YESAYA    
Edisi YESAYA   |   Bunda Maria   |   Santa & Santo   |   Doa & Devosi   |   Serba-Serbi Iman Katolik   |   Artikel   |   Suara Gembala   |   Warta eRKa   |   Yang Menarik & Yang Lucu   |   Anda Bertanya, Kami Menjawab
Kerahiman Ilahi Dalam Jiwaku


KERAHIMAN ILAHI DALAM JIWAKU
Buku Catatan Harian Abdi Allah
Suster Maria Faustina Kowalska

anggota Kaul Kekal dari
Kongregasi Suster-suster Santa Perawan Maria Berbelas Kasih


BUKU CATATAN I


Ya Kasih yang kekal, Engkau menghendaki agar Gambar Kudus-Mu dilukis, dan menyatakan kepada kami sumber kerahiman yang tak terselami, Engkau memberkati siapa pun yang menghampiri sinar-sinar-Mu, dan jiwa yang hitam pekat akan menjadi seputih salju. Ya Yesus yang Termanis, di sinilah Engkau mendirikan tahta kerahiman-Mu. Guna mendatangkan sukacita dan pengharapan bagi orang berdosa. Dari Hati-Mu yang terbuka, murni bagaikan dari sebuah sumber yang jernih, mengalirlah penghiburan bagi hati dan jiwa yang bertobat. Kiranya puji-pujian dan kemuliaan bagi lukisan ini tak akan pernah berhenti mengaliri jiwa manusia. Kiranya puji-pujian bagi Kerahiman Ilahi memancar dari setiap hati, saat ini, dan setiap dan setiap jam, sekarang dan selama-lamanya.

Ya Tuhan-ku

Apabila aku menerawangkan pikiranku ke masa yang akan datang, aku diresapi ketakutan, tetapi mengapakah mereka-reka masa yang akan datang? Hanya waktu sekarang yang berharga bagiku, sebab masa mendatang mungkin tak akan pernah memasuki jiwaku sama sekali. Sudah di luar kuasaku untuk mengubah, mengoreksi atau menambah ke dalam masa lalu; tak ada, baik orang bijak maupun nabi, yang dapat melakukannya. Jadi, apa yang ada dalam rengkuhan masa lalu harus aku percayakan kepada Tuhan.

Wahai waktu sekarang, engkau milikku, sepenuhnya dan seutuhnya. Aku rindu mempergunakanmu sebaik yang kudapat. Dan walau aku kecil dan lemah, Engkau menganugerahiku rahmat dari kemahakuasaan-Mu. Jadi, dengan kepercayaan pada belas kasih-Mu, aku berjalan menapaki hidup bagaikan seorang kanak-kanak, setiap hari mempersembahkan kepada-Mu hati ini yang berkobar-kobar oleh kasih demi kemulian-Mu yang terlebih lagi.

Y.M.Y.
(Yesus, Maria dan Yosef)
Allah dan jiwa-jiwa
Raja Kerahiman Ilahi, bimbinglah jiwaku.
Suster M. Faustina dari Sakramen Mahakudus


Vilnius, 28 Juli 1934

Ya Yesus-ku, oleh sebab aku mengandalkan-Mu, aku merangkai ribuan untaian bunga, dan aku tahu bahwa mereka semuanya akan mekar. Dan aku tahu bahwa mereka semuanya akan mekar apabila matahari Tuhan bersinar atas mereka. Ya Sakramen yang Agung dan Ilahi yang menyamarkan Allah-ku! Yesus, sertailah aku setiap saat, maka rasa takut tak akan pernah menghampiri hatiku.


Y.M.Y.
ALLAH DAN JIWA-JIWA

VILNIUS, 28 JULI 1934
BUKU CATATAN PERTAMA

Terpujilah Engkau, ya Tritunggal Mahakudus, sekarang dan sepanjang segala masa. Terpujilah Engkau dalam segala karya-Mu dan dalam segala makhluk ciptaan-Mu. Kiranya keagungan kerahiman-Mu dipuji dan dimuliakan, ya Tuhan.

Aku akan menuliskan perjumpaan jiwaku dengan-Mu ya Tuhan, di saat-saat kunjungan istimewa-Mu. Aku akan menulis mengenai Engkau, ya kerahiman yang tak terselami, terhadap jiwaku yang malang. Kehendak-Mu yang kudus adalah hidup jiwaku. Aku menerima perintah ini melalui dia yang diperuntukkan bagiku, wakil-Mu di dunia ini, yang menterjemahkan kehendak-Mu yang kudus bagiku. Yesus, Engkau lihat betapa sulit bagiku untuk menulis, betapa aku tak dapat menuliskan dengan jelas apa yang aku alami dalam jiwaku. Ya Tuhan dapatkah pena menuliskan hal-hal yang seringkali tak dapat diungkapkan dengan kata-kata? Tetapi Engkau memberikan perintah untuk menulis ya Tuhan; dan itu cukuplah bagiku.


Warsawa, 1 Agustus 1925

    MASUK BIARA

Sejak usia tujuh tahun, aku merasakan panggilan Tuhan yang pasti, rahmat panggilan kehidupan religius. Dalam tahun ketujuh masa hidupku, untuk pertama kalinya, aku mendengar suara Tuhan dalam jiwaku; suatu undangan kepada hidup yang lebih sempurna. Tetapi, aku tak selalu taat pada panggilan rahmat. Aku tak menjumpai siapa pun yang menjelaskan hal-hal ini kepadaku.

Delapan belas tahun masa hidupku. Suatu permohonan yang sangat kepada orangtuaku agar mengijinkanku masuk biara. Penolakan mentah-mentah orangtuaku. Setelah penolakan ini, aku berpaling pada hal-hal yang sia-sia dalam hidup, tanpa mempedulikan panggilan rahmat, walau jiwaku tak mendapati kepuasan dalam hal-hal demikian. Panggilan rahmat yang tak kunjung henti mengakibatkanku begitu menderita; namun, aku berusaha menghalaunya dengan kesenangan-kesenangan. Secara rohani aku mengelak dari Allah, mencurahkan segenap perhatianku kepada makhluk-makhluk ciptaan. Tetapi, rahmat Tuhan menang atas jiwaku.

Suatu ketika aku berada di sebuah pesta dansa (mungkin di Lode) dengan salah seorang saudariku. Sementara semua orang berpesta-pora, jiwaku tersiksa begitu hebat. Ketika aku mulai berdansa, sekonyong-konyong aku melihat Yesus di sampingku; Yesus menderita sengsara, nyaris telanjang, sekujur tubuh-Nya penuh luka-luka; Ia berkata kepadaku, “Berapa lama lagi Aku akan tahan denganmu dan berapa lama lagi engkau akan mengabaikan-Ku.” Saat itu hingar-bingar musik berhenti, orang-orang di sekelilingku lenyap dari penglihatan; hanya ada Yesus dan aku di sana. Aku mengambil tempat duduk di samping saudariku terkasih, berpura-pura sakit kepala guna menutupi apa yang terjadi dalam jiwaku. Beberapa saat kemudian aku menyelinap pergi, meninggalkan saudari dan semua teman-teman, melangkahkan kaki menuju Katedral St Stanislaus Kostka.

Lampu-lampu sudah mulai dinyalakan; hanya sedikit orang saja ada dalam katedral. Tanpa mempedulikan sekeliling, aku rebah (= prostratio) di hadapan Sakramen Mahakudus dan memohon dengan sangat kepada Tuhan agar berbaik hati membuatku mengerti apa yang harus aku lakukan selanjutnya.

Lalu aku mendengar kata-kata ini, “Segeralah pergi ke Warsawa, engkau akan masuk suatu biara di sana.” Aku bangkit berdiri, pulang ke rumah, membereskan hal-hal yang perlu diselesaikan. Sebisaku, aku menceritakan kepada saudariku apa yang telah terjadi dalam jiwaku. Aku memintanya untuk menyampaikan selamat tinggal kepada orangtua kami, dan lalu, dengan baju yang melekat di tubuh, tanpa barang-barang lainnya, aku tiba di Warsawa.

Ketika turun dari kereta api dan melihat orang-orang berpencaran ke tujuan masing-masing, aku diliputi ketakutan. Apakah yang harus kulakukan? Kepada siapa aku harus berpaling, sebab aku tak mengenal siapa pun? Jadi, aku mengatakan kepada Bunda Allah, “Bunda Maria, tuntunlah aku, bimbinglah aku.” Segera aku mendengar kata-kata dalam diriku yang menyuruhku meninggalkan kota dan pergi ke suatu daerah tertentu dekat sana di mana aku akan mendapatkan tempat bermalam yang aman. Aku melakukannya dan sesungguhnya mendapati segala sesuatu tepat seperti yang dikatakan Bunda Allah kepadaku.

Pagi-pagi benar keesokan harinya, aku kembali ke kota dan masuk ke dalam gereja pertama yang aku lihat (Gereja St Yakobus di Jalan Grojecka di Ochota, pinggiran Warsawa). Di sana aku mulai berdoa untuk mengetahui lebih lanjut kehendak Allah. Misa Kudus dirayakan silih berganti. Dalam salah satu Misa aku mendengar kata-kata ini, “Pergilah kepada Imam itu (Pater Yakobus Dobrowski, pastor St Yakobus) dan ceritakan semuanya; ia akan mengatakan kepadamu apa yang harus kau lakukan selanjutnya.” Setelah Misa, aku menuju sakristi. Aku mengatakan kepada imam segala sesuatu yang terjadi atas jiwaku dan meminta nasehatnya di mana aku dapat menerima jubah, di ordo religius yang mana.

Pada mulanya Imam amat terperanjat, namun demikian menasehatiku untuk memiliki keyakinan teguh bahwa Tuhan akan menyelenggarakan masa depanku. “Untuk sementara waktu,” katanya, “pergilah ke seorang perempuan saleh (Aldona Lipszycowa) dengan siapa engkau akan tinggal hingga engkau masuk biara.” Ketika aku datang kepadanya, perempuan ini menerimaku dengan sangat baik. Selama tinggal bersamanya, aku mencari-cari biara, tetapi di biara mana pun yang aku ketuk, aku ditolak. Kesedihan menyelimuti hatiku, dan aku berkata kepada Tuhan Yesus, “Tolonglah aku; jangan tinggalkan aku sendiri.” Akhirnya aku mengetuk pintu biara kita.

Ketika Moeder Superior, yaitu Moeder Jenderal Michael yang sekarang, keluar untuk menemuiku, setelah berbincang sejenak, ia menyuruhku untuk menemui Tuan rumah dan menanyakan apakah Ia mau menerimaku. Seketika aku mengerti bahwa aku diminta menanyakan hal ini kepada Tuhan Yesus. Penuh kegirangan aku menuju kapel dan bertanya kepada Yesus, “Tuan rumah ini, apakah Engkau mau menerimaku? Salah seorang suster menyuruhku untuk menanyakannya kepada-Mu.”

Segera aku mendengar suara ini, “Aku menerimamu; engkau ada dalam Hati-Ku.” Ketika aku kembali dari kapel, Moeder Superior langsung bertanya, “Bagaimana, apakah sang Tuan menerimamu?” Aku menjawab, “Ya.” “Jika Tuan telah menerimamu, maka aku juga akan menerimamu.” Begitulah bagaimana aku diterima dalam biara. Tetapi, karena banyak hal, aku masih harus tinggal di dunia lebih dari setahun lamanya bersama perempuan saleh (Aldona Lipszycowa), tetapi aku tidak pulang kembali ke rumah.

Pada masa itu aku harus bergumul dengan banyak kesulitan, tetapi Tuhan murah hati dengan rahmat-rahmat-Nya. Suatu kerinduan yang begitu hebat akan Tuhan menguasaiku. Perempuan yang saleh itu, tidak mengerti kebahagiaan hidup religius dan dalam kebajikan hatinya mulai merancangkan sesuatu yang lain bagi masa depanku. Tetapi, aku merasa bahwa aku memiliki hati yang begitu besar hingga tak suatu pun akan mampu memenuhinya. Maka, aku berpaling dengan segala kerinduan jiwaku kepada Tuhan.

Pesta Corpus Christi (25 Juni 1925). Tuhan memenuhi jiwaku dengan penerangan batin pemahaman yang lebih mendalam akan Dia sebagai yang Mahabaik dan Mahaagung. Aku semakin mengerti betapa dahsyat Tuhan mengasihiku. Abadilah kasih-Nya padaku. Waktu itu ibadat sore. Dengan kata-kata sederhana yang mengalir dari lubuk hatiku, aku mengucapkan kaul kemurnian kekal di hadapan Tuhan. Sejak saat itu aku merasakan keakraban yang lebih lagi dengan Tuhan, Mempelai-ku. Sejak saat itu aku membangun sebuah bilik kecil dalam hatiku di mana aku senantiasa bersama Yesus.

Akhirnya tibalah waktu di mana pintu biara dibuka bagiku - waktu itu tanggal 1 Agustus (1925), sore hari, vigili Pesta Santa Perawan Maria Ratu Para Malaikat. Aku merasa sangat bahagia, seakan-akan aku telah melangkahkan kaki ke dalam kehidupan Firdaus. Suatu doa meledak dari hatiku, doa ucapan syukur.

Tetapi, setelah tiga minggu aku menyadari bahwa di sini hanya ada sedikit waktu saja untuk berdoa, dan begitu banyak pikiran berkecamuk dalam benak mendorongku untuk masuk ke sebuah komunitas religius lain dengan peraturan yang lebih ketat. Pikiran ini begitu kuat menguasai jiwaku, namun kehendak Allah tidak ada di sana. Terus, pikiran, atau lebih tepat godaan ini semakin lama semakin kuat hingga suatu hari aku memutuskan untuk menyampaikan niatku kepada Moeder Superior dan dengan pasti meninggalkan biara. Tetapi Tuhan menata peristiwa-peristiwa begitu rupa hingga aku tak dapat menemui Moeder Superior (Michael). Sebelum pergi tidur, aku masuk ke dalam kapel dan mohon pencerahan Yesus dalam masalah ini. Tetapi aku tak mendapatkan suatu apapun dalam jiwaku kecuali perasaan gelisah yang aneh yang tidak aku mengerti. Tetapi, apapun yang terjadi, aku telah bertekad untuk menemui Moeder Superior keesokan harinya sesudah Misa dan menyampaikan keputusanku kepadanya.

