289. DARI GERASA KE SUMBER MATAAIR TUKANG UNTA.
29 September 1945
Caravan itu meninggalkan halaman luas Aleksander, dalam urutan yang sempurna seolah dalam suatu parade militer. Yesus berada di belakang bersama semua anggota kelompok-Nya. Unta-unta bergerak maju, beban berat mereka terayun berirama dan kepala mereka, di ujung leher mereka yang melengkung, seolah bertanya di setiap langkah, "Mengapa? Mengapa?" dalam derap bisu mereka, bagai gerakan burung merpati, yang di setiap langkah seolah mengatakan, "Ya, ya" pada semua yang mereka lihat. Caravan harus melintasi kota dan ia melakukannya di udara pagi yang cerah. Semua berbalut rapat sebab udara dingin. Gemerincing lonceng unta, teriakan para kusir, lengkingan unta yang mengeluhkan usainya saat menganggur, mengabarkan kepada orang-orang Gerasa perihal keberangkatan Yesus.
Berita itu menyebar secepat kilat dan beberapa orang Gerasa bergegas menyongsong-Nya dengan menawarkan buah-buahan dan bahan makanan lainnya. Ada juga seorang laki-laki dengan seorang anak laki-laki yang sakit. "Berkatilah dia, supaya dia pulih kembali. Kasihanilah kami!"
Yesus mengangkat tangan-Nya dan memberkati si anak dengan berkata, "Pergilah dan jangan khawatir. Milikilah iman."
Dan laki-laki itu mengatakan "ya" dengan begitu penuh percaya, hingga seorang perempuan bertanya, "Maukah Engkau menyembuhkan suamiku yang matanya berbisul?"
"Aku mau, jika kau bisa percaya."
"Baik, aku akan pergi dan membawanya kemari. Tunggu aku, Tuhan," dan dia lari secepat burung layang-layang.
Tunggu! Lebih mudah dikatakan daripada dilakukan! Unta-unta terus bergerak maju. Aleksander, yang memimpin caravan, tidak tahu apa yang diinginkan mereka yang di belakang. Satu-satunya yang harus dilakukan adalah mengirimkan pesan untuknya.
"Larilah, Marjiam. Pergi dan katakan kepada sang saudagar untuk berhenti sebelum keluar dari tembok kota," kata Yesus. Dan Marjiam berlari segesit kijang untuk menunaikan misinya.
Caravan pun berhenti dan sang saudagar datang menghampiri Yesus. "Ada apa?"
"Tinggallah di sini dan kau akan melihat."
Perempuan Gerasa itu segera kembali bersama suaminya yang matanya bermasalah. Penyakitnya jauh lebih parah dari sekedar bisul! Kedua matanya adalah dua lubang penuh nanah. Matanya tampak kusam, memerah, setengah buta di tengah-tengah lubang, di antara tetesan airmata yang menjijikkan. Begitu laki-laki itu mengangkat perban gelap yang meredupkan cahaya, air mata mengalir lebih deras sebab cahaya membuat matanya bertambah sakit.
Laki-laki itu mengerang, "Kasihanilah! Aku sangat menderita!"
"Kau juga sangat banyak berdosa. Apa kau tidak mengeluhkan itu? Apa kau hanya menyesali kemungkinan kehilangan penglihatan duniawi? Tak tahukah kau tentang Allah sama sekali? Apa kau tidak takut akan kegelapan abadi? Mengapa kau berdosa?"
Laki-laki itu terisak dan dia membungkuk tanpa mengatakan apa-apa. Istrinya juga menangis dan dia mengerang, "Aku sudah memaafkannya..."
"Dan Aku juga akan memaafkannya, jika dia bersumpah kepada-Ku bahwa dia tidak akan jatuh kembali ke dalam dosanya."
"Ya, aku bersumpah! Ampunilah aku. Sekarang aku tahu konsekuensi dari dosa. Ampuni aku. Ampuni aku seperti istriku sudah mengampuni aku. Engkau ialah Yang Baik."
"Aku mengampunimu. Pergilah ke mataair itu, basuh mukamu dalam air dan kau akan sembuh."
