Profil:
Kardinal Van Thuân
Ketika Thuân mengatakan kepada ibunya bahwa ia akan ditahbiskan sebagai uskup, ibunya menjawab, “Memangnya kenapa? Kamu masih tetap seorang imam, hanya saja tanggung jawabmu akan sedikit lebih banyak.” Ketika Thuân diangkat menjadi Kardinal, ia berkata kepada ibunya, “Sekarang aku seorang Kardinal, apakah ibu senang?” Ibunya menjawab, “Lihat, kamu masih tetap seorang imam, pelayanan yang sama.”
 Keturunan Para Martir
Fransiskus Xaverius Nguyên Van Thuân dilahirkan pada tanggal 17 April 1928 di Huê, Viêt Nam. Ia berasal dari keluarga para martir. Banyak di antara para leluhurnya yang menyerahkan nyawa mereka demi iman Katolik selama masa penganiayaan yang berlangsung antara tahun 1698 hingga 1885. Pada tahun 1885 hampir seluruh komunitas Katolik dari desa Phu Cam, desa ibunya, tewas terpanggang hidup-hidup ketika gereja paroki mereka dikepung dan kemudian dibakar oleh milisi van than. Dari keluarganya, hanya kakek dan seorang bibi buyut yang selamat.
Keluarga Van Thuân memiliki iman yang tak tergoyahkan. Neneknya, setiap malam sesudah doa petang, akan mendaraskan satu rosario ekstra untuk ujud panggilan imam. Ibunya, Elizabeth, yang sekarang masih hidup dan tinggal di Australia bersama kedua saudari Thuân, memainkan peran penting dalam kehidupannya. Mengenai ibunya, Thuân mengatakan, “Ibu menceritakan kisah-kisah dari Kitab Suci setiap malam, ia menceritakan kisah-kisah para martir, teristimewa para martir yang berasal dari leluhur kami; ibu mengajarku untuk mencintai tanah air. Ibu adalah seorang wanita tegar yang menguburkan saudara-saudara lelakinya yang tewas dibunuh dengan keji oleh para pengkhianat, yang telah diampuninya dengan setulus hati. Ketika aku di penjara, ibu yang membesarkan hatiku. Kepada semua ia mengatakan, `Berdoalah agar puteraku setia kepada Gereja dan tetap berada di mana Tuhan menghendakinya.'”
Pada tahun 1941, Thuân masuk Seminari Menengah An Ninh dan ditahbiskan sebagai imam pada tanggal 11 Juni 1953. Setelah melanjutkan pendidikannya selama enam tahun di Universitas Gregorian di Roma dan memperoleh gelar doktor dalam Hukum Kanon, ia kembali ke Vietnam dan mengajar di Seminari Nha Trang. Thuân kemudian diangkat menjadi Rektor Seminari, Vikaris Jenderal dan tak lama sesudahnya ditahbiskan sebagai Uskup Nha Trang pada tanggal 13 April 1967. Uskup Thuân dicintai seluruh umatnya. Selama delapan tahun memimpin keuskupan Nha Trang, jumlah seminaris meningkat dari 42 menjadi 147 orang, dan para pemuda yang masuk seminari menengah meningkat dari 200 menjadi 500 orang.
Semboyan karya pastoralnya adalah “Gaudium et Spes” (Sukacita dan Pengharapan, Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II tentang gereja dan panggilan umat manusia, “Tugas Gereja dalam Dunia Modern”). Thuân mencurahkan banyak tenaga guna mengokohkan peran serta umat dalam Gereja, teristimewa kaum muda.
Pada tanggal 24 April 1975, Paus Paulus VI mengangkatnya sebagai Koajutor (= Pengganti Wajib) Uskup Agung Saigon (sekarang Ho Chi Minh). Selang beberapa hari kemudian, Saigon jatuh ke tangan komunis Viet Cong. Uskup Van Thuân segera ditangkap karena imannya dan karena hubungan kekeluargaannya dengan Ngo Dinh Diem, presiden Vietnam Selatan yang terbunuh. Thuân dijebloskan ke dalam penjara oleh pemerintah komunis dan melewatkan 13 tahun dalam kamp “pendidikan kembali” komunis, sembilan tahun di antaranya ditempatkan dalam sel isolasi. Thuân tidak pernah diadili ataupun dijatuhi hukuman yang pasti.
 Hanya Tuhan, Bukan Karya-karya Tuhan
Pada tanggal 15 Agustus 1975, pada Pesta SP Maria diangkat ke Surga, saya diundang ke Istana Kemerdekaan, Istana Presiden di Saigon, hanya untuk ditangkap. Alasannya adalah karena Paus Paulus VI telah mengalihtugaskan saya dari keuskupan saya di Nha Trang, di mana saya menjadi uskup selama delapan tahun mulai tahun 1967 hingga 1975, ke Saigon, untuk menjadi Koajutor Uskup Agung.