Aku masuk ke dalam bilikku. Para suster telah berada di tempat tidur - lampu-lampu sudah dipadamkan. Aku masuk ke dalam kamar diliputi kegalauan dan kegelisahan; tak tahu apa yang harus kulakukan dengan diriku sendiri. Aku segera merebahkan diri di lantai dan mulai berdoa dengan sungguh-sungguh agar dapat mengenali kehendak Allah. Hening suasana bagaikan di tabernakel. Para suster berbaring bagaikan hosti putih dalam piala Yesus. Hanya dari bilikku saja Tuhan dapat mendengar rintihan suatu jiwa. Aku tidak tahu bahwa diperbolehkan berdoa dalam kamar setelah jam sembilan tanpa ijin.

Beberapa saat kemudian suatu terang memenuhi bilikku, dan di atas tirai aku melihat wajah Yesus yang amat menderita. Luka-luka menganga memenuhi WajahNya dan butir-butir besar airmata jatuh menetes ke atas seprei tempat tidurku. Tak paham arti semua ini, aku bertanya kepada Yesus, “Yesus, siapakah gerangan yang telah menyengsarakan-Mu begitu rupa?” Yesus berkata kepadaku, “Engkaulah yang yang akan mengakibatkan sengsara ini pada-Ku jika engkau meninggalkan biara. Ke tempat inilah engkau Ku-panggil dan bukan ke tempat lain; Aku telah menyediakan banyak rahmat bagimu.” Aku mohon pengampunan pada Yesus dan segera mengubah keputusanku.

Kesokan harinya adalah hari pengakuan dosa. Aku menceriterakan segala yang terjadi dalam jiwaku, dan bapa pengakuan mengatakan bahwa dari kehendak Allah ini telah nyata bahwa aku harus tinggal dalam kongregasi dan bahkan aku tak perlu memikirkan ordo religius lainnya. Sejak saat itu, aku senantiasa merasa bahagia dan puas.

Tak lama berselang, aku jatuh sakit (karena kecapaian). Moeder Superior terkasih mengirimku ke Skolimow, tak jauh dari Warsawa, bersama dua suster lainnya untuk beristirahat. Waktu itulah aku bertanya kepada Tuhan siapa lagi yang harus aku doakan. Yesus mengatakan bahwa esok malam Ia akan memberitahu bagi siapakah hendaknya aku berdoa.

(Esok malam) Aku melihat malaikat pelindungku yang memintaku untuk mengikutinya. Dalam sekejap aku berada di suatu tempat berkabut penuh api di mana terdapat suatu himpunan besar jiwa-jiwa menderita. Mereka berdoa dengan sungguh-sungguh bagi diri mereka sendiri, tetapi sia-sia belaka; hanya kita yang dapat menolong mereka. Kobaran api yang membakar mereka tak menyentuhku sama sekali. Malaikat pelindung tak sekejap pun meninggalkanku. Aku bertanya kepada jiwa-jiwa ini apakah penderitaan mereka yang paling hebat. Serempak mereka menjawab bahwa siksaan yang paling dahsyat adalah kerinduan akan Tuhan. Aku melihat Santa Perawan mengunjungi jiwa-jiwa di api penyucian. Jiwa-jiwa menyebutnya Kartika Samudera. Santa Perawan mendatangkan kelegaan bagi mereka. Aku ingin berbicara lebih lanjut kepada mereka, tetapi malaikat pelindung memberi isyarat kepadaku untuk segera pergi. Kami keluar dari kurungan sengsara. (Aku mendengar suara batin), “Belas kasih-Ku tak menghendaki ini, tetapi keadilan menuntutnya.” Sejak saat itu, aku memiliki hubungan yang lebih erat dengan jiwa-jiwa menderita.

Akhir masa postulan (29 April 1926) - Para superior (mungkin Moeder Leonard dan Moeder Jane) mengirimku ke rumah novisiat di Krakow. Sukacita yang tak terkira meliputi jiwaku. Ketika kami tiba di rumah novisiat, Suster (Henry) sedang dalam sakrat maut. Beberapa hari kemudian ia datang kepadaku (dalam roh, setelah wafatnya) dan memintaku untuk pergi kepada Moeder Direktur Novis (Suster Margaret) serta menyampaikan kepadanya agar meminta bapa pengakuan, Pater Rodpond, mempersembahkan satu Misa Kudus dan tiga doa pemulihan bagi jiwanya. Pada awalnya aku setuju, tetapi keesokan harinya aku memutuskan untuk tidak menghadap Moeder Direktur, sebab aku tidak yakin apakah peristiwa ini terjadi dalam mimpi atau kenyataan. Jadi, aku tidak pergi.

Malam berikutnya, hal yang sama terulang kembali dengan lebih jelas; maka keraguanku pun sirna. Walau begitu, pagi hari aku memutuskan untuk tidak mengatakannya kepada Direktur jika aku tidak melihatnya (Suster Henry) pada siang hari. Segera aku berjumpa dengannya di lorong. Ia menegurku karena tidak bergegas pergi, suatu perasaan bersalah mengisi jiwaku. Karenanya, serta-merta aku menemui Moeder Direktur dan mengatakan kepadanya segala sesuatu yang terjadi. Moeder menjawab bahwa ia akan menangani perkara ini. Seketika rasa damai memenuhi jiwaku; pada hari ketiga suster datang kepadaku dan mengatakan, “Kiranya Allah mengganjari engkau.”

Pada hari aku menerima jubah, Tuhan membuatku mengerti betapa banyak aku harus menderita. Dengan jelas aku melihat hingga ke tahap mana aku mempersembahkan diriku. Sekejap aku merasakan penderitaan itu. Tetapi, kemudian Tuhan memenuhi jiwaku kembali dengan penghiburan-penghiburan besar.

Menjelang akhir tahun pertama novisiatku, kegelapan mulai melingkupi jiwaku. Aku tak merasakan penghiburan sama sekali dalam doa, aku harus berjuang keras untuk masuk dalam meditasi; rasa takut mulai merayapi diriku. Semakin aku masuk ke dalam diriku, tetapi tak dapat kujumpai suatu pun selain sengsara hebat. Aku juga dapat melihat dengan jelas keagungan kemuliaan Allah. Tak berani aku mengangkat mata menatap-Nya, melainkan merendahkan diriku bagai debu di bawah kaki-Nya dan memohon belas kasih-Nya. Jiwaku berada dalam keadaan seperti ini hingga hampir enam bulan lamanya. Moeder Direktur kita yang terkasih (Maria Yosef) menyemangatiku dalam masa-masa sulit ini. Tetapi, penderitaan semakin dan semakin bertambah hebat.

Tahun kedua masa novisiatku hampir tiba. Setiap saat aku teringat bahwa aku akan mengucapkan kaul, jiwaku gemetar. Aku tidak mengerti apa yang aku baca; aku tak dapat meditasi; aku merasa doaku tidak berkenan kepada Allah. Aku merasa dengan menghampiri Sakramen Mahakudus terlebih lagi aku menyakiti Tuhan. Kendati demikian, bapa pengakuan (Pater Theodore) tak mengijinkanku melewatkan satu Komuni pun. Tuhan berkarya dengan cara yang sangat aneh dalam jiwaku. Aku tidak mengerti sama sekali apa yang dikatakan bapa pengakuan kepadaku. Kebenaran-kebenaran iman yang sederhana menjadi tak terpahami olehku. Jiwaku merana, tak dapat menemukan kelegaan di manapun.  

Pada tingkat tertentu, timbul kesan yang sangat kuat dalam diriku bahwa aku ditolak oleh Tuhan. Pikiran ngeri ini menembusi jiwaku hingga ke lubuk yang terdalam; di tengah penderitaan, jiwaku mulai merasakan sakrat maut. Aku ingin mati, tapi tak dapat. Pikiran ini timbul di benakku: apakah gunanya berjuang demi keutamaan-keutamaan; mengapa harus menyangkal diri apabila semua ini tak berkenan bagi Allah? Ketika aku menyampaikannya kepada Direktur Novis, aku menerima jawaban berikut, “Ketahuilah, saudariku terkasih, Tuhan telah memilih engkau ke suatu tingkat kekudusan yang tinggi. Inilah tanda bahwa Tuhan menghendaki engkau sangat dekat dengan-Nya di surga. Percayalah teguh pada Tuhan Yesus.”  

Pikiran ngeri ditolak Tuhan adalah siksaan yang sesungguhnya mendera jiwa-jiwa terkutuk. Aku terbang kepada Luka-Luka Yesus dan mengulangi kata-kata iman, tetapi kata-kata ini menjadi suatu siksaan yang terlebih lagi bagiku. Aku menghampiri Sakramen Mahakudus dan mulai berbicara kepada Yesus, “Yesus, Engkau mengatakan bahwa lebih mudah seorang ibu melupakan bayinya daripada Tuhan melupakan makhluk ciptaan-Nya, dan bahkan andai seorang ibu melupakan bayinya, `Aku Tuhan tidak akan pernah melupakan ciptaan-Ku.' O Yesus, adakah Engkau mendengar bagaimana jiwaku merintih? Sudilah mendengar ratap-tangis pilu anak-Mu. Aku mengandalkan Engkau, ya Tuhan, sebab langit dan bumi akan lenyap, tetapi sabda-Mu akan tetap untuk selamanya.” Walau demikian, tetap saja aku tak mendapati sekejap pun kelegaan.

Suatu hari, setelah bangun, sementara menghadirkan diri di hadapan Allah, sekonyong-konyong aku diliputi keputusasaan. Kegelapan pekat melingkupi jiwaku. Aku bergulat sekuat tenaga hingga tengah hari. Pada waktu siang, sungguh ketakutan yang mematikan mulai merayapiku; kekuatan jasmani mulai meninggalkanku. Bergegas aku masuk ke dalam bilikku, jatuh di atas kedua lutut di hadapan Salib dan mulai berseru-seru memohon belas kasih Tuhan. Namun, Yesus tak mendengarkan seruanku. Aku merasa kekuatan jasmaniku lenyap sama sekali. Aku terkapar di atas lantai, keputusaan menguasai segenap jiwaku. Aku menderita siksaan hebat yang tiada bedanya dengan siksaan neraka. Aku berada dalam keadaan demikian hingga tiga perempat jam lamanya. Aku ingin pergi menemui Direktur, tetapi aku lemah tak berdaya. Aku ingin berteriak, tetapi tak ada suara yang keluar. Untunglah, salah seorang suster (soerang novis lain, Suster Placid Pottery) masuk ke bilikku. Mendapatiku dalam keadaan yang begitu aneh, bergegaslah ia menyampaikannya kepada Direktur. Moeder segera datang. Begitu masuk ke dalam kamar ia berkata, “Dalam nama ketaatan yang kudus, bangkitlah dari lantai.” Seketika itu suatu kekuatan membangkitkanku dari lantai dan aku berdiri tegak dekat Moeder Direktur terkasih. Dengan kata-kata lemah-lembut ia mulai menjelaskan kepadaku bahwa peristiwa ini merupakan suatu pencobaan yang dikirim Tuhan padaku; ia mengatakan, “Percayalah teguh; Tuhan senantiasa Bapa kita, bahkan saat Ia mengirimkan pencobaan-pencobaan kepada kita.”

Aku kembali pada tugas kewajibanku bagai orang yang baru saja keluar dari kubur, akal budiku terpaku pada apa yang dialami jiwaku. Pada waktu ibadat sore, jiwaku mulai tersiksa lagi dalam kegelapan yang ngeri. Aku merasa bahwa aku ada dalam kuasa Allah yang Adil, dan bahwa aku adalah obyek murka-Nya. Sepanjang saat-saat mengerikan ini, aku berkata kepada Tuhan, “Yesus, dalam Injil Engkau memperbandingkan DiriMu Sendiri dengan seorang ibu yang paling lemah-lembut, aku percaya akan Sabda-Mu sebab Engkau-lah Kebenaran dan Hidup. Walau apa yang terjadi, aku percaya pada-Mu, kendati segala perasaan batin yang melawan pengharapan. Perbuatlah padaku seturut kehendak-Mu; aku tak akan pernah meninggalkan-Mu, sebab Engkau-lah sumber hidupku.” Hanya ia yang pernah mengalami saat-saat serupa dapat mengerti bagaimana ngerinya siksaan batin ini.

Pada waktu malam, Bunda Allah mengunjungiku dengan menggendong Bayi Yesus dalam pelukannya. Jiwaku dipenuhi sukacita; aku berkata, “Bunda Maria, Bundaku, tahukah engkau betapa hebat aku menderita?” Bunda Allah menjawab, “Aku tahu betapa banyak engkau menderita, tetapi janganlah takut. Aku ikut ambil bagian dalam penderitaanmu, dan aku akan senantiasa melakukannya.” Bunda Maria tersenyum hangat dan lenyap dari pandangan. Seketika itu, muncul suatu kekuatan dan semangat baru dalam jiwaku; tetapi hanya berlangsung satu hari saja.

Tampaknya seakan-akan neraka telah bersekongkol melawan aku. Suatu kebencian yang hebat mulai merebak dalam jiwaku, suatu kebencian terhadap segala yang kudus dan ilahi. Aku merasa bahwa siksaan-siksaan rohani ini akan menjadi takdirku sepanjang sisa hidupku. Aku berpaling kepada Sakramen Mahakudus dan berkata kepada Yesus, “Yesus, Mempelai-ku, tidakkah Engkau melihat bahwa jiwaku sekarat karena merindukan Engkau? Bagaimana mungkin Engkau menyembunyikan Diri dari hati yang mengasihi-Mu begitu tulus? Ampunilah aku, Yesus; jadilah kehendak-Mu yang kudus atas diriku. Aku akan menderita diam-diam bagaikan seekor merpati, tanpa mengeluh. Aku bahkan tak akan mengijinkan hatiku merengekkan satupun keluh-kesah.”