"Air dingin akan membuat keadaannya bertambah buruk, Tuhan" erang perempuan itu.
Tetapi laki-laki itu tidak peduli apa-apa lainnya dan dia mulai meraba-raba hingga rasul Yohanes dengan iba menggandeng tangannya dan menuntunnya seorang diri pada awalnya, sampai istrinya menopang tangannya yang lain. Laki-laki itu turun ke tepi air sedingin es yang menggelegak di antara bebatuan, lalu dia membungkuk. Dia mengambil air dengan menangkupkan kedua tangannya dan membasuh wajahnya. Dia tidak menunjukkan tanda-tanda kesakitan. Sebaliknya, dia tampak lega.
Dia lalu mendaki ke tepian sungai, dengan wajah masih basah, dan kembali kepada Yesus, Yang bertanya kepadanya, "Baik? Apa kau sudah sembuh?"
"Tidak, Tuhan. Belum. Tetapi Engkau mengatakannya dan aku akan sembuh."
"Baiklah, tetaplah dalam pengharapanmu. Selamat tinggal."
Perempuan itu roboh dengan menangis... Dia kecewa. Yesus memberi isyarat kepada sang saudagar bahwa mereka bisa melanjutkan perjalanan. Dan sang pedagang, yang juga kecewa, menyampaikan pesan itu. Unta-unta berderap kembali dengan gerakan mereka yang serupa perahu yang naik dan turun haluannya dan dengan itu memotong gelombang; mereka keluar dari tembok kota dan mengambil rute caravan yang lebar dan berdebu di arah barat daya.
Pasangan terakhir dari kelompok apostolik, yakni, Yohanes En-Dor dan Simon Zealot, baru saja meninggalkan tembok kota beberapa yard di belakangnya, ketika suatu seruan nyaring terdengar di udara yang sunyi. Seolah suara itu tersebar ke seluruh penjuru dunia, dan diulang dalam nada suara yang semakin tinggi, memadahkan hosana dengan penuh sukacita, "Aku bisa melihat! Yesus-ku yang terberkati! Aku bisa melihat! Aku percaya. Aku melihat! Yesus! Yesus! Yesus-ku yang terberkati!" dan laki-laki itu, yang wajahnya sama sekali sembuh, dengan sepasang mata yang indah: dua biji delima yang bercahaya dan hidup, bergegas menuju kaki Yesus dan jatuh nyaris di bawah unta tunggangan sang saudagar, yang berhasil menjauhkan tunggangannya itu dari laki-laki yang prostratio itu tepat pada waktunya.
Laki-laki itu menciumi pakaian Yesus seraya mengulang, "Aku percaya! Aku percaya dan aku bisa melihat! Yesus-ku yang terberkati!"
"Berdiri dan berbahagialah. Dan, di atas segalanya, jadilah baik. Katakan kepada istrimu untuk percaya penuh. Selamat tinggal." Dan Yesus membebaskan Diri-Nya dari cengkeraman laki-laki yang disembuhkan secara mukjizat itu dan melanjutkan jalan-Nya.
Sang saudagar mengelus jenggotnya dengan termenung... Pada akhirnya dia bertanya. "Dan andai dia tidak teguh percaya, sesudah kekecewaannya saat membasuh mukanya?"
"Dia akan tetap seperti semula."
"Mengapa Engkau menuntut begitu banyak iman untuk melakukan suatu mukjizat?"
"Karena iman memberi kesaksian akan adanya harapan dan kasih kepada Allah."
"Dan mengapa Engkau menghendaki pertobatan terlebih dulu?"
"Karena pertobatan membuat Allah bersahabat."
"Sebab aku tidak punya penyakit, apa yang harus aku lakukan untuk membuktikan bahwa aku punya iman?"
"Kau harus datang kepada Kebenaran."
"Dan bisakah aku datang tanpa persahabatan dengan Allah?"
