, apakah umat menerima Tubuh dan Darah Kristus?
~ seorang pembaca ACH
Dalam membahas pertanyaan di atas, orang juga bertanya-tanya, “Bagaimana mungkin seroang imam tidak percaya akan transubstansiasi?” Tentu saja, point yang dimaksudkan di sini bukan sekedar kata “transubstansiasi” (istilah resmi yang dipergunakan Konsili Lateran IV (1215) dalam Kredonya dan yang diulangi kembali oleh Konsili Trente dalam “Dekrit mengenai Sakramen Ekaristi” (1551)). Melainkan, point yang terpenting adalah mempercayai apa yang dimaksudkan dengan transubstansiasi, “Karena Kristus Penebus kita mengatakan bahwa apa yang Ia persembahkan dalam rupa roti adalah benar-benar Tubuh-Nya, maka di dalam Gereja Allah selalu dipegang teguh keyakinan ini, dan konsili suci ini menjelaskannya kembali: oleh konsekrasi roti dan anggur terjadilah perubahan seluruh substansi roti ke dalam substansi Tubuh Kristus, Tuhan kita, dan seluruh substansi anggur ke dalam substansi Darah-Nya. Perubahan ini oleh Gereja Katolik dinamakan secara tepat dan dalam arti yang sesungguhnya perubahan hakiki [transubstansiasi]” (Trente). Singkat kata, menyangkal keyakinan akan transubstansiasi adalah sesat.
Namun demikian, imam yang tidak percaya tersebut bukan hanya seorang yang sesat, melainkan juga mengalami krisis identitas. Melalui Sakramen Imamat, imam ambil bagian dalam imamat Kristus dan dengan demikian, bertindak selaku pribadi Kristus (in persona Christi). Identitas imam menjadi semakin jelas saat imam mempersembahkan Kurban Agung Misa. Misa secara sakramental menghadirkan secara baru dan lestari kurban salib Kristus. Seperti ditulis oleh Bapa Suci Yohanes Paulus II yang terkasih, “Tak henti-hentinya Gereja menerima hidupnya dari kurban penyelamatan ini. Ia menghampirinya bukan hanya lewat peringatan penuh iman, melainkan juga lewat kontak nyata, justru karena kurban ini senantiasa dihadirkan baru, dilestarikan secara sakramental, dalam setiap komunitas yang mempersembahkannya lewat tangan pelayan tertahbis” (“Ecclesia de Eucharistia,” No. 12). Umat beriman jangan pernah lupa bahwa tanpa imam, tidak ada Misa. Katekismus Gereja Katolik dengan amat indah memaklumkan, “Pejabat tertahbis adalah bagaikan `ikon' Kristus, Imam” (No. 1142).
Jadi bagaimana jika seorang imam, walau ditahbiskan secara sah, tidak percaya akan Ekaristi Kudus? Mungkin ia percaya bahwa apa yang terjadi dalam Misa Kudus hanyalah simbol belaka dan ia sekedar bermain peran. Ketika seorang imam mempersembahkan Misa atau merayakan sakramen apapun, sesungguhnya Kristus Sendiri yang bekerja melalui sakramen-sakramen. Sebagai contoh, ketika imam membaptis seorang bayi, dalam kenyataan yang sesungguhnya, Kristus Sendiri yang membaptis sang bayi, “Mereka [Sakramen-Sakramen] berdaya guna, karena Kristus Sendiri bekerja di dalamnya; Ia Sendiri membaptis, Ia Sendiri bertindak dalam Sakramen-Sakramen-Nya, untuk membagi-bagikan rahmat, yang dinyatakan oleh Sakramen” (Katekismus Gereja Katolik, No. 1127). Karenanya, semua sakramen dirayakan dengan kuasa ritus sakramental yang penuh. Istilah teknis teologis yang dipergunakan untuk pengertian ini adalah ex opere operato, artinya adalah ketika suatu sakremen dirayakan secara sah, dengan materia dan forma sacramenti yang layak, maka sakramen tersebut mendatangkan rahmat yang dinyatakannya.
Masalah disposisi batin imam telah muncul di masa lampau. Di awal tahun 300-an, muncul bidaah Donatisme, yang bersikukuh bahwa sahnya suatu sakramen tergantung pada kekudusan dan keadaan rahmat pelayan sakramen. Bagi kaum Donatis, seorang imam yang sesat atau dalam keadaan dosa berat tidak dapat merayakan sakramen secara sah; sebab itu orang yang dibaptis oleh imam yang demikian harus dibaptis ulang. St Agustinus (wafat 430), salah satu tokoh cemerlang penentang Donatisme, dalam “In Ioannis evangelium tractatus” dengan tegas membedakan antara tindakan Kristus dengan tindakan pelayan sakramen pada saat merayakan suatu sakramen: Kristus bertindak atas dasar kuasa-Nya, sementara pelayan sakramen bertindak atas dasar pelayanan yang dipercayakan kepadanya oleh Kristus. Karena itu, “ … mereka yang dibaptis oleh Yudas, Kristus Sendiri yang membaptis. Demikian juga, mereka yang dibaptis oleh seorang pemabuk, mereka yang dibaptis oleh seorang pembunuh, mereka yang dibaptis oleh seorang pezinah, jika Pembaptisan itu dilakukan atas nama Kristus, maka Kristus Sendiri yang membaptis.” (5, 18).
Namun demikian, St. Agustinus juga dengan tajam mengecam pelayan sakramen yang tidak mempersiapkan diri secara pantas untuk merayakan sakramen: “Sementara pelayan yang angkuh, ia harus digolongkan dengan setan. Anugerah Kristus tidak tercemari karenanya: apa yang mengalir melalui dia tetap terjaga kemurniannya, dan apa yang melewati dia tetap bersih dan sampai ke tanah yang subur. … Kekuatan rohani sakramen adalah sungguh serupa terang: siapa yang harus diterangi menerimanya dalam kemurniannya, dan apabila terang harus melewati yang cemar, ia sendiri tidak menjadi cemar” (“In Ioannis evangelium tractatus,” 5, 15). Sebab itu, keabsahan dan daya kuasa sakramen tidak tergantung pada kekudusan atau kelayakan pelayan sakramen; keabsahan dan daya kuasa sakramen tidak tergantung pada disposisi subyektif pelayan sakramen.
Oleh karena itu, dalam menjawab pertanyaan di atas, dua prinsip penting menentukan: Pertama, sakramen wajib dirayakan secara sah dengan materia dan forma sacramenti seperti yang ditetapkan. Kedua, pelayan sakramen wajib setidak-tidaknya memiliki intensi untuk melakukan apa yang dimaksudkan Gereja, yang diwujud-nyatakannya dengan merayakan sakramen secara sah, misalnya dengan mendaraskan Kata-kata Konsekrasi seperti yang telah dirumuskan ke atas roti tak beragi dan anggur. Sebab itu, jika imam seperti yang dipertanyakan di atas adalah seorang yang sesat dan sedang mengalami krisis identitas, tetapi ia mempersembahkan Misa secara sah, maka umat sungguh menerima Tubuh dan Darah, Jiwa dan Ke-Allah-an Kristus dalam Sakramen Mahakudus. Tanpa jaminan ini, maka umat akan senantiasa meninggalkan Perjamuan Kudus dalam keadaan bertanya-tanya apakah mereka telah sungguh menerima sakramen.
* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a professor of catechetics and theology at Christendom's Notre Dame Graduate School in Alexandria.
sumber : “Straight Answers: The Disposition of Priests” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2005 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”
|