Akhir masa novisiat. Penderitaan belum reda. Kelemahan jasmani mengecualikanku dari segala latihan rohani (komunitas); begitulah, latihan-latihan digantikan dengan doa-doa singkat. Jumat Agung (16 April 1928) - Yesus menarik hatiku ke dalam nyala api kasih-Nya. Hal ini terjadi pada saat adorasi sore. Tiba-tiba, Kehadiran Ilahi menguasaiku, aku melupakan segala yang lainnya. Yesus membuatku mengerti betapa Ia telah menderita bagiku. Hal ini berlangsung sekejap saja. Suatu dahaga yang hebat - suatu kerinduan akan kasih Allah.

Kaul pertama (pertama mengucapkan kaul sementara, 30 April 1928). Suatu hasrat yang berkobar untuk mengosongkan diri sendiri bagi Tuhan dengan kasih yang membara, namun tersembunyi, bahkan dari para suster terdekat sekalipun.

Namun demikian, bahkan setelah mengucapkan kaul, kegelapan terus meliputi jiwaku hingga hampir setengah tahun lamanya. Suatu kali, ketika sedang berdoa, Yesus merasuki segenap jiwaku, kegelapan pun sirna, dan aku mendengar kata-kata ini dalam diriku, “Engkau sukacita-Ku, engkau kesayangan hati-Ku.” Sejak saat itu aku merasakan Tritungal Mahakudus dalam hatiku; begitulah, dalam diriku. Aku merasa bahwa aku dinaungi terang Ilahi. Sejak waktu itu, jiwaku berada dalam persekutuan yang mesra dengan Tuhan, bagaikan seorang kanak-kanak dengan Bapa-nya terkasih.

Suatu hari Yesus berkata, “Pergilah kepada Moeder Superior (mungkin Moeder Rafael) dan mintalah ijin padanya untuk mengenakan pakaian matiraga selama tujuh hari, dan setiap malam itu hendaknya engkau bangun dan datang ke kapel.” Aku mengatakan ya, sesungguhnya aku merasa berat menemui Superior. Sore hari Yesus bertanya, “Berapa lama lagi engkau akan menundanya?” Aku bertekad untuk menyampaikannya kepada Moeder Superior begitu aku berjumpa dengannya.

Keesokan harinya sebelum siang aku melihat Moeder Superior pergi ke ruang makan; dan karena dapur, ruang makan dan kamar Suster Eyelashes saling berdekatan satu sama lain, aku meminta Moeder Superior untuk masuk ke dalam kamar Suster Eyelashes dan menyampaikan kehendak Tuhan Yesus. Mendengar itu, Moeder menjawab, “Aku tidak akan mengijinkanmu mengenakan pakaian matiraga apapun. Sama sekali tidak! Jika Tuhan Yesus hendak memberimu kekuatan yang hebat, maka aku tidak akan mengijinkan matiraga semacam itu.”

Aku minta maaf telah menyita waktu Moeder dan meninggalkan kamar. Tepat saat itu aku melihat Yesus berdiri di pintu dapur, maka kataku kepada-Nya, “Engkau menyuruhku meminta matiraga ini, tetapi Moeder Superior tidak mengijinkannya.” Kata Yesus, “Aku ada di sini selama percakapanmu dengan Superior; Aku tahu semuanya. Aku tidak menuntut matiraga darimu, melainkan ketaatan. Dengan taat engkau menyampaikan kemuliaan yang besar kepada-Ku dan mendapatkan ganjaran bagi dirimu sendiri.”       

Salah seorang Moeder (mungkin Moeder Jane), ketika mengetahui hubungan dekatku dengan Tuhan Yesus, mengatakan bahwa pastilah aku menipu diri sendiri. Ia mengatakan bahwa Tuhan Yesus berhubungan dengan cara demikian hanya dengan para kudus dan tidak dengan jiwa-jiwa berdosa “seperti engkau, Suster!” Sesudah kejadian itu, seolah aku meragukan Yesus. Di salah satu percakapan pagi dengan-Nya, aku bertanya, “Yesus, apakah Engkau bukan ilusi?” Yesus menjawab, “Kasih-Ku tak menipu siapa pun.”

Dalam suatu kesempatan aku sedang merenungkan Tritunggal Mahakudus, mengenai hakekat Allah. Aku sungguh ingin mengetahui dan memahami siapa Allah …. Dalam sekejap, rohku dibawa ke dalam apa yang tampaknya di luar dunia ini. Aku melihat suatu terang yang tak terhampiri; dalam terang ini terdapat apa yang tampak sebagai tiga sumber terang yang tak dapat aku pahami. Dari terang itu datanglah perkataan dalam bentuk halilintar yang mengelilingi langit dan bumi. Karena tak mengerti sama sekali maknanya, aku menjadi sangat sedih. Sekonyong-konyong, dari samudera terang yang tak terhampiri ini, muncullah Juruselamat kita terkasih, sungguh elok tak terlukiskan dengan Luka-Luka-Nya yang bercahaya. Dan dari terang ini datanglah suatu suara yang mengatakan, “Siapakah Tuhan pada hakekatnya, tak akan ada yang dapat memahaminya, baik akal budi malaikat maupun manusia.” Yesus mengatakan kepadaku, “Kenalilah Allah dengan merenungkan sifat-sifat-Nya.” Sejenak kemudian, Yesus membuat Tanda Salib dengan tangan-Nya lalu lenyap.  

Suatu ketika aku melihat suatu himpunan besar orang di kapel kita, juga di depan kapel dan di jalanan, sebab tak cukuplah tempat bagi mereka di dalam. Kapel dihiasi untuk merayakan suatu pesta. Ada banyak kaum klerus dekat altar, lalu suster-suster kita dan mereka dari banyak kongregasi lainnya. Mereka semuanya menanti dia yang akan mengambil tempat di altar. Tiba-tiba aku mendengar suatu suara yang mengatakan bahwa akulah yang harus mengambil tempat di altar. Tetapi, begitu aku meninggalkan lorong untuk menyeberangi halaman dan masuk ke dalam kapel, mengikuti suara yang memanggilku, semua orang mulai melempariku dengan apa saja yang ada dalam tangan mereka: lumpur, batu-batu, pasir, sapu, begitu rupa hingga pada mulanya aku ragu untuk melangkah maju. Tetapi suara itu terus-menerus memanggilku, bahkan dengan lebih mendesak, maka aku melangkah maju dengan berani.

Ketika aku memasuki kapel, para superior, para suster, para murid, dan bahkan orangtuaku sendiri mulai menghajarku dengan apa saja yang dapat mereka lakukan, jadi entah aku menghendakinya atau tidak, aku bersegera mengambil tempatku di altar. Begitu aku tiba di sana, orang-orang yang sama itu, para murid, para suster, para superior dan orangtuaku, semuanya, mulai mengulurkan tangan-tangan mereka kepadaku untuk mohon berkat; sementara aku sendiri, aku sama sekali tidak menyimpan amarah kepada mereka karena telah melempariku dengan segala macam barang itu; terlebih lagi aku terperanjat mendapati bahwa aku merasakan suatu kasih yang sangat istimewa justru terhadap mereka yang telah memaksaku maju dengan lebih bergegas ke tempat yang diperuntukkan bagiku. Pada saat yang sama, jiwaku dipenuhi sukacita yang tak terkatakan, dan aku mendengar kata-kata ini, “Perbuatlah seturut kehendakmu, bagi-bagikanlah berkat seperti yang kau kehendaki, kepada siapa saja yang kau kehendaki dan kapan saja kau kehendaki.” Lalu, sekejap kemudian, penglihatan itu pun lenyap.

Di lain waktu aku mendengar kata-kata ini, “Pergilah kepada Superior dan mintalah ia mengijinkanmu melakukan satu jam adorasi setiap hari selama sembilan hari. Sepanjang adorasi, berusahalah mempersatukan dirimu dalam doa dengan Bundaku. Berdoalah dengan segenap hatimu dalam persatuan dengan Bunda Maria, dan juga usahakanlah sepanjang waktu ini untuk melakukan Jalan Salib.” Aku mendapatkan ijin, meskipun tidak satu jam penuh, melainkan hanya sepanjang waktu yang tersisa setelah aku selesai melaksanakan segala tugas kewajibanku.

Aku melakukan novena ini dengan intensi bagi tanah airku. Pada hari ketujuh novena, aku melihat, antara langit dan bumi, Bunda Allah, mengenakan gaun yang cemerlang. Bunda Maria sedang berdoa dengan kedua tangannya terkatup di atas dadanya, sementara kedua matanya terarah ke surga. Dari hati Santa Perawan memancar sinar-sinar yang menyala-nyala, sebagian mengarah ke surga sedangkan yang lainnya menaungi ibu pertiwi kita.

Ketika aku menceriterakan hal ini dan beberapa hal lainnya kepada bapa pengakuan, ia menjawab bahwa hal ini mungkin sungguh berasal dari Tuhan, tetapi mungkin juga hanya ilusi. Karena perubahan-perubahan yang sering (dalam tugas), aku tidak memiliki seorang bapa pengakuan yang tetap, lagipula sungguh sulit bagiku untuk menceritakan hal-hal seperti ini. Aku berdoa dengan sungguh agar Tuhan memberiku rahmat yang besar itu, yaitu seorang pembimbing rohani. Tetapi, doaku dijawab hanya setelah kaul kekalku, saat aku di Vilnius. Imam itu adalah Pater Sopocko. Tuhan telah mengijinkanku untuk melihatnya dalam suatu penglihatan batin bahkan sebelum aku datang ke Vilnius.

Oh, andai saja aku memiliki seorang pembimbing rohani sejak dari awal, maka aku tak akan memubazirkan begitu banyak rahmat Allah. Seorang bapa pengakuan dapat memberikan banyak pertolongan kepada suatu jiwa, namun ia juga dapat mencelakakannya. Oh betapa para bapa pengakuan harus berhati-hati dalam menangani karya rahmat Allah dalam jiwa para peniten mereka! Sungguh, ini merupakan suatu hal yang sangat penting. Dengan rahmat-rahmat yang dianugerahkan kepada jiwa, orang dapat mengenali tingkat keakraban jiwa dengan Tuhan.

Suatu ketika aku dihadapkan ke (tahta) pengadilan Allah. Aku berdiri seorang diri di hapadan Tuhan. Yesus tampak seperti kita melihat-Nya dalam Sengsara-Nya. Sekejap kemudian, Luka-Luka-Nya lenyap terkecuali lima luka yang ada di kedua tangan-Nya, kedua kaki-Nya, dan lambung-Nya. Sekonyong-konyong aku melihat kondisi jiwaku sepenuhnya seperti Tuhan melihatnya. Aku dapat melihat dengan jelas segala yang tak berkenan di hadapan Allah. Aku tidak tahu bahwa bahkan dosa yang terkecil sekalipun akan harus dipertanggung-jawabkan. Betapa mengerikan! Sipakah gerangan yang dapat menggambarkannya? Berdiri di hadapan Allah Tritunggal Mahakudus! Yesus menanyaiku, “Siapakah engkau?” Jawabku, “Aku hamba-Mu Tuhan.” “Engkau bersalah dengan satu hari masa tinggal di api penyucian.” Aku ingin segera menceburkan diriku ke dalam api penyucian, tetapi Yesus menahanku dan berkata, “Manakah yang engkau pilih, menderita satu hari di api penyucian atau menderita beberapa waktu lamanya di dunia?” Aku menjawab, “Yesus, aku ingin menderita dalam api penyucian, dan aku juga ingin menanggung penderitaan-penderitaan yang terbesar di dunia, bahkan jika hingga akhir zaman.” Yesus bersabda, “Satu (dari dua) sudahlah cukup; engkau akan kembali ke dunia dan di sana engkau akan banyak menderita, tetapi tak lama; engkau akan menggenapi kehendak-Ku dan keinginan-Ku, seorang hamba-Ku yang setia akan membantumu melakukan hal ini. Sekarang istirahatkanlah kepalamu di dada-Ku, di hati-Ku, dan timbalah darinya kekuatan serta kuasa guna menanggung segala penderitaan ini, sebab engkau tak akan mendapati baik kelegaan maupun pertolongan ataupun penghiburan selain dari sini. Ketahuilah bahwa engkau akan banyak menderita, banyak sekali menderita, tetapi janganlah kiranya hal ini menggentarkanmu; Aku bersamamu.”

Tak lama berselang, aku jatuh sakit. Bagiku, kelemahan jasmani merupakan sekolah kesabaran. Hanya Yesus yang tahu bagaimana aku harus berjuang sekuat tenaga untuk dapat menunaikan segala tugas kewajibanku. Guna memurnikan suatu jiwa, Yesus mempergunakan cara apa saja yang Ia kehendaki. Jiwaku mengalami diabaikan sama sekali dari pihak makhluk ciptaan; seringkali maksud-maksud baikku disalahtafsirkan oleh para suster, jenis penderitaan yang paling menyakitkan; tetapi Tuhan membiarkannya terjadi, sebab itu haruslah kita menerimanya karena dengan cara demikian kita akan menjadi lebih serupa dengan Yesus. Ada satu hal yang tak dapat aku pahami untuk jangka waktu yang lama: Yesus memerintahkanku untuk menyampaikan segala sesuatunya kepada para Superior, tetapi para Superior tidak percaya akan apa yang aku katakan dan memperlakukanku dengan penuh iba seolah aku sedang berkhayal atau menipu diri sendiri.