"Kau tidak bisa datang tanpa kebaikan Allah. Allah mengizinkan mereka yang mencari-Nya untuk menemukan-Nya, bahkan meski mereka belum bertobat; karena manusia pada umumnya bertobat ketika dia mengenal Allah, baik secara sadar atau bahkan dengan kesadaran samar tentang apa yang dikehendaki jiwanya. Sebelumnya dia seperti orang bodoh yang dipimpin hanya oleh naluri. Pernahkah kau merasakan perlunya untuk percaya?"
"Seringkali. Yah, aku tidak puas dengan apa yang sudah aku miliki. Aku merasa ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih kuat daripada uang, daripada anak-anakku, harapanku... Tetapi aku tidak mau repot untuk mencari tahu apa yang aku cari tanpa sadar."
"Jiwamu mencari Allah. Kebaikan Allah telah memungkinkanmu menemukan Allah. Pertobatan atas masa lalumu yang lembam akan memberimu persahabatan dengan Allah."
"Jadi... untuk beroleh mukjizat melihat Kebenaran dengan jiwaku, aku harus bertobat atas masa laluku?"
"Tentu saja. Kau harus bertobat dan memutuskan untuk mengubah hidupmu sepenuhnya..."
Laki-laki itu mulai mengelus jenggotnya kembali dan dia menatap dengan begitu intens hingga dia seolah sedang mempelajari dan menghitung rambut pada leher untanya. Tanpa sengaja dia menjejakkan tumitnya pada si unta yang menganggapnya sebagai pacu untuk mempercepat langkahnya; dan si unta mematuhinya dengan membawa sang saudagar ke kepala karavan.
Yesus tidak menahannya. Sebaliknya, Dia berhenti dan dengan demikian memungkinkan para perempuan dan para rasul menyusul-Nya, sampai Simon Zelot dan Yohanes En-Dor mencapai-Nya. Yesus menggabungkan diri dengan mereka.
"Apa yang kamu bicarakan?" Dia bertanya.
"Kami berbicara tentang depresi yang pastilah dirasakan oleh mereka yang tidak percaya kepada apa pun atau sudah kehilangan iman yang mereka miliki. Sintikhe benar-benar patah hati kemarin, meskipun dia sudah sampai pada iman yang sempurna," jawab Zelot.
"Aku katakan kepada Simon bahwa jika adalah menderita untuk beralih dari Yang Baik ke Yang Jahat, maka adalah juga merawankan hati untuk beralih dari Yang Jahat ke Yang Baik. Dalam kasus pertama orang disiksa oleh hati nuraninya yang mencela. Dalam kasus terakhir, orang... disiksa... Seperti orang yang dibawa ke suatu negeri asing yang sama sekali tidak dikenal... Atau itu adalah kegelisahan seorang, yang sebab adalah seorang terpuruk malang yang tidak terpelajar, harus mendapati dirinya di istana raja, di antara orang-orang terpelajar dan terhormat. Itu menyakitkan... Aku tahu... Penderitaan yang begitu lama... Orang tidak bisa percaya bahwa itu adalah benar, bahwa itu bisa terjadi... bahwa orang bisa layak mendapatkannya teristimewa ketika jiwanya tercemar... seperti jiwaku dulu..."
"Dan sekarang, Yohanes?" tanya Yesus.
Dan wajah Yohanes En-Dor yang sedih layu menjadi cerah dengan seulas senyum yang membuatnya terlihat tidak terlalu kurus. Dia berkata, "Sekarang, tidak lagi demikian. Hanya puji syukur kepada Tuhan yang tetap, bukan, semakin bertambah. Ini yang dikehendaki Tuhan. Masih ada kenangan akan masa lalu guna membuatku tetap rendah hati. Namun ada kepastian. Aku merasa terbiasa, aku bukan lagi seorang asing di dunia pengampunan dan kasih ini yang adalah dunia-Mu. Dan aku tenang, bahagia dan dalam damai."
"Apa kau menganggap pengalamanmu sebagai suatu yang baik?"
"Ya, benar. Jika aku tidak menyesal sebab sudah berdosa, sebab aku mendukakan Allah melalui dosa-dosaku, akan aku katakan bahwa aku merasa masa laluku adalah suatu yang baik, yang dapat sangat membantuku untuk menopang jiwa-jiwa yang mau tapi tersesat, pada tahap-tahap pertama dari kepercayaan baru mereka."