Bagi pemerintahan komunis, alih tugas ini yang dilaksanakan satu minggu sebelum kedatangan mereka di Saigon pada tanggal 30 April 1975, merupakan bukti adanya persengkokolan antara Vatikan dengan kaum “Imperialis” guna mengorganisir perlawanan terhadap rezim Komunis.
Pada detik saya ditahan, kata-kata Uskup Yohanes Walsh yang dipenjarakan selama 12 tahun oleh Cina Komunis, terlintas di benak saya. Pada hari pembebasannya Uskup Walsh mengatakan, “Saya telah menghabiskan separuh hidup saya dengan menunggu.”
Benar. Semua tahanan, termasuk saya, terus-menerus menunggu saat pembebasan. Saat itu juga saya memutuskan bahwa penahanan saya tidak hanya akan menjadi suatu waktu istirahat, tetapi akan menjadi titik balik kehidupan saya. Saya memutuskan bahwa saya tidak akan menunggu. Saya akan hidup pada saat sekarang ini dan mengisinya hingga penuh dengan cinta. Karena, jika saya menunggu, hal-hal yang saya tunggu tidak akan pernah datang. Satu-satunya hal yang pasti bagi saya adalah bahwa saya akan mati.
Tidak, saya tidak akan melewatkan waktu saya dengan menunggu. Saya akan hidup pada saat sekarang ini dan mengisinya hingga penuh dengan cinta.
Suatu garis lurus terdiri dari jutaan titik-titik kecil. Demikian juga, hidup kita terdiri dari jutaan detik dan menit yang digabung menjadi satu. Jika setiap titik dalam garis ditempatkan dengan benar, maka garis yang terbentuk akan lurus adanya. Jika setiap menit dalam hidup kita baik, maka hidup kita akan menjadi kudus.
Seorang diri dalam sel penjara, saya terus-menerus tersiksa dengan kenyataan bahwa usia saya sudah empat puluh delapan tahun, saya berada dalam puncak hidup saya, bahwa saya telah berkarya selama delapan tahun sebagai seorang uskup dan mempunyai begitu banyak pengalaman pastoral, tetapi di sini saya terisolasi, tidak dapat berbuat apa-apa dan jauh dari umat saya.
Suatu malam, dari kedalaman lubuk hati, saya mendengar suara yang menasehati saya: “Mengapakah engkau menyiksa dirimu sendiri? Engkau harus membedakan antara Tuhan dengan karya-karya Tuhan - segala sesuatu yang telah engkau lakukan dan ingin terus engkau lakukan: kunjungan pastoral, mendidik para seminaris, para biarawati dan para anggota ordo-ordo religius, mendirikan sekolah-sekolah, mewartakan Injil kepada orang-orang non-Kristen. Semua itu sungguh karya yang mengagumkan, karya Tuhan, tetapi bukan Tuhan! Jika Tuhan menghendaki engkau menyerahkan semuanya itu dan mempercayakannya ke dalam tangan penyelenggaraan-Nya, lakukanlah dan percayalah kepada-Nya. Tuhan pasti akan melakukannya jauh lebih baik dari padamu; Ia akan mempercayakan karya-Nya kepada orang-orang lain yang lebih mampu daripadamu. Engkau harus memilih hanya Tuhan, dan bukan karya-karya Tuhan!”
“Ya Tuhan, Engkau mengutusku di sini untuk menjadi kasih-Mu di antara saudara-saudaraku; di antara mereka yang lapar, kedinginan, kehabisan tenaga, terhina, serta diperlakukan tidak adil. Aku memilih Engkau, memilih kehendak-Mu; Aku misionarismu di sini.” Sejak saat itu, suatu rasa damai yang baru memenuhi hati saya dan tinggal bersama saya selama 13 tahun.
Pencerahan ini sepenuhnya mengubah cara berpikir saya. Ketika Komunis menempatkan saya di palka kapal Hai-Phong bersama dengan 1500 tahanan lainnya dan berlayar ke Utara, saya berkata kepada diri saya sendiri, “Inilah katedralku, inilah umat yang dipercayakan Tuhan kepadaku, dan inilah misiku: yaitu menghadirkan Tuhan secara nyata di antara saudara-saudaraku yang putus asa dan sangat menderita. Adalah kehendak Tuhan aku ada di sini. Aku menerima kehendak-Nya.”
 Merayakan Ekaristi Kudus dalam Penjara
“Apakah Bapa Uskup dapat mempersembahkan Misa dalam penjara?” adalah pertanyaan yang sering, amat sering dilontarkan kepada saya. Dan ketika saya menjawab “Ya”, saya dapat menebak pertanyaan selanjutnya, “Bagaimana Bapa Uskup dapat memperoleh roti dan anggur?”