Karena itu, percaya bahwa pastilah aku menipu diri, aku memutuskan untuk menghindari Tuhan secara batin karena ngeri akan segala ilusi ini. Namun demikian, rahmat Tuhan mengikuti setiap langkahku, dan Tuhan berbicara kepadaku pada saat aku kurang mengharapkannya.

Suatu hari Yesus mengatakan bahwa Ia akan menimpakan penghukuman atas kota terindah di negeri kita (mungkin Warsawa). Penghukuman ini akan sama dengan yang ditimpakan Tuhan atas Sodom dan Gomora. Aku melihat murka dahsyat Allah dan kegentaran hebat menembusi hatiku. Aku berdoa dalam keheningan. Beberapa saat kemudian Yesus berkata kepadaku, “Puteri-Ku, persatukanlah erat dirimu dengan-Ku sepanjang Kurban dan persembahkanlah Darah-Ku dan Luka-Luka-Ku kepada BapaKu sebagai silih atas dosa-dosa kota itu. Ulangilah ini tanpa sela sepanjang Misa Kudus. Perbuatlah ini selama tujuh hari.” Pada hari ketujuh, aku melihat Yesus dalam awan-gemawan yang cemerlang dan aku mulai memohon kepada-Nya untuk memandang kota itu dan memandang keseluruhan negeri kita. Yesus memandang (ke bawah) dengan penuh belas kasihan. Ketika aku melihat kelemah-lembutan Yesus, aku mulai memohon berkat-Nya. Segera Yesus berkata, “Demi engkau Aku memberkati seluruh negeri.” Yesus membuat Tanda Salib besar di atas negeri kita. Melihat kebajikan Tuhan, jiwaku dipenuhi sukacita yang besar.

Tahun 1929. Suatu ketika dalam Misa Kudus, dengan suatu cara yang sangat istimewa aku merasakan keakraban dengan Tuhan, walau aku berusaha berpaling dan lari daripada-Nya. Dalam beberapa kesempatan aku melarikan diri dari Tuhan oleh karena aku tidak mau menjadi korban roh jahat: sebab yang lainnya mengatakan lebih dari sekali kepadaku bahwa memang demikianlah yang terjadi. Dan kebimbangan ini berlangsung beberapa waktu lamanya. Pada waktu Misa Kudus, sebelum Komuni, kami akan memperbaharui kaul. Saat kami bangkit dari tempat berlutut dan mulai mendaraskan rumusan kaul, sekonyong-konyong Yesus menampakkan diri di sampingku; Ia mengenakan jubah putih dengan ikat pinggang emas sekeliling pinggang-Nya; Yesus berkata kepadaku, “Aku memberimu kasih yang kekal agar kemurnianmu tak bernoda dan sebagai tanda bahwa engkau tak akan pernah didera pencobaan melawan kemurnian.” Yesus melepaskan ikat pinggang emas-Nya dan mengikatkannya sekeliling pinggangku.

Sejak saat itu tak pernah lagi aku mengalami serangan melawan keutamaan ini, baik dalam hati maupun pikiran. Di kemudian hari aku mengerti bahwa rahmat ini merupakan salah satu rahmat terbesar yang diperolehkan Santa Perawan Maria yang Tersuci bagiku; telah bertahun-tahun aku memohon rahmat ini daripadanya.

Sejak kejadian itu devosiku kepada Bunda Allah semakin bertambah-tambah. Bunda Maria mengajarkan kepadaku bagaimana mengasihi Tuhan dari lubuk hati yang terdalam dan bagaimana melaksanakan kehendak-Nya yang kudus dalam segala hal. Ya Santa Perawan Maria, engkaulah sukacitaku, sebab melalui engkau, Allah turun ke dalam dunia (dan) ke dalam hatiku.

Suatu ketika aku melihat seorang abdi Allah berada di tengah bahaya melakukan dosa berat. Aku mulai memohon kepada Tuhan agar sudi menimpakan ke atasku segala siksa neraka dan segala penderitaan agar imam ini dibebaskan dan direnggut dari peristiwa yang dapat menyebabkannya melakukan dosa berat. Yesus berkenan mendengarkan doaku dan, seketika itu juga, aku merasakan suatu mahkota duri di atas kepalaku. Duri-durinya menancap dalam menembusi kepalaku hingga ke otakku. Hal ini berlangsung selama tiga jam lamanya; abdi Allah dibebaskan dari dosa itu, dan jiwanya diperteguh dengan suatu rahmat khusus dari Tuhan.

Suatu ketika pada Hari Raya Natal (1928), aku merasakan kemahakuasaan dan kehadiran Allah melingkupiku. Sekali lagi aku melarikan diri dari perjumpaan batin dengan Tuhan. Aku minta ijin pada Moeder Superior untuk pergi ke Jozefinek guna mengunjungi para suster di sana. Moeder Superior memberikan ijin kepada kami dan kami mulai bersiap segera setelah makan siang. Para suster yang lain telah menungguku di gerbang biara sementara aku berlari menuju bilikku untuk mengambil mantol. Dalam perjalanan kembali, sementara aku lewat dekat kapel kecil, aku melihat Yesus berdiri di pintu masuk. Kata-Nya, “Pergilah, tetapi Aku mengambil hatimu.” Sekonyong-konyong aku merasa bahwa tak ada lagi hati dalam dadaku. Para suster menegurku karena berlambat-lambat, mengatakan bahwa waktunya sudah terlambat, maka aku bersegera menyusul mereka. Tetapi suatu perasaan gelisah mengusikku, dan suatu kerinduan yang aneh menguasai jiwaku, meski tak seorang pun tahu apa yang sedang terjadi selain Tuhan.

Baru beberapa menit kami berada di Jozefinek, aku berkata kepada para suster, “Marilah kita pulang.” Para suster minta setidak-tidaknya sedikit waktu untuk beristirahat, tetapi rohku tak dapat menemukan kedamaian. Aku mengatakan bahwa kita harus pulang sebelum gelap dan karena jarak yang ditempuh cukup jauh, maka kami pun segera pulang kembali. Saat Moeder Superior berpapasan dengan kami di lorong, ia bertanya padaku, “Apakah para suster belum berangkat, ataukah mereka sudah kembali?” Aku mengatakan bahwa kami sudah kembali sebab aku tidak ingin pulang senja hari. Aku menanggalkan mantolku dan segera menuju kapel kecil. Begitu aku masuk, Yesus berkata, “Pergilah kepada Moeder Superior dan katakan padanya bahwa engkau kembali, bukan agar tiba di rumah sebelum gelap, melainkan karena Aku telah mengambil hatimu.” Meskipun hal ini teramat sulit bagiku, aku pergi menemui Superior dan dengan terus-terang mengatakan kepadanya alasan mengapa aku kembali begitu cepat; dan aku mohon pengampunan dari Tuhan atas segala sesuatu yang tak berkenan pada-Nya. Lalu Yesus mengisi hatiku dengan sukacita yang besar. Aku mengerti bahwa selain dari Tuhan tak ada kebahagiaan dari manapun juga.

Dalam suatu kesempatan aku melihat dua orang suster yang akan segera masuk neraka. Suatu siksa yang mengerikan mencabik-cabik jiwaku; aku berdoa kepada Tuhan bagi mereka, dan Yesus mengatakan, “Pergilah kepada Moeder Superior dan katakan padanya bahwa kedua suster ini ada dalam bahaya melakukan dosa berat.” Keesokan harinya aku menyampaikan hal ini kepada Superior. Seorang dari mereka telah bertobat dengan sesal mendalam, sementara yang lainnya harus menghadapi suatu perjuangan berat.

Suatu hari Yesus berkata kepadaku, “Aku akan meninggalkan rumah ini… sebab ada hal-hal di sini yang tak berkenan di hati-Ku.” Dan Hosti keluar dari tabernakel, lalu beristirahat dalam kedua tanganku, sementara aku, dengan sukacita, menempatkannya kembali dalam tabernakel. Hal ini terulang untuk kedua kalinya, dan aku melakukan hal yang sama. Meskipun demikian, terjadi lagi untuk ketiga kalinya, tetapi Hosti berubah menjadi Tuhan Yesus yang hidup, yang berkata kepadaku, “Aku tidak akan tinggal di sini lagi!” Seketika itu, bangkit dalam jiwaku suatu kasih yang berkobar kepada Yesus. Aku menjawab, “Dan aku, aku tidak akan membiarkan Engkau meninggalkan rumah ini, ya Yesus!” Dan lagi, Yesus lenyap sementara Hosti tetap tinggal dalam kedua tanganku. Sekali lagi aku memasukkannya ke dalam piala dan menyimpannya dalam tebernakel. Dan Yesus pun tinggal bersama kami. Aku melakukan tiga hari sembah sujud sebagai silih.

Suatu ketika, Yesus berkata kepadaku, “Katakan pada Moeder Jenderal (Michael) bahwa di rumah ini… hal yang begitu dan begitu dilakukan… yang tidak berkenan di hati-Ku dan amat menyakiti -Ku.” Aku tidak segera mengatakannya kepada Moeder, tetapi kegelisahan yang ditimbulkan Tuhan dalam hatiku tak mengijinkanku untuk menundanya lebih lama lagi, karenanya serta-merta aku menulis kepada Moeder Jenderal, dan damai kembali meliputi jiwaku.

Seringkali aku merasakan Sengsara Tuhan Yesus dalam tubuhku, meski tak nampak (bagi yang lain), dan aku bersukacita karenanya, sebab Yesus menghendaki demikian. Tetapi hal ini berlangsung hanya sebentar saja. Sengsara ini membakar jiwaku dengan kasih yang berkobar kepada Allah dan kepada jiwa-jiwa baka. Kasih rela menanggung segala sesuatu, kasih lebih kuat daripada maut, kasih tidak takut apapun….

22 Februari 1931. Sore hari, kala aku berada dalam bilikku, aku melihat Tuhan Yesus yang mengenakan jubah putih. Satu tangan-Nya terangkat dalam gerak menyampaikan berkat, sementara tangan yang lain menyentuh jubah di bagian dada. Dari dalam jubah yang agak sedikit terbuka di bagian dada, memancar dua berkas sinar yang besar, satu berwarna merah, yang lain berwarna pucat. Dalam keheningan aku terpaku menatap Tuhan, jiwaku diliputi rasa takut sekaligus sukacita yang besar. Sejenak kemudian, Yesus berkata, “Buatlah sebuah lukisan menurut gambar yang engkau lihat dengan tulisan di bawahnya: Yesus, Engkau Andalanku. Aku menghendaki lukisan ini dihormati, pertama-tama di kapelmu, dan (lalu) di seluruh dunia.”

“Aku berjanji, jiwa yang menghormati lukisan ini tak akan binasa. Aku juga menjanjikan kemenangan atas para musuh(nya) bahkan sejak di bumi ini, teristimewa pada saat ajal. Aku Sendiri yang akan membelanya sebagai kemuliaan-Ku.”

Ketika aku menyampaikannya kepada bapa pengakuan, aku menerima jawaban sebagai berikut, “Hal itu berkenaan dengan jiwamu.” Katanya, “Tentu saja, lukislah gambar Tuhan dalam jiwamu.” Saat keluar dari kamar pengakuan, lagi, aku mendengar kata-kata berikut, “Gambar-Ku sudah ada dalam jiwamu. Aku menghendaki Pesta Kerahiman. Aku menghendaki gambar ini, yang akan dilukis dengan kuas, diberkati secara khidmad pada hari Minggu pertama sesudah Paskah; hari Minggu itu akan menjadi Pesta Kerahiman Ilahi. Aku menghendaki para imam mewartakan belas kasih-Ku yang berlimpah kepada jiwa-jiwa berdosa. Biarkan orang-orang berdosa menghampiri-Ku tanpa takut-takut. Nyala belas kasih yang berkobar dalam DiriKu meledak-ledak menuntut dilepaskan; Aku hendak mencurahkannya atas jiwa-jiwa ini.”

Yesus mengeluh kepadaku demikian, “Ketidakpercayaan jiwa-jiwa mencabik-cabik hati-Ku. Ketidakpercayaan suatu jiwa terpilih bahkan terlebih lagi menyakiti-Ku; kendati kasih-Ku yang tak habis-habisnya bagi mereka, mereka tak percaya kepada-Ku. Bahkan wafat-Ku pun belum cukup bagi mereka. Celakalah jiwa yang menyia-nyiakan (karunia-karunia) ini.” Ketika aku menyampaikannya kepada Moeder Superior (Rosa) bahwa Tuhan meminta ini daripadaku, ia menjawab bahwa seharusnya Yesus memberikan suatu tanda agar kita dapat mengenali-Nya dengan lebih jelas.

Ketika aku meminta suatu tanda pada Tuhan Yesus sebagai bukti “bahwa Engkau sungguh Tuhan dan Allah-ku, dan bahwa permintaan ini berasal daripada-Mu” aku mendengar suara batin, “Aku akan menjadikan semuanya jelas bagi Superior melalui sarana rahmat yang akan aku anugerahkan lewat lukisan ini.” Ketika aku berusaha mengelak dari inspirasi-inspirasi ini, Tuhan mengatakan bahwa pada hari penghakiman Ia akan menuntut dariku sejumlah besar jiwa-jiwa.

Suatu ketika, lelah letih karena berbagai macam kesulitan yang menimpaku sehubungan dengan apa yang telah Yesus katakan dan apa yang Ia tuntut daripadaku mengenai lukisan itu, aku memutuskan untuk menemui Pater Endures sebelum kaul kekal, mohon padanya untuk membebaskanku dari segala inspirasi batin dan dari tugas melukis gambar ini. Setelah mendengarkan pengakuan, Pater Endures menyampaikan jawab sebagai berikut, “Aku tidak akan membebaskan engkau dari apapun, Suster; tidaklah benar engkau menghindarkan diri dari inspirasi-inspirasi batin ini, melainkan wajiblah engkau - kataku, wajib - mengatakannya pada bapa pengakuanmu; jika tidak, engkau akan tersesat kendati begitu banyak rahmat yang engkau terima dari Tuhan. Sekarang ini engkau datang kepadaku untuk pengakuan, tetapi ketahuilah Suster, engkau harus mempunyai seorang bapa pengakuan tetap, maksudnya seorang pembimbing rohani.”