"Simon, pergi dan katakan pada si bocah untuk tidak terlalu banyak meloncat. Dia akan kelelahan malam ini."
Simon menatap pada Yesus, tetapi dia mengerti kebenaran di balik perintah itu. Dia tersenyum cerdik dan pergi meninggalkan keduanya sendirian.
"Sekarang kita sendirian, Yohanes, dengarkan keinginan-Ku ini. Untuk sejumlah alasan, tidak ada dari pengikut-Ku yang punya penilaian dan pemikiran luas seperti yang kau miliki. Dan pendidikanmu lebih luas daripada rata-rata orang Israel yang terpelajar. Jadi Aku memintamu untuk membantu-Ku..."
"Aku membantu-Mu? Bagaimana?"
"Atas nama Sintikhe. Kau adalah seorang guru yang sangat pintar! Marjiam belajar dengan cepat dan baik bersamamu. Sebegitu baik hingga Aku berpikir untuk meninggalkanmu bersama selama beberapa bulan, sebab Aku ingin Marjiam punya pengetahuan yang lebih luas daripada dunia kecil Israel. Dan itu mendatangkan kesukaan bagimu untuk mengasuhnya. Dan aku bersukacita melihatmu bersama, kau mengajar, dia belajar; kau akan bersemangat muda kembali, dia matang dalam belajar. Tetapi kau harus merawat Sintikhe juga, seolah dia adalah seorang saudari yang hilang. Kau sendiri yang mengatakannya: seorang merasa tersesat... Bantulah dia untuk menjadi terbiasa dengan atmosfer-Ku. Maukah kau melakukan ini untuk-Ku?"
"Suatu anugerah bagiku untuk melakukannya, Tuhan-ku! Aku tidak mendekatinya karena aku menganggap diriku tak berguna. Tetapi jika Engkau menghendakinya... Dia membaca gulungan-gulunganku. Ada beberapa yang sakral, beberapa yang hanya budaya: gulungan-gulungan yang dari Roma dan Atena. Aku melihat bahwa dia mempelajarinya dan memeditasikannya... Tetapi aku tidak pernah campur tangan untuk membantunya. Jika Engkau kehendaki..."
"Ya, benar. Aku ingin kamu bersahabat. Seperti Marjiam dan kau, dia akan tinggal di Nazaret selama beberapa waktu. Itu akan menjadi suatu yang indah: BundaKu dan kau sebagai guru dari dua jiwa yang membuka diri kepada Allah. BundaKu: Guru malaikat dari Pengetahuan Allah; kau: guru yang berpengalaman dari pengetahuan manusia, yang sekarang dapat kau jelaskan dengan referensi supernatural. Itu akan sungguh indah dan berguna."
"Ya, Tuhan-ku yang terberkati! Terlalu indah untuk Yohanes yang malang!..." dan laki-laki itu tersenyum akan bayangan hari-hari penuh damai mendatang bersama Maria, di rumah Yesus... Dan jalanan berliku di sepanjang negeri yang elok, yang sekarang sama sekali datar sesudah menyusuri beberapa bukit kecil di luar Gerasa, di bawah sinar matahari lembut yang menjadi semakin hangat.
Jalanan terpelihara baik sehingga nyaman untuk dilalui dan ditempuh kembali sesudah istirahat tengah hari. Hari hampir sore ketika aku mendengar Sintikhe tertawa sepenuh hati untuk pertama kalinya; sesungguhnya Marjiam mengatakan sesuatu kepadanya yang membuat semua perempuan tertawa. Aku melihat perempuan Yunani itu membungkuk untuk membelai si bocah dan menciumnya sekilas pada dahinya. Bocah itu lalu kembali meloncat kian kemari seolah dia tak kenal lelah sama sekali.
Tetapi semua yang lain lelah dan senang atas keputusan untuk melewatkan malam di Sumber Mataair Tukang Unta. Si saudagar itu berkata, "Aku selalu berhenti di sini untuk bermalam. Jarak dari Gerasa ke Bozrah terlalu jauh baik untuk manusia maupun hewan."