Saya digiring ke penjara dengan tangan kosong. Kemudian, saya diberi ijin untuk menuliskan daftar kebutuhan-kebutuhan paling pokok seperti baju, pasta gigi, dll. Saya menulis “Kirimkan sedikit anggur sebagai obat buat sakit perutku.” Di luar sana, umat mengerti apa yang saya maksudkan.
Mereka mengirimkan anggur Misa dalam sebuah botol kecil dengan label `obat sakit perut', beserta beberapa hosti yang telah dipecah-pecahkan menjadi potongan-potongan kecil.
Polisi menanyai saya, “Apakah kamu punya sakit perut?”
“Ya”
“Ini obat untukmu!”
Saya tidak akan pernah dapat mengungkapkan kebahagiaan saya: setiap hari, dengan tiga tetes anggur dan setetes air di telapak tangan saya, saya mempersembahkan Misa.
Keenam orang Katolik dalam kelompok saya yang beranggotakan 50 orang tahanan berusaha selalu bersama. Kami menjajarkan papan yang diberikan kepada kami sebagai alas tidur, papan-papan itu lebarnya kurang lebih 20 inci (± 50 cm). Kami tidur berdekatan agar dapat berdoa pada malam hari.
Setiap malam pukul 9.30, ketika lampu-lampu dipadamkan, semua orang harus berbaring. Saya membungkuk di atas papan kayu saya dan mempersembahkan Misa, dalam hati tentu saja, dan membagikan Komuni kepada teman-teman lewat bawah kelambu nyamuk mereka. Kami membuat kantong-kantong kecil dari bungkus rokok untuk menyimpan Sakramen Mahakudus.
Tengah malam, para tawanan secara bergantian bersembah sujud di hadapan Sakramen Mahakudus. Sakramen Mahakudus sungguh luar biasa! Bahkan para tahanan Budha dan non-Kristen lainnya bertobat. Kekuatan cinta Yesus sungguh dahsyat. Gelap gulita penjara menjadi terang berang, benih-benih bersemi diam-diam dalam badai.
 Pesan-pesan dari Penjara
Saya dipaksa tinggal dalam rumah tahanan di desa Cây Vông, di bawah pengawasan terbuka serta rahasia polisi Komunis yang “membaur” dengan penduduk desa. Siang malam saya dihantui oleh pikiran: "Umatku! Umatku yang sangat kukasihi: kawanan domba tanpa gembala! Bagaimana aku dapat menjangkau umatku, pada saat di mana mereka sangat membutuhkan pastor mereka?" Perpustakaan-perpustakaan Katolik telah disita, sekolah-sekolah Katolik ditutup, guru-guru religius - pria maupun wanita - yang mengajar di sekolah-sekolah dipaksa bekerja di sawah. Berpisah dengan umat saya sungguh merupakan suatu pukulan dahsyat yang menghancurkan hati saya. Kemudian saya berpikir: Aku tidak akan menunggu. Aku akan hidup pada saat sekarang ini, dan mengisinya hingga penuh dengan cinta - tetapi bagaimana?
Suatu malam, suatu pencerahan datang kepada saya: "Fransiskus, mudah saja. Lakukan apa yang dilakukan Santo Paulus ketika ia dipenjara: menulis surat-surat kepada komunitas-komunitas yang berbeda." Keesokan paginya, pada bulan Oktober 1975, ketika hari masih gelap, saya memberi isyarat kepada seorang bocah berumur tujuh tahun bernama Quang, yang baru pulang dari Misa pukul 5.
“Tolong, minta ibumu menyediakan kalender-kalender bekas yang bisa aku pakai untuk menulis.”
Hari itu juga, ketika hari sudah gelap, Quang membawakan kalender-kalender bekas untuk saya. Setiap malam selama bulan Oktober hingga November 1975, saya menulis pesan-pesan bagi umat dari penjara. Setiap pagi, Quang akan datang mengambil lembaran-lembaran kertas berisi pesan-pesan dan membawanya pulang ke rumah. Saudara dan saudarinya akan menyalin pesan-pesan tersebut untuk dibagikan ke berbagai komunitas. Begitulah buku “The Road of Hope” ditulis (versi Indonesia: Jalan Pengharapan, Penerbit Obor). Buku tersebut kemudian telah diterbitkan dalam delapan bahasa: Vietnam, Inggris, Perancis, Italia, Jerman, Spanyol, Korea, dan Cina.
Kasih karunia Tuhan memberi saya kekuatan untuk bekerja dan terus melangkah maju bahkan dalam saat-saat yang tampaknya tak ada harapan sekalipun. Saya menulis pesan-pesan pada malam hari selama satu setengah bulan, sebab saya khawatir tidak dapat menyelesaikannya sebelum saya dipindahkan ke tempat lain. Ketika jumlahnya mencapai 1001, saya memutuskan untuk berhenti - jadi seperti kisah Seribu Satu Malam saja.