Aku sangat kecewa. Kupikir aku akan dapat terbebas dari semuanya, sedangkan yang terjadi adalah sebaliknya - suatu perintah yang jelas dan nyata untuk mentaati perintah Yesus. Sekarang, muncul siksaan baru, sebab aku tak mempunyai seorang bapa pengakuan tetap. Bahkan jika aku pergi kepada bapa pengakuan yang sama untuk jangka waktu tertentu, aku tak dapat membuka jiwaku kepadanya mengenai rahmat-rahmat ini; hal ini sangat menyakitkan hingga tak terkatakan. Jadi, aku mohon pada Yesus untuk mengalihkan rahmat-rahmat ini kepada orang lain saja, sebab aku tak tahu bagaimana memanfaatkannya dan karenanya hanya menyia-nyiakan segala rahmat itu. “Yesus, berbelas kasihanlah kepadaku, janganlah kiranya Engkau mempercayakan hal-hal yang sebegitu besar kepadaku; seperti Engkau ketahui, aku hanyalah setitik debu dan sama sekali tak layak.”

Tetapi, kebajikan Yesus tak berkesudahan; Ia menjanjikan pertolongan yang kelihatan di atas muka bumi ini, dan tak lama berselang aku menerimanya di Vilnius, dalam diri Pater Sopocko. Aku telah mengenalinya sebelum aku datang ke Vilnius, syukur atas penglihatan batin yang aku terima. Suatu kali aku melihat Pater Sopocko dalam kapel kita, antara altar dan kamar pengakuan, lalu sekonyong-konyong terdengar suara dalam jiwaku yang mengatakan, “Inilah pertolongan kelihatan bagimu di bumi ini. Ia akan membantumu melaksanakan kehendak-Ku di atas bumi.”

Suatu ketika, capai dengan segala kebimbangan, aku bertanya kepada Yesus, “Yesus, adakah Engkau Allah-ku atau adakah Engkau semacam roh halus? Sebab para Superiorku mengatakan bahwa segala inspirasi batin ini merupakan semacam ilusi dan penampakan roh halus. Jika Engkau benar Allah-ku, aku mohon sudilah Engkau memberkatiku.” Lalu, Yesus membuat suatu Tanda Salib besar atasku dan aku juga memberkati diriku. Saat aku mohon pengampunan pada Yesus karena telah mengajukan pertanyaan yang demikian, Ia menjawab bahwa Ia sama sekali tak marah dengan pertanyaanku dan bahwa kepercayaanku sungguh menyenangkan-Nya.


    NASEHAT ROHANI PATER ENDURES SJ KEPADAKU, 1993

Pertama: Janganlah engkau menghindarkan diri dari inspirasi-inspirasi batin ini, melainkan senantiasa katakanlah segalanya kepada bapa pengakuan. Jika engkau mengenali bahwa inspirasi-inspirasi batin ini berkenaan dengan dirimu sendiri; begitulah istilahnya, dan inspirasi-inspirasi batin ini baik bagi jiwamu dan baik bagi jiwa-jiwa lain, aku nasehatkan untuk mengikutinya; dan janganlah engkau mengabaikannya, melainkan senantiasa melakukan sesuai nasehat bapa pengakuanmu.

Kedua: Jika inspirasi-inspirasi batin ini tidak sesuai dengan iman ataupun semangat Gereja, haruslah engkau tolak dengan segera, sebab mereka berasal dari roh jahat.

Ketiga: jika inspirasi-inspirasi batin ini tidak berkenaan dengan jiwa-jiwa pada umumnya, atau tidak secara istimewa diperuntukkan bagi kebaikan jiwa-jiwa, engkau tak perlu menanggapinya secara serius, dan akan lebih baik jika engkau bahkan mengabaikannya.

Namun demikian, hendaknya engkau tidak membuat keputusan ini sendiri, baik dengan suatu atau lain cara; sebab dapat dengan mudah engkau tersesat kendati begitu banyak rahmat yang engkau terima. Rendah hati, rendah hati, dan selalu rendah hati, sebab kita tak dapat melakukan suatu pun dari diri kita sendiri; semuanya semata-mata merupakan rahmat Tuhan belaka.

Engkau katakan kepadaku bahwa Tuhan menuntut kepercayaan penuh dari jiwa-jiwa; baik, jika demikian engkaulah yang petama-tama harus menunjukkan kepercayaan ini. Dan satu lagi - terimalah semuanya ini dengan hati yang tenang dan damai.

Nasehat seorang bapa pengakuan yang lain, “Suster, Tuhan menyediakan banyak rahmat istimewa untukmu, berusahalah menjadikan hidupmu sebening kristal di hadapan Tuhan, tak usah peduli apa yang orang lain pikirkan tentang engkau. Biarlah Tuhan mencukupi engkau. Ia saja.”

Menjelang akhir masa novisiat, seorang bapa pengakuan (mungkin P Theodore) mengatakan padaku, “Lewatkanlah hidupmu dengan berbuat baik, sehingga aku dapat menulis pada lembaran-lembarannya: `ia melewatkan hidupnya dengan berbuat baik.' Kiranya Tuhan mewujudkan hal ini dalam dirimu.”

Di lain waktu, bapa pengakuan menasehatkan, “Bersikaplah di hadapan Tuhan bagaikan janda miskin dalam Injil; walau peser yang ia masukkan ke dalam kotak persembahan tak banyak nilainya, tapi di mata Tuhan nilainya jauh melebihi segala persembahan besar lainnya.”

Di lain kesempatan, nasehat yang aku terima adalah, “Bersikaplah begitu rupa hingga mereka semua yang berhubungan dengan engkau pergi dengan sukacita. Sebarkanlah sukacitamu, sebab engkau telah menerimanya berlimpah dari Tuhan; sebab itu, sebarkanlah pula dengan murah hati kepada yang lain. Biarlah mereka pergi darimu dengan hati penuh sukacita, bahkan jika mereka hanya menyentuh ujung jubahmu saja. Camkanlah baik-baik dalam benakmu kata-kata yang aku sampaikan kepadamu sekarang ini.”

Lagi, di lain waktu ia menasehatiku sebagai berikut, “Biarlah Tuhan mendorong perahumu ke tempat yang dalam, ke kedalaman hidup batin yang tak terselami.”

Berikut cuplikan percakapanku dengan Moeder Direktur (Maria Yosef) menjelang akhir masa novisiatku, “Suster, biarlah kerendahan hati dan kesahajaan menjadi karakteristik jiwamu. Tempuhlah hidup bagaikan seorang kanak-kanak kecil, senantiasa percaya, senantiasa polos dan rendah hati, puas dengan segala sesuatu, gembira dalam setiap keadaan. Di sana, di mana yang lain ketakutan, engkau akan lewat dengan tenang, syukur atas kesahajaan dan kerendahan hati. Ingatlah ini, Suster, sepanjang hidupmu; bagaikan air mengalir dari gunung-gunung menuruni lembah-lembah, demikian juga rahmat-rahmat Tuhan mengalir kepada jiwa-jiwa yang bersahaja.”

Ya Tuhan-ku, aku mengerti benar bahwa Engkau menuntut kekanak-kanakan rohani ini daripadaku, oleh sebab terus-menerus Engkau memintanya lewat wakil-wakil-Mu.

Di awal kehidupan membiara, penderitaan dan sengsara menakutkan serta mengecilkan hatiku. Jadi, tak henti-hentinya aku berdoa memohon pada Yesus untuk menguatkan serta menganugerahiku kuasa Roh Kudus agar aku mampu melaksanakan kehendak-Nya yang kudus dalam segala hal, sebab sejak dari semula aku sadar akan kelemahan-kelemahanku. Aku mengenal siapa diriku dengan sangat baik, sebab untuk maksud inilah Yesus telah membuka mata jiwaku; aku adalah jurang kemalangan, dan karenanya aku mengerti bahwa apapun yang baik yang ada dalam jiwaku semata-mata merupakan rahmat-Nya yang kudus. Pengenalan akan kemalanganku sendiri, pada saat yang sama membuatku paham akan belas kasih-Mu yang tak terhingga. Dalam kehidupan batinku, aku memandang dengan satu mata pada jurang kemalangan dan kehinaanku, sementara mata yang lain terarah pada kedalaman belas kasih-Mu, ya Tuhan.

Yesus-ku, Engkau-lah hidup dari hidupku. Engkau sungguh tahu benar bahwa aku tak mendamba suatu pun selain dari kemuliaan nama-Mu dan bahwa jiwa-jiwa mengenal kebajikan-Mu. Mengapakah jiwa-jiwa menghindar daripada-Mu, ya Yesus? - aku tak dapat mengerti hal ini. Oh, andai saja dapat kucincang hatiku menjadi kepingan-kepingan kecil dan dengan cara demikian mempersembahkan kepada-Mu, Yesus, setiap kepingan sebagai suatu hati yang penuh dan utuh, guna mengganti hati yang tak mengasihi-Mu! Aku mengasihi Engkau, Yesus, dengan setiap tetes darahku, dan aku akan dengan senang hati menumpahkan darahku bagi-Mu guna membuktikan pada-Mu ketulusan kasihku.

Tuhan, semakin aku mengenal-Mu, semakin tak dapat aku memahami-Mu, tetapi “ketidakpahaman” ini membuatku semakin sadar akan betapa dahsyat Engkau! Dan ketidakmungkinan memahami Engkau inilah yang senantiasa mengobarkan kembali hatiku dengan kasih kepada-Mu, Tuhan. Sejak saat Engkau membiarkan mata jiwaku terpaku pada-Mu, Yesus, aku diliputi damai dan tak mendamba suatu pun. Aku menemukan panggilanku saat jiwaku tenggelam dalam Engkau, satu-satunya kekasih hatiku. Dibandingkan dengan Engkau, segala sesuatu menjadi tak berarti. Penderitaan, sengsara, penghinaan, kegagalan dan sikap curiga yang merintangi jalanku, bagaikan balok-balok yang memelihara api kasihku pada-Mu, ya Yesus.

Kerinduan-kerinduanku adalah gila dan tak terpuaskan. Aku berhasrat merahasiakan daripada-Mu bahwa aku menderita. Aku ingin tak pernah diganjari atas segala usaha dan perbuatan-perbuatan baikku. Engkau Sendiri, Yesus, satu-satunya ganjaranku; Engkau saja cukup, ya Tambatan Hatiku! Aku rindu ikut ambil bagian dengan penuh kasih dalam penderitaan sesamaku sembari menyembunyikan penderitaanku sendiri, tak hanya dari mereka, melainkan juga dari Engkau, Yesus.

Penderitaan adalah suatu rahmat yang besar; melalui penderitaan jiwa menjadi serupa dengan Sang Juruselamat; dalam penderitaan kasih menjadi nyata; semakin besar penderitaan, semakin kasih dimurnikan.

Suatu hari, seorang suster yang telah meninggal dua bulan sebelumnya datang kepadaku. Ia adalah suster dari paduan suara pertama. Aku melihatnya dalam keadaan yang mengerikan, sepenuhnya dilahap api dan wajahnya rusak ngeri. Hal ini berlangsung hanya sekejap saja, lalu ia pun lenyap. Kegentaran hebat merayapi jiwaku sebab aku tidak tahu apakah ia ada di api penyucian atau di neraka. Walau demikian, aku melipatgandakan doa-doaku baginya. Keesokan malam ia datang kembali; aku melihatnya dalam keadaan yang lebih mengerikan, di tengah-tengah api yang bahkan lebih berkobar-kobar, keputusasaan terpancar jelas di setiap guratan wajahnya. Aku terperanjat melihatnya dalam keadaan yang lebih buruk sesudah doa-doa yang aku panjatkan baginya, maka aku bertanya, “Tidakkah doa-doaku menolongmu?” Ia menjawab bahwa doa-doaku tak menolongnya dan bahwa tak suatu pun yang akan dapat menolongnya. Aku bertanya, “Dan doa-doa yang dipersembahkan seluruh komunitas bagimu; tidakkah doa-doa itu menolongmu sama sekali?” Ia mengatakan tidak; doa-doa itu telah menyelamatkan jiwa-jiwa lain. Jadi kataku, “Jika doa-doaku tidak menolongmu, Suster, tolong janganlah datang lagi kepadaku.” Ia pun lenyap seketika. Walau demikian, aku terus berdoa untuknya.

Selang beberapa waktu ia datang kembali kepadaku pada waktu malam, tetapi penampilannya telah berubah. Tak ada lagi api seperti sebelumnya; wajahnya bercahaya, matanya bersinar-sinar penuh sukacita. Ia mengatakan bahwa aku memiliki kasih sejati bagi sesama dan bahwa banyak jiwa-jiwa lain mendapatkan manfaat dari doa-doaku. Ia mendorongku untuk tak henti-hentinya berdoa bagi jiwa-jiwa di purgatorium; ia menambahkan bahwa ia sendiri tak akan lama lagi tinggal di sana. Betapa mencengangkannya keputusanmu, Tuhan!

1933 - Dalam  suatu kesempatan aku mendengar kata-kata ini dalam jiwaku, “Berdoalah novena bagi tanah airmu. Novena ini merupakan pendarasan Litani Orang Kudus. Mintalah ijin pada bapa pengakuanmu.” (mungkin P Sopocko atau P Endures).