"Saudagar itu berperikemanusiaan," komentar para rasul, membandingkannya dengan Doras...
"Sumber Mataair Tukang Unta" hanyalah segelintir rumah sekeliling beberapa sumur; semacam oasis, bukan di padang gurun yang gersang, karena tidak ada kegersangan di sini, tetapi sebuah oasis di padang luas yang tidak berpenghuni dan kebun-kebun buah-buahan yang sambung-menyambung sejauh bermil-mil dan yang, sebab senja bulan Oktober menjelang, memberikan sensasi muram yang sama seperti lautan saat senja. Jadi, pemandangan rumah-rumah, bising suara tangis anak-anak, bau cerobong asap dan lampu-lampu pertama yang dinyalakan memberikan sensasi senang yang sama seperti orang tiba di rumah.
Sementara para tukang unta berhenti untuk memberi minum pertama kalinya kepada unta-unta, para rasul dan para perempuan mengikuti Yesus dan si saudagar yang memasuki... penginapan agak prasejarah yang akan menaungi mereka sepanjang malam...
... Mereka semua berkumpul dekat suatu perapian yang sangat besar yang memenuhi seluruh tembok sempit dari sebuah kamar besar yang berasap di mana mereka bersantap, dan di mana para laki-laki akan tidur dan para pelayan sudah mempersiapkan tempat-tempat tidur jerami di atas tikar. Api menyala karena malam yang dingin dan lembab.
"Marilah berharap tidak turun hujan," kata Petrus seraya mendesah.
Si saudagar menentramkannya,"Cuaca buruk tidak akan dimulai sampai bulan ini berakhir. Selalu seperti ini di sini pada senja hari. Tapi besok akan ada sinar matahari."
"Ini untuk kepentingan para perempuan, kau tahu? Bukan untukku. Aku seorang nelayan dan aku hidup di air. Dan aku bisa meyakinkanmu bahwa aku lebih suka air daripada gunung dan debu."
Yesus berbicara kepada para perempuan dan kedua sepupu-Nya. Yohanes En-Dor dan Zelot juga mendengarkan Dia. Sebaliknya, Timoneus dan Ermasteus sedang membaca salah satu gulungan Yohanes dan kedua orang Israel itu menjelaskan kepada Ermasteus ayat-ayat Kitab Suci yang tidak jelas baginya.
Marjiam mendengarkan dengan terpesona, tetapi dia tampak mengantuk. Maria Alfeus memperhatikannya dan berkata, "Bocah ini lelah. Ayo sayang, mari kita pergi tidur. Ayo, Eliza, ayo Salome. Orang-orang tua dan anak-anak sebaiknya tidur. Dan kamu semua sebaiknya pergi tidur juga. Kamu lelah."
Namun, selain mereka yang tua, terkecuali Marcella dan Yohana Khuza, tidak ada yang beranjak.
Sesudah mereka pergi, setelah diberkati, Matius berbisik, "Siapa yang beberapa waktu yang lalu akan memberitahu para perempuan ini bahwa mereka harus tidur di ranjang jerami, begitu jauh dari rumah!"
"Aku belum pernah tidur sangat nyenyak," kata Maria Magdala dengan tegas. Dan Marta meneguhkan pernyataan saudarinya.
Tetapi Petrus mengakui bahwa temannya itu benar, "Matius benar. Dan aku bertanya-tanya mengapa Guru membawamu ke sini, sesuatu yang tidak aku mengerti."
"Karena kita adalah murid-murid-Nya!"
"Baiklah, jika Dia pergi ke tempat... singa berada, maukah kau pergi?"
"Tentu saja, Simon Petrus! Apa susahnya pergi berjalan-jalan sedikit! Dan bersama Dia!"
"Ya, sebenarnya ini suatu perjalanan yang panjang. Dan teristimewa untuk para perempuan yang tidak terbiasa dengan itu..."
Tetapi para perempuan protes dan Petrus mengangkat bahu dan diam.