Pada tahun 1980, ketika saya dipaksa tinggal di Giang Xa, Vietnam Utara, saya menulis buku saya yang kedua (sekali lagi pada waktu malam dan secara sembunyi-sembunyi): The Road of Hope in Light of God's Word and of Vatican Council II (Jalan Pengharapan dalam Terang Sabda Tuhan dan Konsili Vatikan II); dan kemudian buku yang ketiga: Pilgrims on the Road of Hope (Ziarah di Jalan Pengharapan).
Saya tidak akan menunggu. Saya akan hidup pada saat sekarang ini dan mengisinya hingga penuh dengan cinta.
Dalam Kitab Suci, para rasul ingin mengambil jalan yang gampang: “Guru, suruhlah orang banyak itu pergi, supaya mereka mencari makanan …” Tetapi Yesus hendak bertindak pada saat sekarang ini: “Kamu harus memberi mereka makan!” (Luk 9:13). Di atas salib, ketika penyamun itu mengatakan kepada-Nya, “Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja," Ia menjawab, “sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus." (Luk 23:42-43). Dalam kata “hari ini” kita mendengar segenap pengampunan dan cinta kasih Yesus.
Bagaimana Thuân dapat bertahan dari kengerian masa-masa di penjara dikisahkannya dalam sebuah buku berjudul Five Loaves and Two Fish (versi Indonesia: Lima Jelai Roti dan Dua Ekor Ikan, Penerbit Obor), yang terdiri dari nasehat-nasehatnya kepada kaum muda. Uskup van Thuân tidak saja mampu bertahan, tetapi ia keluar dari penjara sebagai seorang dengan ketulusan hati yang nyata, tenang dan bijaksana serta penuh sukacita pengharapan. Dalam bukunya The Way of Hope, Thoughts of Light from a Prison Cell, Thuân menulis: “Di negeri kami ada pepatah yang mengatakan: 'Satu hari dalam penjara sama artinya dengan seribu musim gugur dalam kebebasan.' Saya sendiri mengalaminya. Ketika di penjara, setiap orang menantikan kebebasan, setiap hari, setiap menit. Kita harus hidup setiap hari, setiap menit dari hidup kita seolah-olah itulah saat terakhir kita.”
 Mewartakan Injil dalam Penjara
Suatu hari saya mengatakan kepada seorang Komunis yang mengkritik Gereja: “Kami memiliki dua arti yang berbeda bagi kata-kata yang sama. Jika engkau dengan tulus hati ingin mengerti tentang Gereja, ingin berbicara dengan orang-orang Katolik, saya menawarkan diri untuk menuliskan suatu daftar kosa-kata religius dalam bahasa Latin, Perancis, Inggris, Italia, Spanyol dan Cina dengan penjelasan dalam bahasa Vietnam. Jika engkau menerima tawaran saya ini, tolong sediakan kertas dan pena untuk saya.” Ia setuju dan saya mulai.
Ketika ia kembali, saya menjelaskan beberapa kata dari daftar kosa-kata kepadanya, arti kata, sejarah dan perkembangan Gereja, misalnya siapa itu abbas atau seperti apa itu kehidupan biara, misalnya: keheningan, kemiskinan, ketaatan, kemurnian, puasa, pelayanan, karya pastoral, dll. Maka, bangkitlah rasa ingin tahunya. Dengan sangat perlahan-lahan saya terus menerangkan kata-kata dari daftar isi, semacam katekese intensif bagi seorang Komunis! Suatu cara berdialog dalam kebenaran dan kasih daripada saling debat dan melemparkan kritik.
Ketika saya mulai membedakan antara Tuhan dengan karya-karya Tuhan, ketika saya memilih Tuhan dan kehendak-Nya, serta menyerahkan segala sesuatu yang lain ke dalam tangan-Nya, dan ketika saya belajar untuk mengasihi sesama, terutama mengasihi musuh-musuh saya seperti Yesus telah mengasihi saya, saya merasakan suatu perasaan damai yang luar biasa mengisi hati saya. Jauh dari kebebasan, dari hampir segala sesuatu dan tinggal dalam kemiskinan yang sangat dalam sel saya yang gelap, saya merasakan damai, sebab saya dapat mengatakan, “Tuhan-ku, Engkaulah segalanya bagiku.” Damai yang diberikan dunia tidak dapat memberi saya sukacita yang sedemikian luar biasa.
Para tahanan dipenjarakan untuk jangka waktu yang lama, tanpa diadili dan dalam keadaan ditindas, memendam kenangan-kenangan pahit dan perasaan benci serta dendam. Itu adalah reaksi normal. Saya dipenjara selama 13 tahun, sembilan tahun di antaranya dalam sel isolasi.