Aku mendapatkan ijin pada pengakuanku berikutnya dan mulai berdoa novena sore itu juga. Menjelang akhir litani aku melihat suatu cahaya besar; Allah Bapa ada di tengah-tengah cahaya itu. Di antara cahaya ini dan bumi, aku melihat Yesus terpaku di kayu salib begitu rupa hingga apabila Tuhan hendak memandang ke bumi, maka Ia harus memandang melalui Luka-Luka Yesus. Aku mengerti bahwa demi Yesus, maka Tuhan memberkati bumi.

Ya Yesus, aku bersyukur kepadamu atas anugerah besar ini, yaitu bahwa Engkau Sendiri telah berkenan memilih seorang bapa pengakuan bagiku, dan bahwa Engkau telah menunjukkannya kepadaku dalam suatu penglihatan bahkan sebelum aku berjumpa dengannya (Pater Sopocko). Ketika aku mengaku pada Pater Endures, aku pikir aku akan dibebaskan dari inspirasi-inspirasi batin ini. Namun, Pater menjawab bahwa ia tak dapat membebaskanku darinya, “Tetapi berdoalah, Suster, agar engkau dianugerahi seorang pembimbing rohani.”

Setelah suatu doa singkat namun khusuk, aku melihat Pater Sopocko untuk kedua kalinya, di kapel kita, antara kamar pengakuan dan altar. Aku sedang berdoa di Krakow pada waktu itu. Kedua penglihatan ini membangkitkan semangatku, terlebih kala aku menjumpainya tepat sama seperti aku melihatnya dalam penglihatan-penglihatanku, pertama kali di Warsawa pada waktu probasiku yang ketiga, dan kedua kali di Krakow.

O Yesus, aku berterima kasih kepada-Mu atas anugerah besar ini! Dan sekarang apabila terkadang aku mendengar orang mengatakan bahwa ia tak mempunyai seorang bapa pengakuan, yaitu seorang pembimbing rohani, maka ketakutan menghinggapi diriku, sebab aku tahu pasti betapa banyak bahaya yang harus aku sendiri alami jika aku tidak mendapatkan pertolongan ini. Betapa mudahnya tersesat apabila orang tak mempunyai pembimbing!

Wahai hidup yang begitu menjemukan dan monoton, berapa banyakkah kekayaan yang kau miliki! Apabila aku memandang segala sesuatu dengan mata iman, tak ada dua jam pun yang sama, maka kejemuan dan kemonotonan lenyap. Rahmat yang dianugerahkan kepadaku pada jam ini tak akan berulang di jam-jam berikutnya. Mungkin rahmat dianugerahkan lagi kepadaku, namun bukanlah rahmat yang sama. Waktu berlalu dan tak akan pernah kembali. Apapun yang terkandung di dalamnya tak akan pernah dapat diubah, melainkan dimeterai dengan meterai kekekalan.

Pater Sopocko pastilah sangat dikasihi Tuhan. Aku katakan demikian sebab aku sendiri mengalami begitu banyak kali Tuhan membelanya dalam perkara-perkara tertentu. Aku katakan demikian sebab aku sendiri mengalami begitu banyak kali Tuhan membelanya pada waktu-waktu tertentu. Apabila aku melihatnya, aku sungguh bersukacita bahwa Tuhan memiliki hamba-hamba pilihan yang demikian.

1929 - Perjalanan ke Kalvari. Ketika aku datang ke Vilnius untuk dua bulan lamanya guna menggantikan seorang suster yang pergi untuk probasinya yang ketiga (Suster Petrus, yang bekerja di dapur), aku tinggal sedikit lebih lama dari dua bulan. Suatu hari Moeder Superior (Irene), yang ingin membuatku sedikit bersenang-senang, memberiku ijin pergi bersama seorang suster lain ke Kalvari untuk “napak tilas”, demikianlah mereka menyebutnya. Aku sungguh senang. Meski perjalanan tak jauh, adalah kehendak Moeder Superior bahwa kami pergi dengan naik kapal. Sore itu Yesus mengatakan kepadaku, “Aku ingin engkau tinggal di rumah.” Aku menjawab bahwa segala sesuatu telah dipersiapkan bagi kami untuk berangkat esok pagi; jadi apa yang dapat kulakukan? Tuhan menjawab, “Perjalanan ini akan membahayakan jiwamu.” Jawabku pada-Nya, “Engkau dapat merancang jalan keluar. Aturlah segala sesuatu begitu rupa hingga kehendak-Mu yang terjadi.” Saat itu lonceng berbunyi tanda waktu tidur. Aku memandang Yesus dengan tatapan perpisahan dan masuk ke bilikku.

Keesokan paginya cuaca cerah; rekanku dipenuhi sukacita mengingat kesenangan besar bahwa kami akan segera melihat segala sesuatu. Sementara aku, aku yakin bahwa kami tak akan pergi, walau tak ada suatu halangan pun sejauh ini. Kami akan menerima Komuni Kudus lebih awal dan segera berangkat setelah mengucap syukur. Tetapi, pada saat Komuni, sekonyong-konyong cuaca berubah. Awan berarak di langit dan hujan lebat bagai dicurahkan. Semua orang tercengang melihat perubahan cuaca yang drastis ini. Moeder Superior mengatakan, “Aku sungguh menyesal bahwa kalian tak dapat pergi, Suster!” Jawabku, “Moeder terkasih, sungguh tak apa kami tak dapat pergi; adalah kehendak Tuhan bahwa kami harus tinggal di rumah.” Namun, tak seorang pun tahu bahwa adalah kehendak Yesus seperti diucapkan-Nya bahwa aku tinggal di rumah. Aku melewatkan sepanjang hari itu dalam doa dan meditasi, mengucap syukur kepada Tuhan karena membuatku tinggal di rumah. Hari itu Tuhan menganugerahkan kepadaku banyak penghiburan surgawi.

Suatu waktu pada masa novisiat, ketika Moeder Direktur mengirimku untuk bekerja di dapur rumah penampungan, aku teramat sedih sebab aku tak dapat menguasai periuk dan panci yang sungguh amat besar. Tugas yang tersulit bagiku adalah meniriskan kentang, terkadang aku mengakibatkan sebagian dari kentang-kentang itu terbuang bersama air. Kala aku mengungkapkan hal ini kepada Moeder Direktur, ia mengatakan bahwa dengan berjalannya waktu aku akan terbiasa serta terlatih melakukannya. Tetapi tugas ini bukannya bertambah mudah, sebab tubuhku semakin bertambah lemah setiap hari. Jadi, aku akan menyingkir apabila tiba waktunya meniriskan kentang. Para suster memperhatikan bahwa aku menghindari tugas ini dan mereka sangat heran karenanya. Mereka tidak mengerti bahwa aku tak dapat membantu kendati segala kesediaanku untuk melakukannya dan tak hendak menyayangkan diri. Siang hari, saat pemeriksaan batin, aku mengeluh kepada Tuhan mengenai kelemahanku ini. Lalu, aku mendengar kata-kata ini dalam jiwaku, “Sejak hari ini engkau akan melakukannya dengan mudah; Aku akan menguatkanmu.”

Sore itu, ketika tiba saatnya meniriskan kentang, aku bergegas menjadi orang pertama yang melakukannya; aku mengandalkan perkataan Tuhan. Aku mengangkat panci dengan mudah dan menuangkan airnya dengan sempurna. Tetapi, kala aku membuka tutup guna membuang uap kukusan kentang, aku melihat dalam panci, di antara kentang, seikat bunga mawar merah, luar biasa indah hingga tak terlukiskan. Belum pernah aku melihat mawar-mawar secantik itu sebelumnya. Merasa amat heran dan tak dapat memahami arti semua ini, aku mendengar suara dalam diriku yang mengatakan, “Aku mengubah tugas sulitmu menjadi seikat kembang yang paling menawan dan keharuman bunga-bunga itu membubung hingga ke tahta-Ku.” Sejak saat itu aku belajar meniriskan kentang sendiri, bukan hanya sepanjang pekan di mana tiba giliranku untuk memasak, melainkan aku melakukannya juga untuk menggantikan para suster lain yang bertugas memasak. Dan tak hanya ini yang kulakukan, aku berusaha pula menjadi orang pertama yang mengulurkan tangan dalam pekerjaan-pekerjaan berat lainnya, sebab aku telah mengalami sendiri, betapa hal ini menyenangkan Tuhan.

Oh, harta tak kunjung habis dari kemurnian kehendak baik, yang menjadikan segala tindakan kita sempurna dan amat menyukakan Tuhan!

Ya Yesus, Engkau tahu betapa lemahnya aku, sebab itu sudilah senantiasa menyertaiku; sudilah bimbing segala tindakanku dan keseluruhan diriku, Engkau, yang adalah Guru-ku yang terbaik! Sungguh ya Yesus, aku dicekam ketakutan apabila aku melihat kemalanganku sendiri, namun pada saat yang sama, aku ditenteramkan oleh belas kasih-Mu yang tak terselami, yang melampaui kemalanganku dengan ukuran segala kekekalan. Disposisi jiwa ini menaungiku dalam kuasa-Mu. Oh, sukacita yang mengalir dari pengenalan akan diri sendiri! Ya Kebenaran yang tak berubah, ketetapan-Mu abadi!

Ketika aku jatuh sakit (mungkin awal penyakitnya) sesudah kaul pertamaku dan kendati perawatan penuh kasih serta kecemasan para Superior, juga usaha keras dokter, aku tidak merasa keadaanku lebih baik ataupun lebih buruk; desas-desus sampai ke telingaku mengatakan bahwa aku berpura-pura sakit. Karena hal ini, penderitaanku berlipatganda, dan hal ini berlangsung cukup lama. Suatu hari aku mengeluh kepada Yesus bahwa aku telah menjadi beban bagi para suster. Yesus menjawab, “Engkau tidak hidup bagi dirimu sendiri, melainkan bagi jiwa-jiwa; jiwa-jiwa lain mendapatkan manfaat dari penderitaanmu. Sengsaramu yang berkepanjangan akan mendatangkan bagi mereka terang serta kekuatan untuk menerima kehendak-Ku.”

Penderitaan terberat bagiku adalah bahwa tampaknya baik doa-doaku maupun perbuatan-perbuatan baikku tak berkenan kepada Allah. Tak berani aku mengarahkan mata ke surga. Hal ini membuatku sangat menderita sepanjang doa komunitas di kapel hingga suatu hari Moeder Superior (Raphael) memanggilku secara pribadi sesudah doa dan mengatakan, “Suster, mohonlah rahmat dan penghiburan dari Tuhan, sebab aku sendiri dapat melihat, juga para suster lain mengatakannya kepadaku, bahwa melihat engkau membangkitkan rasa iba. Sungguh tak tahu apa yang harus kuperbuat terhadapmu, Suster. Aku perintahkan engkau untuk berhenti menyiksa diri sendiri tanpa alasan.”

Namun demikian, segala pembicaraanku dengan Moeder Superior tak mendatangkan kelegaan dalam diriku, pun tidak menjelaskan suatu pun. Malahan, suatu kegelapan yang lebih pekat menyembunyikan Tuhan daripadaku. Aku mencari pertolongan di kamar pengakuan, tetapi bahkan di sana pun tak dapat kutemukan. Seorang imam yang saleh bermaksud menolongku, tetapi aku begitu menyedihkan hingga bahkan tak dapat aku mengungkapkan masalahku, hal ini terlebih lagi menyiksaku. Kesedihan yang mematikan menembusi jiwaku begitu rupa hingga aku tak mampu lagi menyembunyikannya dan terlihat oleh mereka di sekelilingku. Aku hilang pengharapan. Malam semakin dan semakin kelam. Imam kepada siapa aku mengaku mengatakan, “Aku melihat rahmat-rahmat yang sangat istimewa dalam engkau, Suster, dan aku sama sekali tak khawatir mengenaimu. Mengapakah engkau menyiksa dirimu seperti ini?” Tetapi pada saat imam mengatakannya dan yang sungguh membuatku terperanjat ialah ketika, lewat penitensi, ia menyuruhku mendoakan Te Deum atau Magnificat, atau berlari kencang-kencang sekeliling taman sore hari, atau tertawa terbahak-bahak sepuluh kali sehari. Penitensi semacam ini sungguh amat mencengangkanku; tetapi bahkan dengan itu pun imam tak dapat berbuat banyak untuk menolongku. Jelas, Tuhan menghendaki aku memuliakan-Nya melalui penderitaan.

Imam yang sama menghiburku dengan mengatakan bahwa dalam keadaanku yang sekarang, aku lebih berkenan di hadapan Tuhan daripada jika aku penuh dengan penghiburan-penghiburan besar. “Sungguh suatu anugerah yang sangat besar, Suster,” katanya, “bahwa dalam keadaanmu yang sekarang, dengan segala siksa batin yang engkau alami, bukan saja engkau tidak menghina Tuhan, melainkan engkau juga berusaha melatih keutamaan-keutamaan. Aku melihat ke dalam jiwamu, dan aku melihat rancangan besar Allah dan juga karunia-karunia khusus di sana; melihat hal-hal ini, aku mengucap syukur kepada Tuhan.” Kendati segala hal itu, jiwaku tetap berada dalam keadaan tersiksa, dan di tengah penderitaan yang tak terkatakan ini, aku bagaikan orang buta yang mempercayakan diri pada bimbingannya, memegang era-erat tangannya; tak sekejap pun melalaikan ketaatan, dan inilah satu-satunya rasa amanku dalam pencobaan ini.

Ya Yesus, Kebenaran kekal, kuatkanlah dayaku yang lemah; Engkau dapat melakukan segalanya, ya Tuhan. Aku tahu bahwa tanpa Engkau segala daya upayaku akan sia-sia belaka. O Yesus, janganlah Kau sembunyikan DiriMu daripadaku, sebab aku tak dapat hidup tanpa-Mu. Sudi dengarkanlah seruan jiwaku. Belas kasih-Mu tak berkesudahan ya Tuhan, sebab itu berbelas-kasihlah pada kemalanganku. Belas kasih-Mu melampaui pengertian segala malaikat sekaligus manusia, karenanya, meski tampaknya Engkau tak mendengarkanku, aku menempatkan kepercayaanku pada samudera belas kasih-Mu, dan aku tahu bahwa pengharapanku tidak menipu.

