YESAYA    
Edisi YESAYA   |   Bunda Maria   |   Santa & Santo   |   Doa & Devosi   |   Serba-Serbi Iman Katolik   |   Artikel   |   Anda Bertanya, Kami Menjawab
Mengapa Lonceng Altar Dibunyikan?
oleh: Romo William P. Saunders *
Saya memperhatikan bahwa di beberapa gereja lonceng altar dibunyikan saat Perayaan Misa, sementara di gereja-gereja yang lain tidak. Adakah peraturan khusus mengenai hal ini?
~ seorang pembaca di Falls Church

Pedoman Umum Misale Romawi (tahun 2002; no. 150) menetapkan bahwa lonceng altar dapat dibunyikan pada umumnya di dua tempat selama Perayaan Misa: Pertama, “sesaat sebelum konsekrasi, putra altar dapat membunyikan bel sebagai tanda bagi umat.” Di sini, biasanya  lonceng altar dibunyikan pada saat Epiklese dalam Doa Syukur Agung. Saat itu, imam menangkupkan kedua tangannya, lalu menumpangkannya atas roti dan anggur yang akan dikonsekrasikan. Imam berdoa agar Roh Kudus menyucikan persembahan roti dan anggur agar menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Bunyi lonceng altar menyadarkan umat akan turunnya Roh Kudus dan menyiagakan umat untuk konsekrasi yang akan segera berlangsung.

Kedua, “sesuai dengan kebiasaan setempat, pelayan dapat membunyikan bel pada saat hosti dan piala diperlihatkan kepada umat sesudah konsekrasi masing-masing.” Setelah imam mengucapkan kata-kata konsekrasi, ia mengangkat Hosti Kudus atau piala Darah Kristus. Bunyi lonceng altar sekali lagi menyadarkan umat beriman bahwa transsubstansiasi telah terjadi dan bahwa Tubuh dan Darah Kristus sungguh hadir di altar.

Harap diingat bahwa masalah ini diserahkan kepada kebijakan imam apakah lonceng altar sebaiknya dibunyikan atau tidak. Namun demikian, penggunaan lonceng altar dalam Perayaan Misa memiliki tradisi yang panjang dalam Gereja kita dan sebenarnya tak seorang pun boleh beranggapan bahwa penggunaannya telah dilarang. Sesungguhnya, praktek yang biasa dilakukan di Basilika Roma adalah lonceng altar dibunyikan setiap kali imam mengangkat Hosti atau Piala dan kemudian dibunyikan agak lebih lama ketika imam genuflect (berlutut dengan satu kaki) setelah mengangkat piala.

Tradisi ini sendiri tampaknya muncul sekitar abad ke-13, ketika telah menjadi kebiasaan umum untuk membunyikan lonceng altar pada saat konsekrasi. Kemudian, catatan pada Katedral Chartres tahun 1399 menunjukkan bahwa sebuah lonceng besar yang digantung di atas tempat paduan suara dibunyikan saat Sanctus mulai dilantunkan guna menarik perhatian umat akan konsekrasi yang akan segera berlangsung. Selain itu, suara lonceng dipandang sebagai memadahkan kemuliaan bagi Tuhan. (Karena alasan inilah, lonceng Gereja dapat dibunyikan sepanjang madah Kemuliaan dinyanyikan pada Misa Malam Paskah).

Alasan lain mengapa lonceng altar dibunyikan pada saat baik Hosti Kudus maupun Piala Darah diangkat setelah konsekrasi adalah untuk menegaskan bahwa transsubstansiasi telah terjadi. Pada tahun 1100-an, beberapa teolog beranggapan bahwa transsubstansiasi roti belum terjadi hingga kata-kata konsekrasi untuk piala selesai diucapkan. Guna membantah anggapan ini, praktek berikut ini ditetapkan: Setelah kata-kata konsekrasi roti, imam mengangkat Hosti Kudus agar dapat dilihat semua umat, lonceng altar dibunyikan, dan kemudian imam genuflect setelah menempatkan Hosti Kudus kembali ke patena di meja altar.

Sebagai contoh, Kardinal Guido, utusan kepausan untuk Jerman, menyebarluaskan praktek ini di Cologne pada tahun 1201, suatu praktek yang sudah ditetapkan di Roma (dan di banyak Gereja lain). Guna mempertegas kesakralan saat-saat adikodrati ini, pendupaan juga diperkenankan dilakukan setiap kali Hosti atau Piala diangkat. Di samping itu, saat Misa Raya, lonceng besar Gereja dibunyikan guna menyadarkan warga kota bahwa konsekrasi telah terjadi, di mana mereka akan berlutut dengan saleh dan melakukan sembah sujud.

Dalam Misa Tridentine kuno, Misale Romawi, yang disebarluaskan pada tahun 1570 oleh Paus Pius V, ditetapkan untuk membunyikan lonceng altar baik pada saat Sanctus maupun saat konsekrasi. Ketika Paus Paulus VI menerbitkan revisi Perayaan Misa, praktek membunyikan lonceng altar diserahkan sebagai optional (seperti dinyatakan sebelumnya).

Oleh karena kita adalah manusia dengan pancaindera, bunyi-bunyian merupakan unsur yang penting dalam ibadat kita, entah itu dalam rupa saat hening, atau suara nyanyian pujian umat, atau suara denting organ gereja. Bunyi-bunyian lonceng sungguh menambah kekhidmadan dan kesakralan Misa. Dan yang paling penting, bunyi-bunyian itu mempertegas peristiwa sakral yang terjadi di altar dengan cara yang dapat ditangkap pancaindera. Sebab itu, sungguh kita mempunyai tradisi yang tidak saja penuh arti, tetapi juga indah.     


 Fr. Saunders is dean of the Notre Dame Graduate School of Christendom College and pastor of Queen of Apostles Parish, both in Alexandria.
sumber : “Straight Answers: Why the Bell Tolls” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©1999 Arlington Catholic Herald, Inc. All rights reserved; www.catholicherald.com
Disesuaikan dengan buku “Pedoman Umum Misale Romawi”, diterjemahkan oleh Komisi Liturgi KWI dari Institutio Generalis Missalis Romani, editio typica tertia 2000, diberi approbatio oleh Konferensi Waligereja Indonesia, dalam sidang 23-26 April 2002.
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”