Selama tahun-tahun mengerikan dalam sel isolasi, yang terberat sepanjang hidup saya, orang yang saya lihat hanyalah dua pengawal penjara yang dengan tegas diperintahkan untuk tidak berbicara kepada saya. Mereka mengawasi saya, tetapi tidak mau berbicara selain mengatakan 'ya' dan 'tidak'. Saya merasa sepenuhnya ditinggalkan, menderita seperti Yesus di atas salib. Pikiran saya melayang kepada umat saya, para imam, para religius, para seminaris. Di luar sana, ditinggalkan, mereka juga menderita, banyak pula yang terbunuh. Dalam ketakberdayaan fisik maupun mental, saya menerima rahmat dari Bunda Maria.
Saya tidak diperbolehkan merayakan Misa, jadi saya mendaraskan Salam Maria beratus-ratus kali dan Bunda Maria memberi saya kekuatan agar saya mempersatukan diri dengan Yesus yang terpaku di kayu salib. Saya menjadi sadar bagaimana Yesus telah menyelamatkan segenap umat manusia, disana; sendirian di atas salib, sepenuhnya tergantung di kayu salib.
Suatu malam, suatu pencerahan datang. “Fransiskus, engkau masih sangat kaya. Engkau memiliki kasih Kristus dalam hatimu. Kasihilah mereka seperti Yesus mengasihimu.” Keesokan harinya, saya putuskan untuk mulai, pertama-tama, dengan menunjukkan kegembiraan dan senyum. Saya mulai menceritakan kisah-kisah perjalanan saya ke negara-negara di mana orang menikmati kebebasan dan budaya serta kemajuan teknologi yang pesat. Kisah-kisah itu membangkitkan rasa ingin tahu mereka dan mereka melontarkan, banyak, banyak sekali pertanyaan. Perlahan, dengan sangat perlahan, kami bersahabat.
Mereka ingin belajar bahasa-bahasa asing. Para pengawal saya menjadi murid-murid saya! Suasana penjara pun kemudian jauh berubah. Mereka membawakan saya buku-buku Perancis. Sambil mengajarkan sejarah, peradaban, kebudayaan dan sastra Perancis, saya dapat menjelaskan pengaruh Injil bagi Perancis dan bagi sejarah serta kebudayaan Eropa.
Pada waktu itu, di bagian lain, suatu kelompok yang terdiri dari dua puluh orang sedang belajar bahasa Latin agar dapat membaca dokumen-dokumen Gereja. Guru mereka dulunya adalah seorang katekis. Salah seorang pengawal saya ada dalam kelas bahasa Latin dan suatu hari ia bertanya apakah saya dapat mengajarinya lagu-lagu bahasa Latin.
“Ada banyak sekali lagu Latin,” jawab saya, “dan semuanya sungguh indah.”
“Engkau bernyanyilah, dan saya akan memilih,” jawabnya.
Maka saya menyanyikan Salve Regina, Salve Mater, Lauda Sion, Veni Creator, Ave Maris Stella. Kalian tak akan pernah bisa menebak lagu apa yang ia pilih. Veni Creator! Saya tidak dapat menceritakan kepada kalian bagaimana hati ini tersentuh, berada dalam suatu penjara Komunis dan mendengarkan pengawal menuruni tangga setiap pukul tujuh pagi menuju lapangan olahraga sambil menyanyikan Veni Creator.
 Hai-Phong
… Pukul 9:00 malam pada tanggal 1 Desember 1976, tiba-tiba saya mendapatkan diri saya berada bersama sekelompok besar tahanan. Dibelenggu satu dengan yang lain dengan rantai secara berpasangan, kami dinaikkan ke sebuah truk. Suatu perjalanan singkat membawa kami ke Tan Cang, sebuah bandara militer baru yang dibuka oleh Amerika beberapa tahun sebelumnya. Di depan kami ada sebuah kapal, tetapi kapal itu disembunyikan sedemikian rupa sehingga orang tidak akan tahu apa yang sedang terjadi. Kapal segera bongkar sauh dan berlayar ke utara - suatu perjalanan menempuh jarak 1.700 kilometer.
Bersama para tahanan yang lain, saya ditempatkan di palka kapal di mana dimuat batubara. Satu-satunya cahaya berasal dari sebuah lampu minyak yang kecil; selain itu, yang ada hanya kegelapan yang pekat. Sejumlah 1.500 orang dipaksa bertahan dalam keadaan yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata itu. Kekalutan menguasai pikiran saya. Sebelum malam itu, setidak-tidaknya saya dipenjara dalam wilayah keuskupan saya, tetapi sekarang saya pergi ke tempat yang tak seorang pun tahu tujuannya! Saya bermeditasi menggunakan kata-kata St. Paulus: “Tetapi sekarang sebagai tawanan Roh aku pergi ke Yerusalem dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi atas diriku di situ selain dari pada yang dinyatakan Roh Kudus dari kota ke kota kepadaku, bahwa penjara dan sengsara menunggu aku.” (Kis 20:22-23). Saya melewatkan malam itu dalam kesedihan yang mendalam.