Hanya Yesus yang tahu betapa berat dan sulit menunaikan segala tugas kewajiban sementara jiwa mengalami siksaan batin, kekuatan jasmani begitu melemah dan akal budi tampak gelap. Dalam keheningan hatiku, terus-menerus aku berkata pada diriku sendiri, “Ya Kristus, kiranya sukacita, hormat dan kemuliaan menjadi milik-Mu, sementara penderitaan milikku. Aku tak akan berlambat barang selangkah pun dalam mengikuti-Mu, walau onak duri melukai kakiku.”

Aku dikirim untuk perawatan ke rumah biara kita di Plonk; di sana aku mendapat hak istimewa menghiasi kapel dengan bunga-bunga; yaitu di Billowy. Suster Thecia tak selalu punya waktu melakukan tugas ini, jadi seringkali aku menghiasi kapel seorang diri. Suatu hari aku memetik bunga-bunga mawar terindah untuk menghiasi kamar seorang tertentu. Ketika mendekati serambi, aku melihat Yesus berdiri di sana. Dengan cara yang sangat lembut Ia bertanya kepadaku, “Puteri-Ku, kepada siapakah engkau membawa bunga-bunga ini?” Aku bungkam di hadapan Tuhan, sebab aku segera tersadar bahwa aku memiliki suatu keterikatan halus terhadap orang ini, yang tak kuperhatikan sebelumnya. Sekonyong-konyong Yesus lenyap. Pada saat yang sama aku mencampakkan bunga-bunga ke tanah dan bergegas menuju Sakramen Mahakudus; hatiku dipenuhi ucapan syukur atas rahmat mengenali diri sendiri.

Ya Mentari Ilahi, dalam sinar-sinar-Mu jiwa melihat titik-titik debu terkecil sekalipun yang tak berkenan di hadapan-Mu.

Ya Yesus, Kebenaran kekal, Hidup kami, aku berseru kepada-Mu, mohon belas kasih-Mu bagi orang-orang berdosa yang malang. Ya Hati Tuhan-ku yang termanis, yang berlimpah kasih sayang dan belas kasih yang tak terhingga, aku mohon dengan sangat kepada-Mu demi orang-orang berdosa. Ya, Hati Yesus yang Mahakudus, Sumber Belas Kasih yang daripadanya memancar berkas-berkas rahmat yang tak terselami atas segenap umat manusia, aku mohon pada-Mu terang bagi para pendosa yang malang. Ya Yesus, ingatlah akan Sengsara-Mu Sendiri yang pahit, jangan biarkan hilang jiwa-jiwa yang telah Engkau tebus dengan harga yang tak ternilai, DarahMu yang Mahasuci.

Ya Yesus, apabila aku merenungkan nilai tak terkira Darah Mahasuci, aku bersukacita atas daya kuasanya, sebab setetes saja akan cukup bagi keselamatan segenap orang-orang berdosa. Meski dosa adalah jurang kekejian dan kedurhakaan, harga yang telah dibayarkan bagi kami jauh melampauinya. Sebab itu, biarlah kiranya setiap jiwa mengandalkan Sengsara Yesus dan menempatkan pengharapannya pada belas kasih-Nya. Tuhan tak akan mengingkari belas kasih-Nya bagi siapa pun. Langit dan bumi akan lenyap, tetapi belas kasih Allah tak akan berkesudahan. Oh, betapa sukacita hebat menyala-nyala dalam hatiku apabila aku merenungkan kebajikan-Mu yang melampaui segala pengertian kami, ya Yesus! Aku rindu membawa segenap orang berdosa ke hadapan kaki-Mu agar mereka dapat memuliakan kerahiman-Mu sepanjang kekekalan masa.

Ya Yesus-ku, kendati malam gelap yang melingkupiku dan awan kelam yang menyelubungi cakrawala, aku tahu bahwa matahari tak akan pernah beranjak dari peraduannya.

Ya Tuhan, walau aku tak dapat memahami Engkau dan tak mengerti jalan-jalan-Mu, namun demikian aku mengandalkan belas kasih-Mu. Andai adalah kehendak-Mu, Tuhan, bahwa aku senantiasa hidup dalam kegelapan demikian, terpujilah Engkau. Aku hanya mohon satu hal saja, Yesus: jangan biarkan aku menghina Engkau dengan cara apapun. Ya Yesus-ku, Engkau sendiri tahu kerinduan dan penderitaan hatiku. Aku bahagia boleh menderita demi Engkau, betapa pun kecilnya.

Apabila aku merasa bahwa deritaku lebih dari yang dapat kutanggung, maka aku akan mengungsi ke dalam lindungan Tuhan dalam Sakramen Mahakudus dan aku berbicara kepada-Nya dalam keheningan yang khusuk.


    PENGAKUAN DOSA SALAH SEORANG YANG ADA DALAM BIMBINGAN KITA

Suatu hari aku merasa terdorong untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan agar Pesta Kerahiman Ilahi ditetapkan dan gambar Yesus yang Maharahim dilukis; aku tak dapat tenang. Sesuatu merasuki diriku, namun demikian aku takut tertipu. Kebimbangan ini senantiasa berasal dari luar, sebab dalam lubuk jiwaku, aku merasa bahwa Tuhan yang merasukiku. Imam kepada siapa aku mengaku dosa pada waktu itu mengatakan bahwa orang dapat seringkali mengalami ilusi, dan aku merasa ia sedikit takut mendengar pengakuanku. Hal ini merupakan suatu siksaan bagiku. Karena nyaris tak mendapatkan pertolongan dari manusia, terlebih lagi aku berpaling kepada Yesus, Guru yang terbaik di antara segala guru.

Suatu waktu, kala aku diliputi keraguan apakah suara yang aku dengar berasal dari Tuhan atau bukan, aku mulai berbicara kepada Yesus dalam hati. Sekonyong-konyong suatu daya dari dalam menguasaiku dan aku berkata, “Jika Engkau yang bersatu denganku dan yang berbicara kepadaku adalah sungguh Allah-ku, aku mohon pada-Mu, ya Tuhan, buatlah perempuan ini, pada hari ini juga, mengakukan dosa-dosanya; tanda ini akan menenteramkan hatiku.” Seketika itu juga sang gadis mohon menerima pengakuan dosa. Moeder yang bertanggung jawab atas kelas sangat terperanjat atas perubahan tiba-tiba dalam diri si gadis, tetapi Moeder segera memanggil seorang imam dan si gadis mengakukan dosa-dosanya dengan penuh sesal. Pada saat yang sama, aku mendengar suara dalam diriku yang mengatakan, “Apakah engkau percaya kepada-Ku sekarang?” Dan sekali lagi suatu kuasa yang adikodrati merasuki jiwaku, memperkuat serta meneguhkanku begitu rupa hingga aku sangat heran bahwa aku telah membiarkan diriku diliputi kebimbangan walau sekejap saja.

Tetapi kebimbangan ini senantiasa berasal dari luar, kenyataan yang membuatku semakin dan semakin menutup diri. Apabila saat pengakuan aku merasakan keraguan dari pihak imam, aku tidak membuka jiwaku sepenuhnya, melainkan hanya mempersalahkan diri atas dosa-dosaku. Seorang imam yang tak berada dalam keadaan damai dengan dirinya sendiri tak akan dapat mengilhamkan damai pada jiwa lain.

Wahai para imam, engkau bagaikan lilin terang yang menerangi jiwa-jiwa manusia, kiranya terangmu jangan pernah redup.

Aku mengerti bahwa pada waktu itu bukanlah kehendak Tuhan aku membuka jiwaku sepenuhnya. Sesudahnya, Tuhan memberiku rahmat itu.

Ya Yesus-ku, arahkanlah akal budiku, kuasailah keseluruhan diriku, benamkanlah aku dalam kedalaman hati-Mu dan lindungilah aku dari serangan para musuh. Engkau-lah satu-satunya pengharapanku. Berbicaralah melalui mulutku, sementara aku - kemalangan itu sendiri - menyadari diri dalam terang kuasa dan kebijaksaan-Mu, agar mereka tahu bahwa karya ini adalah karya-Mu dan berasal daripada-Mu.


    KEGELAPAN BATIN DAN PENCOBAAN    

Akal budiku menjadi suram dengan cara yang aneh, tak ada kebenaran yang tampak jelas bagiku. Apabila orang berbicara kepadaku mengenai Tuhan, hatiku kaku bagaikan batu karang. Percakapan itu tak dapat membangkitkan sedikit pun perasaan kasih kepada Dia. Apabila aku berusaha, dengan tindakan akal budi, untuk tinggal dekat dengan-Nya aku mengalami siksaan hebat, dan tampaknya aku hanya semakin membangkitkan murka Allah yang terlebih lagi. Sama sekali tak mungkin bagiku untuk bermeditasi seperti yang biasa aku lakukan di masa lalu. Aku merasakan suatu kekosongan besar dalam jiwaku yang tak dapat diisi dengan apapun. Aku mulai menderita kelaparan dan kerinduan hebat akan Tuhan, namun aku melihat bahwa aku sama sekali tak berdaya. Aku berusaha membaca perlahan, kalimat demi kalimat, dan bermeditasi dengan cara demikian, tapi ini pun sia-sia. Aku tak mengerti sama sekali apa yang telah aku baca.

Jurang kemalanganku senantiasa ada di hadapan mataku. Setiap kali aku masuk ke dalam kapel untuk berdoa, aku mengalami siksaan dan pencobaan yang terlebih lagi. Lebih dari sekali, sepanjang Misa Kudus aku harus berjuang melawan pikiran-pikiran hujat yang memaksa masuk ke dalam benakku. Aku merasa enggan menerima sakramen-sakramen kudus, aku merasa toh aku tak mendapatkan manfaat apapun dari sakramen-sakramen itu. Hanya karena taat pada bapa pengakuan saja aku menerima sakramen-sakramen; ketaatan buta ini bagiku merupakan satu-satunya jalan yang dapat aku tempuh dan merupakan pengharapan terakhirku menuju keselamatan. Imam menjelaskan kepadaku bahwa pencobaan-pencobaan ini dikirim oleh Tuhan dan bahwa, dalam situasiku ini, bukan saja aku tidak menghina Tuhan, melainkan juga aku amat berkenan di hadapan-Nya. “Ini merupakan suatu tanda,” katanya, “bahwa Tuhan amat mengasihimu dan bahwa Ia menaruh pengharapan besar padamu, sebab Ia berkenan mengirimkan pencobaan-pencobaan yang demikian.” Tetapi, kata-katanya ini tak mendatangkan kelegaan dalam diriku; tampaknya kata-kata itu tak berlaku sama sekali bagi diriku.

Satu hal sungguh mengherankanku; seringkali terjadi bahwa pada saat aku menderita hebat, siksaan-siksaan yang ngeri ini akan lenyap tiba-tiba sementara aku menuju kamar pengakuan; tetapi begitu aku meninggalkan kamar pengakuan, segala siksa akan menyerangku kembali bahkan dengan lebih ganas. Maka, aku akan rebah di hadapan Sakramen Mahakudus sembari mengulang-ulang kata-kata ini, “Bahkan jika Engkau membunuhku, aku akan tetap percaya kepada-Mu!” Rasanya aku akan mati karena siksaan-siksaan ini. Tetapi pikiran yang paling ngeri bagiku adalah keyakinan bahwa aku telah ditolak Tuhan. Lalu, pikiran-pikiran yang lain pun membujukku: Mengapakah berjuang demi keutamaan-keutamaan dan perbuatan-perbuatan baik? Mengapakah menyangkal serta mematikan diri? Apa gunanya kaul-kaul? Apa gunanya doa? Apa gunanya berkorban dan mempersembahkan diri? Mengapa harus mengorbankan diri sendiri sepanjang waktu? Apa guna semua ini jika aku telah ditolak Tuhan? Apa gunanya segala daya upaya ini? Di sini, hanya Tuhan yang tahu apa yang terjadi dalam jiwaku.

Suatu ketika saat aku didera oleh derita ngeri ini, aku pergi ke kapel dan mengatakan dari lubuk hatiku, “Perbuatlah padaku seturut kehendak-Mu, ya Yesus, aku akan sujud menyembah-Mu dalam segala hal. Terjadilah kehendak-Mu atasku, ya Tuhan dan Allah-ku, dan aku akan meluhurkan belas kasih-Mu yang tak terhingga.” Melalui tindakan penyerahan diri ini, siksaan dan derita ngeri meninggalkanku. Sekonyong-konyong aku melihat Yesus yang berkata padaku, “Aku senantiasa di hatimu.” Sukacita yang tak terlukiskan meliputi jiwaku dan suatu nyala kasih kepada Tuhan mengobarkan hatiku. Aku tahu bahwa Tuhan tak akan pernah mencobai kita melampaui kesanggupan kita menanggung penderitaan. Oh, aku tak takut apapun; jika Tuhan mengirimkan penderitaan hebat pada suatu jiwa, Ia menopang jiwa bahkan dengan rahmat yang terlebih besar lagi, walau kita tak menyadarinya. Satu tindakan kepercayaan penuh pada saat-saat demikian menyampaikan kemuliaan yang lebih besar kepada Allah daripada segenap jam-jam yang dilewatkan dalam doa penuh penghiburan. Sekarang aku tahu, jika Tuhan menghendaki suatu jiwa berada dalam kegelapan, tak akan ada buku, ataupun bapa pengakuan yang dapat mendatangkan terang kepadanya.