Yakobus Alfeus, saat mendongak, melihat seulas senyum cerah di wajah Yesus, sehingga dia bertanya kepada-Nya, "Maukah Engkau mengatakan kepada kami, secara pribadi, tujuan sebenarnya dari perjalanan ini, bersama para perempuan... dan dengan begitu sedikit buah-buahan, bila dibandingkan dengan keletihannya?"
"Bisakah kau berharap untuk melihat sekarang buah-buahan dari benih yang masih terkubur di ladang-ladang yang telah kita lalui?"
"Tidak bisa. Aku akan melihatnya di musim semi."
"Aku juga berkata kepadamu, 'Kau akan melihatnya pada waktunya.'"
Para rasul tidak menjawab.
Suara merdu Maria terdengar, "Nak, hari ini tadi kami membicarakan apa yang Engkau katakan di Ramot. Dan tiap-tiap kami punya kesan dan refleksi yang berbeda. Maukah Engkau memberitahukan pemikiran-Mu kepada kami? Tadi Aku katakan bahwa lebih baik untuk segera menanyakannya kepada-Mu. Tetapi Engkau sedang berbicara kepada Yohanes En-Dor."
"Sesungguhnya aku yang mengajukan pertanyaan. Karena aku seorang kafir yang malang dan aku tidak punya terang menakjubkan dari imanmu. Engkau harus bersimpati kepadaku."
"Aku ingin punya jiwa sepertimu, saudariku terkasih!" kata Magdalena impulsif. Dan sebab dia bersemangat, dia memeluk Sintikhe dengan mendekapkannya pada dirinya dengan satu tangan. Kecantikannya yang mempesona tampaknya memberikan terang pada hunian yang menyedihkan itu dan menghiasinya dengan kekayaan dari rumah mewahnya. Si perempuan Yunani, yang sama sekali berbeda namun punya kepribadian yang menakjubkan sementara dipeluk oleh Magdalena, menambahkan suatu catatan meditatif pada seruan kasih yang tampaknya selalu meledak-ledak dari Maria yang penuh gairah, sementara Perawan Terberkati, duduk dengan wajah lembut-Nya terangkat terarah pada PutraNya, tangan-Nya terkatup seolah Dia sedang berdoa, profil-Nya yang termurni tampak mencolok di depan dinding hitam, adalah Sang Penyembah abadi.
Susanna tertidur dalam bayangan suatu sudut, sementara Marta, yang tetap aktif kendati letih dan tekanan dari yang lain, memanfaatkan cahaya perapian untuk mengikatkan beberapa gesper pada pakaian Marjiam.
Yesus berkata kepada Sintikhe, "Tetapi itu bukanlah pemikiran yang menyedihkan. Aku mendengarmu tertawa."
"Ya, karena si bocah, yang dengan mudahnya menjawab pertanyaan itu, dengan mengatakan, "Aku tidak mau kembali kecuali Yesus kembali. Tetapi jika kau mau tahu segalanya, pergilah ke dunia lainnya, kemudian kembalilah dan beritahu kami apa pun yang kau ingat."
Mereka semua tertawa lagi dan mengatakan bahwa Sintikhe meminta Maria suatu klarifikasi dari penjelasan, yang tidak dimengertinya dengan baik, mengenai ingatan yang dimiliki jiwa-jiwa dan yang menjelaskan suatu kemungkinan tertentu bagi orang-orang yang tidak mengenal Allah untuk memiliki ingatan samar akan Kebenaran.
"Aku mengatakan, 'Apakah itu mungkin meneguhkan teori reinkarnasi yang dipercaya banyak orang yang tidak mengenal Allah?' dan BundaMu mengatakan kepadaku bahwa apa yang Engkau katakan adalah sesuatu yang sama sekali berbeda. Maukah Engkau menjelaskan hal ini juga kepadaku, Tuhan-ku?"