Keesokan paginya, seberkas cahaya matahari pagi menembus palka kapal. Dalam kondisi yang mengerikan itu saya dapat melihat wajah-wajah bingung serta putus asa dari para tahanan di sekitar saya. Beberapa tahanan memanggil saya karena seseorang berusaha gantung diri dengan sepotong kawat. Saya berbicara dengannya dan pada akhirnya ia menerima nasehat saya. (Dua tahun lalu, dalam sebuah pertemuan lintas agama di California, saya bertemu lagi dengannya. Penuh sukacita ia menghampiri saya, berterima kasih, dan mulai menceritakan seluruh insiden itu sembari menunjukkan kepada semua orang guratan-guratan luka yang masih membekas di sekeliling lehernya).
Selama perjalanan, karena para tahanan mengetahui bahwa Uskup Van Thuân berada dalam kapal, mereka datang kepada saya mengungkapkan kesedihan mereka. Jam-jam berlalu dan saya mendapati diri saya berbagi penderitaan dengan mereka serta menghibur mereka sepanjang hari. Malam kedua, dalam dinginnya bulan Desember di Samudera Pasifik, saya mulai mengerti bahwa suatu tahap baru dalam panggilan saya baru saja dimulai. Saya melewatkan tiga hari perjalanan dengan menghibur teman-teman tahanan dan merenungkan sengsara Yesus…
Menjadikan diri kita “satu” dengan semua orang, dan berani menganggap setiap pribadi - termasuk mereka yang tampaknya paling keji atau jahat - sebagai “sesama”, sebagai saudara atau saudari, kita mengamalkan intisari keselamatan. Kita menjadi saksi kabar sukacita bahwa di kayu salib Yesus, Tuhan datang mendekati semua orang yang jauh dari-Nya, untuk menawarkan pengampunan serta penebusan. Oleh karena itu, pewartaan Kabar Gembira bukanlah tugas yang dipercayakan hanya kepada para misionaris saja, melainkan merupakan tugas penting bagi setiap umat Kristiani. Kabar Gembira Tuhan yang dekat dengan kita dapat diwujudnyatakan hanya jika kita mendekatkan diri dengan semua orang.
 Pengawal dan Salib Kayu
Pada waktu saya dipenjara di Vinh-Quang di pegunungan Vietnam Utara, suatu siang saya sedang menggergaji kayu. Saya bertanya kepada pengawal yang selalu ada di sapmping saya, yang telah menjadi sahabat saya, apakah boleh saya minta bantuannya.
“Apakah itu? Aku akan membantumu.”
“Aku ingin memotong sedikit kayu dalam bentuk salib.”
“Tidakkah kamu tahu bahwa dilarang keras memiliki lambang-lambang religius apa pun?”
“Aku berjanji untuk menyembunyikannya.”
“Tetapi, itu sangat berbahaya bagi kita berdua!”
“Pejamkan matamu, aku akan mengerjakannya sekarang juga dan aku akan sangat berhati-hati.”
Ia membalikkan tubuhnya dan meninggalkan saya sendiri. Saya menggergaji sebuah salib kecil yang kemudian saya sembunyikan dalam sebuah sabun yang sudah mencair. Saya selalu menyimpannya. Di kemudian hari, salib itu ditempelkan di atas sepotong logam dan menjadi salib dada saya.
Di penjara lain di Hanoi, saya berteman dengan pengawal saya dan meminta sepotong kawat. Ia ketakutan.
“Aku belajar di Akademi Kepolisian bahwa jika seseorang meminta kawat berarti ia ingin bunuh diri!” teriaknya.
Saya menjelaskan bahwa umat Kristiani, terutama para imam, tidak bunuh diri.
“Jadi, apa yang akan engkau lakukan dengan kawat itu?” tanyanya.
“Aku perlu rantai agar dapat mengenakan salibku.”
“Tapi, bagaimana engkau dapat membuat rantai dari sepotong kawat?”
“Jika kamu membawakan dua tang kecil, aku akan menunjukkannya kepadamu.”
“Itu terlalu berbahaya!”
“Bukankah kita bersahabat?”
Ia ragu-ragu sebelum akhirnya berkata, “Sangat berat menolak. Malam ini pukul 7 kita akan melakukannya. Tetapi, kita harus menyelesaikannya sebelum pukul 11. Aku akan mengatur agar temanku bebas tugas malam ini. Jika ia tahu, ia akan melaporkan kita berdua.”
Malam itu, dengan peralatan yang ia bawa, kami memotong, membentuk dan bekerja sama membuat rantai untuk saya dan kami menyelesaikannya sebelum pukul 11!