Ya Santa Perawan Maria, Bunda-ku dan Ratu-ku. Kepadamu kupersembahkan jiwaku, tubuhku, hidup dan matiku, dan segala yang akan terjadi sesudahnya. Aku meletakkan semuanya dalam tangan-tanganmu yang kudus. Ya Bunda-ku, naungilah jiwaku dengan mantol keperawananmu dan anugerahkanlah bagiku rahmat kemurnian hati, jiwa dan badan. Belalah aku dengan kuasamu melawan segala musuh, teristimewa terhadap mereka yang menyamarkan kejahatan mereka di balik topeng kebajikan. Ya bunga bakung yang menawan! Bagiku, engkau adalah cermin, ya Bundaku!

O Yesus, Tawanan Kasih Ilahi, apabila aku memikirkan kasih-Mu dan bagaimana Engkau telah menghampakan DiriMu Sendiri bagiku, akal sehatku tak kuasa memahaminya. Engkau menyembunyikan keagungan-Mu yang tak terlukiskan dan merendahkan DiriMu Sendiri hingga setara dengan aku yang hina. Ya Raja Kemuliaan, walau Engkau menyamarkan keelokan-Mu, namun mata jiwaku menyingkapkan selubungnya. Aku melihat paduan suara malaikat surga memuji-Mu tak kunjung henti, dan segenap Kuasa surgawi memuliakan-Mu terus-menerus, tak henti-hentinya berseru: Kudus, Kudus, Kudus.

Oh, siapakah gerangan yang mampu memahami cinta-Mu dan belas kasih-Mu yang tak terhingga bagi kami! Wahai Tawanan Kasih, aku mengunci hatiku yang malang dalam tabernakel ini agar ia dapat bersembah sujud di hadapan-Mu siang dan malam tanpa henti. Tak ada suatu pun yang dapat menghalangiku dalam adorasi ini, sebab, walau secara jasmani aku jauh, hatiku senantiasa bersama-Mu. Tak ada suatu pun yang dapat menghentikan kasihku untuk-Mu. Tak ada suatu pun yang dapat menghalangiku. Ya Yesus-ku, aku akan menghibur-Mu atas segala kedurhakaan, hujat, kebekuan hati, kedengkian si jahat, dosa-dosa sakrilegi. O Yesus, aku rindu dibakar sebagai korban yang tak bercela dan dilahap di hadapan tahta kebesaran-Mu. Aku mohon dengan sangat kepada-Mu tanpa henti demi para pendosa malang yang berada di ambang ajal.

O, Tritunggal Mahakudus, Allah yang Satu dan Esa, diberkatilah Engkau atas karunia dan kesaksian belas kasih yang luar biasa ini. Yesus-ku, demi menyilih para penghujat, aku akan bungkam seribu bahasa apabila ditegur secara tidak adil dan dengan cara demikian menjadi silih sebagian bagi-Mu. Aku menyanyikan dalam jiwaku suatu madah yang tak akan pernah berakhir bagi-Mu, dan tak akan ada seorang pun yang menduga atau mengetahuinya. Nyanyian jiwaku, hanya Engkau saja yang tahu, ya Pencipta-ku dan Allah-ku! Aku tak akan membiarkan diriku larut dalam kesibukan kerja hingga melupakan Allah-ku. Aku akan melewatkan seluruh waktu-waktu luangku di kaki Tuan yang tersembunyi dalam Sakramen Mahakudus. Ia telah membimbingku sejak dari masa kanak-kanakku.

“Tulislah ini: sebelum Aku datang sebagai Hakim yang adil, terlebih dahulu Aku datang sebagai Raja Kerahiman. Sebelum hari penghakiman tiba, akan diberikan kepada manusia suatu tanda di langit seperti ini: Segala terang di langit akan padam dan akan ada suatu kegelapan yang pekat di atas seluruh muka bumi. Tanda Salib akan tampak di langit, dan dari luka-luka paku di tangan dan kaki Juruselamat akan memancar sinar-sinar yang besar yang akan menerangi bumi untuk suatu masa tertentu. Hal ini akan terjadi menjelang akhir zaman.”

Darah dan Air, yang telah memancar dari Hati Yesus sebagai sumber kerahiman bagi kami. Engkaulah andalanku!

Vilnius 2 Agustus 1934. Pada hari Jumat, setelah Komuni Kudus, aku dibawa dalam roh ke hadapan tahta Allah. Di sana, aku melihat kuasa-kuasa surgawi yang tak henti-hentinya memuliakan Tuhan. Di atas tahta aku melihat suatu cahaya yang tak terhampiri oleh makhluk ciptaan, dan di sana hanya Inkarnasi Sabda yang masuk sebagai Pengantara. Saat Yesus memasuki cahaya ini, aku mendengar kata-kata berikut, “Segeralah tulis apa yang engkau dengar: Aku Tuhan dalam hakekat-Ku dan Aku berkuasa atas titah dan perintah. Jika Aku menitahkan ciptaan menjadi ada - itulah kedalaman kerahiman-Ku.” Dan pada saat itu juga aku mendapati diriku, sama seperti sebelumnya, berada dalam kapel di bangku berlutut sementara Misa baru saja berakhir. Kata-kata di atas telah dituliskan.

(Suatu kali) ketika aku melihat betapa banyak bapa pengakuanku (mungkin Pater Sopocko) harus menderita karena karya ini yang hendak dilaksanakan Tuhan melalui dia, rasa takut merayapi diriku dan aku berkata kepada Tuhan, “Yesus, bukankah ini adalah karya-Mu, jadi mengapakah Engkau bertindak begitu rupa terhadapnya? Tampaknya Engkau menimbulkan kesulitan-kesulitan baginya sementara pada saat yang sama Engkau memerintahkannya untuk bertindak.”

“Tulislah bahwa siang dan malam mata-Ku tertuju padanya; Aku mengijinkan kesulitan-kesulitan ini demi menambahkan ganjarannya. Aku tidak mengganjari orang karena hasil baik yang dicapainya, melainkan karena ketekunan dan kerja keras yang dilaluinya demi Aku.”

Vilnius, 26 Oktober 1934. Pada hari Jumat pukul enam kurang sepuluh menit, kala aku dan sebagian dari mereka yang ada dalam bimbingan kita datang dari taman untuk santap malam, aku melihat Tuhan Yesus di atas kapel kita; Ia tampak seperti saat pertama kali aku melihat-Nya, seperti digambarkan dalam lukisan. Kedua sinar yang memancar dari hati Yesus menaungi kapel dan rumah penampungan kita, lalu seluruh kota dan menyebar ke seluruh dunia. Salah seorang gadis yang berjalan bersamaku, agak sedikit di belakang yang lain, juga melihat sinar-sinar ini, tapi ia tidak melihat Yesus; ia tak mengerti dari mana datangnya sinar-sinar ini. Ia diliputi sukacita yang meluap dan mulai menceritakannya kepada para gadis yang lain. Mereka menertawakannya, menganggapnya berkhayal, atau mungkin juga sinar itu merupakan pantulan cahaya dari pesawat terbang yang lewat. Tetapi si gadis bersikeras, mengatakan bahwa belum pernah sebelumnya ia melihat sinar seperti itu. Ketika para gadis yang lain mengatakan bahwa mungkin itu sinar lampu sorot, ia menjawab bahwa ia tahu betul seperti apa sinar lampu sorot itu, tapi tak pernah ia melihat sinar-sinar seperti ini.

Sesudah santap malam, gadis itu mendekatiku dan mengatakan bahwa ia begitu tergerak oleh sinar-sinar itu hingga ia tak dapat tutup mulut, melainkan ingin mengatakannya kepada semua orang; namun demikian, ia tidak melihat Yesus. Terus-menerus ia menceriterakan sinar-sinar itu kepadaku; hal ini membuatku canggung, sebab aku tak dapat mengatakan kepadanya bahwa aku melihat Tuhan Yesus. Aku berdoa untuknya, mohon pada Tuhan agar menganugerahkan rahmat-rahmat yang ia butuhkan. Hatiku bersukacita pada kenyataan bahwa Yesus mengambil inisiatif membuat DiriNya dikenal, walau tindakan yang demikian dari pihak Tuhan membuatku canggung. Demi Yesus, orang dapat menanggung segala sesuatu.

Pada waktu adorasi, aku merasakan kedekatan dengan Tuhan. Sejenak kemudian aku melihat Yesus dan Bunda Maria. Hatiku meluap dengan sukacita melihat mereka; aku bertanya pada Tuhan, “Apakah kehendak-Mu, ya Yesus, mengenai masalah yang bapa pengakuanku minta aku menanyakannya kepada-Mu?” Yesus menjawab, “Adalah kehendak-Ku bahwa ia tetap tinggal di sini dan bahwa ia tidak mengambil inisiatif untuk menghindarkan diri.” Aku bertanya pada Yesus apakah tulisan di bawah lukisan adalah “Kristus Raja Kerahiman.” Jawabnya, “Aku Raja Kerahiman,” tapi Ia tidak mengatakan “Kristus.” “Aku menghendaki lukisan ini diperlihatkan di hadapan umum pada hari Minggu pertama sesudah Paskah. Hari Minggu itu adalah Pesta Kerahiman Ilahi. Melalui Sabda Inkarnasi Aku akan memaklumkan kedalaman belas kasih-Ku yang tak terhingga.”

Anehnya, segala sesuatu terjadi tepat seperti yang diminta Tuhan. Sesungguhnya, pada hari Minggu pertama sesudah Paskah (April 1935) lukisan dihormati untuk pertama kalinya secara umum oleh umat beriman. Selama tiga hari lukisan dipajang dan menerima penghormatan umum. Karena lukisan ditempatkan di atas jendela di Rostra Drama (tempat ziarah Santa Perawan Maria di atas “Gerbang Timur” kota Vilnius), lukisan dapat dilihat hingga dari kejauhan. Di Rostra Drama, sepanjang tiga hari ini dirayakan penutupan Yubileum Penebusan Dunia, menandai 1900 tahun yang telah lewat sejak Sengsara Juruselamat kita. Aku melihat sekarang bahwa Karya Penebusan terikat erat dengan Karya Belas Kasih yang diminta Tuhan.

Suatu hari, aku melihat secara batin betapa banyak bapa pengakuanku harus menderita: teman dan sahabat akan menginggalkanmu, sementara semua orang akan bangkit melawanmu, kekuatan jasmanimu akan lenyap. Aku melihat engkau bagaikan seberkas anggur yang dipilih dan dilemparkan ke dalam tempat pemerasan penderitaan. Jiwamu, Pater, dari waktu ke waktu akan diliputi kebimbangan akan karya ini dan akan aku.

Aku melihat bahwa Tuhan Sendiri tampaknya menentang (dia); aku bertanya kepada Tuhan mengapa Ia berlaku demikian terhadapnya, seolah Tuhan menaruh penghalang-penghalang di jalannya sementara sang imam melakukan apa yang diminta Tuhan sendiri. Tuhan mengatakan, “Aku bertindak demikian terhadapnya guna memberikan kesaksian bahwa karya ini adalah karya-Ku. Katakan padanya untuk jangan takut; mata-Ku tertuju kepadanya siang dan malam. Akan ada banyak mahkota yang akan membentuk mahkotanya kelak, sebanyak jiwa-jiwa yang akan diselamatkan oleh karya ini. Aku mengganjari orang bukan karena keberhasilan suatu pekerjaan, melainkan karena penderitaan yang ditanggungnya.”

Yesus-ku, hanya Engkau Sendiri yang tahu penderitaan yang aku tanggung, dan penderitaan ini karena aku setia pada-Mu dan taat pada perintah-perintah-Mu. Engkau-lah kekuatanku; sudi topang aku agar aku senantiasa mampu melaksanakan apa yang Engkau kehendaki dariku. Dari diriku sendiri aku tak dapat berbuat apa-apa; tetapi apabila Engkau menopangku, segala kesukaran dan kesulitan menjadi tak berarti bagiku. Ya Tuhan-ku, aku dapat melihat dengan jelas bahwa sejak dari saat jiwaku pertama kali menerima anugerah untuk mengenal-Mu, hidupku telah menjadi suatu perjuangan yang terus-menerus yang semakin lama semakin hebat.

Setiap pagi, sepanjang meditasi, aku mempersiapkan diri guna menghadapi perjuangan sepanjang hari itu. Komuni Kudus memantapkan hatiku bahwa aku akan memenangkan pertarungan dan memang demikianlah yang terjadi. Aku ngeri akan hari di mana aku tidak menerima Komuni Kudus. Roti Kekuatan ini memberiku segala kekuatan yang aku butuhkan untuk melaksanakan misiku dan memberiku segala keberanian untuk melakukan apapun yang Tuhan kehendaki daripadaku. Keberanian dan kekuatan yang ada dalam diriku bukan berasal dari diriku sendiri, melainkan dari Dia yang tinggal dalam aku - yaitu Ekaristi.

Ya Yesus-ku, salah paham begitu hebat; terkadang, jika bukan karena Ekaristi, aku tak akan memiliki keberanian untuk melangkah lebih jauh di jalan yang telah Engkau tetapkan bagiku.

Penghinaan merupakan makananku setiap hari. Aku mengerti bahwa mempelai perempuan harus dalam segala hal berbagi dengan mempelai laki-laki; jadi jubah penghinaan-Nya haruslah menyelubungiku juga. Di saat-saat aku amat menderita, aku berusaha untuk tetap diam, sebab aku tak dapat mempercayai lidahku, yang pada saat-saat demikian cenderung berbicara tanpa kendali, padahal tugasnya adalah membantu memuliakan Allah atas segala rahmat dan karunia yang telah Ia anugerahkan kepadaku. Apabila aku menerima Yesus dalam Komuni Kudus, aku memohon dengan sangat kepada-Nya untuk berkenan menyembuhkan lidahku agar aku tak lagi menghina Tuhan maupun sesama. Aku ingin lidahku memuji-muji Tuhan tanpa henti. Betapa dahsyat pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh lidah. Jiwa tak akan mencapai kekudusan apabila ia tak mampu mengendalikan lidahnya.
halaman 2
Sumber: “The Divine Mercy in My Soul” by St Faustina Kowalska

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”