"Dengar. Jangan kau percaya bahwa kenyataan jiwa-jiwa punya ingatan spontan akan Kebenaran membuktikan bahwa kita menjalani beberapa kehidupan. Sekarang kau sudah cukup belajar untuk tahu bagaimana manusia diciptakan, bagaimana dia berdosa dan dihukum. Juga telah diberitahukan kepadamu bahwa Allah menanamkan satu jiwa dalam tiap manusia. Jiwa diciptakan dari waktu ke waktu dan tidak pernah kembali digunakan untuk inkarnasi berikutnya. Kepastian ini akan seolah membatalkan pernyataan-Ku tentang ingatan jiwa-jiwa. Kepastian ini membatalkannya sehubungan dengan makhluk hidup lain terkecuali manusia, yang dikaruniai jiwa yang diciptakan oleh Allah. Binatang tidak bisa ingat apa pun, karena mereka dilahirkan sekali saja. Tetapi manusia bisa ingat, meski dia dilahirkan hanya sekali saja. Dia ingat dengan bagiannya yang lebih baik: jiwanya. Darimana jiwa berasal? Jiwa tiap manusia? Dari Allah. Siapakah Allah? Roh yang paling inteligen, penuh kuasa, dan sempurna. Hal luar biasa ini yang adalah jiwa, sesuatu yang diciptakan oleh Allah untuk memberikan kepada manusia gambaran dan citra-Nya sebagai suatu tanda yang tidak bisa disangkal dari Kebapaan-Nya Yang Mahakudus, memperlihatkan tanda-tanda karakteristik kualitas dari Dia Yang menciptakannya. Yang oleh karenanya adalah inteligen, rohani, bebas, abadi, seperti Bapa Yang menciptakannya. Jiwa sempurna ketika berasal dari pemikiran ilahi dan dalam sekejap dari penciptaannya adalah identik, untuk seperseribu kejap, dengan jiwa manusia pertama: suatu kesempurnaan yang memahami Kebenaran melalui karunia cuma-cuma. Seperseribu kejap. Kemudian, begitu terbentuk, jiwa tercemar oleh dosa asal. Guna memperjelasnya bagimu, akan Aku katakan bahwa adalah seolah Allah mengandung jiwa yang diciptakan-Nya dan makhluk itu, saat dilahirkan, terluka oleh suatu tanda yang tak terhapuskan. Apa kau memahami Aku?"
"Ya. Sementara jiwa adalah pikiran, jiwa sempurna. Pikiran yang menciptakan berlangsung seperseribu kejap. Pikiran lalu menjadi fakta aktual dan fakta itu tunduk pada hukum yang diakibatkan oleh Dosa."
"Jawabanmu tepat. Demikianlah suatu jiwa berinkarnasi dalam suatu tubuh manusia, dengan membawa sertanya ingatan akan Sang Pencipta, yakni Kebenaran, sebagai suatu permata rahasia dalam misteri keberadaan rohaninya. Seorang bayi dilahirkan. Dia bisa menjadi baik, sangat baik atau jahat. Dia bisa menjadi apa pun karena dianugerahi kehendak bebas. Pelayanan malaikat melemparkan terang pada 'ingatan'-nya sementara si penggoda melemparkan kegelapan. Jika manusia merindukan terang dan dengan demikian untuk keutamaan yang lebih dan lebih lagi, menjadikan jiwanya tuan atas keberadaannya, daya ingatnya bertambah dalam jiwa, seolah keutamaan membuat tembok pemisah antara jiwa dan Allah semakin tipis. Itulah sebabnya mengapa orang-orang saleh di setiap negeri merasakan Kebenaran, bukan dengan cara yang sempurna, karena mereka ditumpulkan oleh doktrin-doktrin yang bertentangan atau dengan ketidaktahuan yang mematikan, tetapi dalam suatu cara yang memadai untuk memberikan halaman-halaman kesempurnaan moral kepada orang-orang yang memilikinya. Apa kau mengerti? Apa kau sudah diyakinkan?"
"Ya. Sebagai kesimpulan, agama keutamaan yang diamalkan secara gagah berani mencondongkan jiwa kepada Agama yang benar dan kepada pengetahuan tentang Allah."
"Tepat. Dan sekarang pergi dan beristirahatlah dan kiranya kau diberkati. Dan Engkau juga, Bunda, dan kamu para saudari dan para murid. Kiranya kamu beristirahat dalam damai Allah."
|
|