Itulah salib yang sekarang saya kenakan ini, terbuat dari kayu dan kawat dari penjara! Salib dan rantai ini bukan hanya menjadi kenang-kenangan saya semasa di penjara, tetapi juga sebagai tanda yang terus-menerus mengingatkan bahwa hanya belas kasih Kristiani yang dapat mengubah hati orang. Bukan senjata, bukan ancaman, bukan media. Salib ini merupakan seruan yang tak kunjung henti:
“Senantiasa mencinta! Senantiasa mengampuni! Hiduplah pada saat sekarang ini untuk mewartakan Injil! Setiap saat haruslah menjadi saat cinta bagi Tuhan.”
Sungguh sangat sulit bagi para pengawal saya untuk dapat mengerti ketika saya berbicara tentang mengasihi para musuh, bertobat dan mengampuni.
“Apakah engkau sungguh mengasihi kami?”
“Ya, aku sungguh mengasihi kalian.”
“Meskipun kami menyebabkanmu menderita? Ketika engkau harus menderita karena dipenjara tanpa diadili?”
“Ingatlah akan tahun-tahun yang telah kita lewatkan bersama. Tentu saja aku mengasihi kalian!”
“Dan apabila engkau telah bebas, apakah engkau akan meminta umatmu untuk mencari kami dan memukuli kami serta menyakiti keluarga kami?”
“Aku akan tetap mengasihi kalian, bahkan jika kalian ingin membunuhku.”
“Tapi, mengapa?”
“Karena, Yesus mengajar kami untuk senantiasa mengasihi; dan jika kami tidak mengasihi, maka kami tidak layak lagi disebut orang-orang Kristen.”
Tidak akan ada cukup waktu untuk menceritakan kepada kalian semua kisah-kisah lain yang menyentuh perasaan yang merupakan bukti nyata kekuatan kasih Yesus yang membebaskan.
 Akhirnya, Bebas...!
Tahun-tahun sengsara di penjara berlalu dengan sangat lambat. Ketika menderita penghinaan dan merasa ditinggalkan, satu-satunya penolong dan pengharapanku adalah cinta kasih Maria, Bunda kita. Pelayan-pelayan Maria yang mengagumkan - St Louis de Montfort, Don Bosco, Maximilian Kolbe - adalah sahabat-sahabat saya dalam jalan pengharapan. Mereka mengilhami saya dan memberi saya kepercayaan tak tergoyahkan akan cinta kasih Maria, Ratu para Rasul dan para Martir.
Saya mengucapkan doa ini kepada Bunda Maria: “Bunda Maria, Bundaku, jika engkau tahu bahwa aku sudah tidak berguna lagi bagi Gereja, berilah aku rahmat untuk mati di sini, di penjara, dan menyempurnakan kurbanku. Jika engkau tahu bahwa aku masih dapat berguna bagi Gereja, berilah aku rahmat kebebasan di salah satu hari pestamu.”
Sesungguhnya, pada tanggal 21 November 1988, saya sedang memasak makanan ketika saya mendengar pengawal dipanggil untuk menerima telepon. Saya mempunyai firasat mungkin mereka sedang membicarakan saya. Beberapa menit kemudian pengawal memanggil.
“Bapak Thuân, apakah Bapak sudah selesai makan?”
“Tidak, belum.”
“Segera sesudah makan, pergilah menghadap ketua - dan semoga sukses!”
Saya dibawa menghadap Menteri Polisi dan setelah berbasa-basi, ia bertanya:
“Apakah engkau ingin menyampaikan suatu permintaan?”
“Ya, Bapak Menteri, saya ingin dibebaskan!”
“Kapan?”
“Hari ini!”
Bapak Menteri berpura-pura terkejut, tetapi saya tahu bahwa harinya telah tiba. Hari itu adalah Pesta SP Maria Dipersembahkan di Bait Allah dan Bunda Maria telah menjawab doa saya.
Menanggapi keterkejutan sang Menteri, saya menjawab, “Anda tahu Bapak Menteri, saya telah dipenjara selama masa pemerintahan tiga paus: Paulus VI, Yohanes Paulus I, dan Yohanes Paulus II. Saya telah berada di sini selama masa pemerintahan empat Sekretaris Jenderal Partai Komunis: Brezhnev, Andropov, Chernenko and Gorbachev.”
Matanya terbelakak.
“Ya, memang betul. Baiklah. Permohonanmu dikabulkan. Kamu bebas.”
 Calon Pewaris Tahta Vatikan
Setelah dibebaskan dari penjara, Uskup Agung Van Thuân diusir keluar dari negaranya. Ia diterima oleh Paus Yohanes Paulus II di Vatikan dan diserahi tanggung jawab dalam Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian yang menangani masalah-masalah seperti hutang Dunia Ketiga. Pada tanggal 24 November 1994, Thuân diangkat sebagai Wakil Presiden dan kemudian, sejak tanggal 24 Juni 1998 hingga wafatnya, Thuân menjabat sebagai Presiden Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian.
Dalam Tahun Yubileum 2000, Paus Yohanes Paulus II memintanya untuk memberikan ceramah dalam retret tahunan bagi Paus dan para anggota Roman Curia yang diadakan pada tanggal 12 hingga 18 Maret 2000. Bapa Suci meminta Uskup Agung Van Thuân menceritakan kesaksian hidupnya sebagai seorang yang patut disebut sebagai martir hidup, seorang saksi iman. Ceramah retret merupakan bagian dari e-mail harian yang disebarluaskan oleh Zenit, suatu kantor berita internasional. Melalui retret ini, dunia mulai mengenal Van Thuân dan haus akan pesan-pesan pengharapannya.
Di kemudian hari, ceramahnya diterbitkan dengan judul Testimony of Hope (versi Indonesia: Kesaksian Pengharapan, Penerbit Obor). Judul ini amat tepat sebab seluruh isi ceramahnya berbicara tentang sukacita dan pengharapan, bahkan dalam penderitaan dan dalam bayang-bayang kematian.
Pada tanggal 21 Februari 2001 Uskup Agung Van Thuân diangkat sebagai Kardinal oleh Paus Yohanes Paulus II. Seminggu kemudian Kementerian Luar Negeri Viêt Nam memperlunak larangan-larangannya dan mengijinkan Kardinal memasuki tanah kelahirannya dengan hanya mempergunakan prosedur imigrasi rutin. Kardinal juga mendapatkan segala hak yang biasa diberikan kepada seorang warganegara asing.
Meskipun baru setahun saja menjabat kardinal, nama Thuân telah muncul dalam daftar calon-calon penerus yang mungkin menggantikan Paus Yohanes Paulus II, terutama oleh mereka yang percaya bahwa paus mendatang bisa jadi berasal dari suatu negara non Eropa yang miskin. Vietnam memiliki komunitas Katolik Roma terbesar di Asia sesudah Filipina.
Ketika Kardinal Thuân ditanya tentang kemungkinannya menjadi Paus Asia yang pertama, ia mengatakan “Hanya Tuhan yang tahu”. Tetapi ia sungguh merasa bahwa, seperti Paus Yohanes XXIII yang amat dicintai tetapi wajahnya tidak tampan, jika memang hal itu akan terjadi, tentunya ia dikaruniai wajah yang lebih photogenic.
 Wafat
Kardinal F.X. Nguyên Van Thuân wafat karena penyakit kanker pada tanggal 16 September 2002 di sebuah klinik di Roma dalam usia 74 tahun. Pemakaman dilaksanakan pada tanggal 20 September 2002 pukul 5:30 petang di altar Pengakuan Basilika Vatikan. Paus Yohanes Paulus II memimpin serta menyampaikan homili, Ultima Commendatio dan Valedictio. Kardinal Angelo Sodano, Sekretaris Negara, merayakan Misa bersama dengan para kardinal yang lain.
Dalam homilinya, Bapa Suci Yohanes Paulus II mengatakan “sementara kita mengucapkan selamat berpisah untuk terakhir kalinya kepada bentara Injil Kristus yang gagah berani ini, kita menghaturkan puji syukur kepada Kristus yang melalui dia telah memberi kita teladan gemilang akan kepercayaan Kristiani hingga tingkat kemartiran… Rahasianya adalah kepenuhan iman akan Allah, yang disuburkan dengan doa dan penderitaan yang ia terima dengan cinta. Di penjara, ia merayakan Ekaristi setiap hari dengan tiga tetes anggur dan setetes air di telapak tangannya. Itulah altarnya, katedralnya. Tubuh Kristus adalah 'obatnya'.”
“Dalam pernyataan rohaninya,” lanjut Paus, “sesudah mohon pengampunan, kardinal meyakinkan kami bahwa ia akan terus mencintai semua orang. 'Saya pergi dengan damai', dan tegasnya pula, 'Saya tidak mempunyai perasaan tidak suka terhadap siapa pun. Saya mempersembahkan segala penderitaan yang saya tanggung kepada St. Perawan Maria Tak Bercela dan St. Yusuf.' Pernyataannya diakhiri dengan tiga nasehat: 'Cintailah Santa Perawan Maria dan percayalah kepada St. Yusuf, setia kepada Gereja, dan hidup rukun serta penuh belas kasihan terhadap semua orang.' Itulah, secara singkat, seluruh hidupnya.”
Sumber: 1. “Cardinal Van Thuan”; Daughters of St. Paul; www.daughtersofstpaul.com/cardvanthuan; 2. “Cardinal Nguyen Van Thuan (1928-2002): How faith survived in a Communist prison”; Reprinted from AD2000 Vol 16 No 4 (May 2003), p. 10; http://www.ad2000.com.au/articles/2003/may2003p10_1322.html; 3. “Cardinal Nguyen Van Thuan, Heroic Herald ot the Gospel”; Vatican Information Service; 4. berbagai sumber
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “disarikan dan diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”
|