271. BERBICARA KEPADA SEORANG AHLI TAURAT DI TEPI SUNGAI YORDAN.
6 September 1945
Ketika Yesus menginjakkan kaki di tepi kanan Sungai Yordan, satu mil, mungkin lebih, dari semenanjung kecil Tarichea, di mana tak ada yang lain selain dari negeri asri nan indah, sebab tanah, yang sekarang kering, namun lembab di kedalamannya, memelihara juga tumbuh-tumbuhan yang paling rentan untuk tetap hidup, Ia mendapati suatu himpunan besar khalayak ramai yang menantikan-Nya.
Kedua sepupu-Nya datang menemui-Nya bersama Simon Zelot: "Guru, perahu-perahu sudah membocorkan rahasia kita… Mungkin Menahem juga merupakan salah satu petunjuk…"
"Guru," kata Menahem meminta maaf. "Aku berangkat pada waktu malam supaya tak ada seorang pun yang dapat melihatku dan aku tidak berbicara kepada siapa pun. Percayalah padaku. Banyak mereka yang bertanya padaku di mana Engkau. Dan jawabku kepada semua orang adalah: 'Ia pergi.' Tapi aku pikir masalahnya datang dari seorang nelayan yang mengatakan bahwa dia sudah memberikan perahunya kepada-Mu…"
"Itu ketololan saudara iparku!" gelegar Petrus. "Dan aku sudah katakan padanya untuk tutup mulut! Dan aku juga katakan padanya bahwa kita akan pergi ke Betsaida! Dan aku katakan jika dia mengatakan sepatah kata saja, aku akan mencabut jenggotnya! Dan aku akan melakukannya! Ya, sungguh. Dan apakah yang akan kita lakukan sekarang? Ini akhir dari damai, khalwat dan istirahat kita!"
"Jadilah baik, Simon, jadilah baik. Kita sudah menikmati hari-hari damai kita. Bagaimanapun Aku sudah meraih bagian dari apa yang menjadi tujuan-Ku: mengajarimu, menghibur dan menenangkanmu guna menghindari perselisihan dan pertengkaran antara kamudan kaum Farisi Kapernaum. Sekarang marilah kita pergi kepada orang-orang itu yang menantikan kita, dan mengganjari iman dan kasih mereka. Bukankah kasih mereka merupakan suatu kelegaan juga? Kebencian menyedihkan kita. Tapi ada kasih di sini, jadi ini adalah sukacita."
Petrus tenang bagai angin yang sekonyong-konyong mereda. Dan Yesus pergi menuju himpunan orang-orang sakit, yang menantikan-Nya dengan sangat antusias, hingga kerinduan mereka seolah tergambar pada wajah mereka, dan Ia menyembuhkan mereka, satu demi satu, dengan lemah lembut, dengan sabar. Ia pergi juga ke seorang ahli Taurat yang memperlihatkan putra kecilnya yang sakit kepada-Nya.
Dan adalah ahli Taurat itu yang berkata kepada-Nya: "Lihat? Engkau melarikan diri. Tapi sia-sia saja. Kebencian dan kasih lihai dalam menemukan. Dalam kasus ini, kasih yang sudah menemukan-Mu, seperti tertulis dalam Kidung Agung. Engkau adalah seperti Kekasih dari Kidung. Dan mereka datang kepada-Mu sebagai gadis Sulam yang pergi menjumpai mempelai laki-lakinya, dengan menghadapi peronda-peronda dan kereta orang bangsawan."
"Mengapa kau berkata begitu?"
"Sebab memang benar. Adalah berbahaya datang sebab Engkau dibenci. Tidak tahukah Engkau bahwa Roma mengamati-Mu dan Bait Allah membenci-Mu?"
"Mengapa kau mencobai Aku, sobat? Perkataanmu licik, untuk menyampaikan kembali jawaban-Ku kepada Roma dan kepada Bait Allah. Aku tidak menyembuhkan putramu dengan muslihat…"
Si ahli Taurat, yang dicela dengan begitu lemah lembut, menundukkan kepalanya dengan bingung dan mengaku: "Aku melihat bahwa Engkau sungguh dapat membaca hati orang. Ampuni aku. Aku sekarang melihat bahwa Engkau sungguh kudus. Ampuni aku. Ya, benar, aku datang dan ragi yang ditempatkan mereka yang lain ke dalam hatiku masih meragi dalam diriku…"
"Dan mendapatkan dalam dirimu panas yang dibutuhkan untuk meragi."
"Ya, itu benar… Tetapi sekarang aku akan pergi tanpa ragi yang demikian. Yakni, dengan suatu ragi yang baru."
"Aku tahu. Aku tidak menyimpan dendam. Banyak yang bersalah melalui kehendak mereka sendiri, banyak yang melalui kehendak orang-orang lain. Allah, Yang adalah adil akan menghakiminya dengan ukuran-ukuran yang berbeda. Ahli Taurat, jadilah benar dan jangan lagi rusak di masa mendatang seperti kau tadinya rusak. Ketika tekanan dunia mendesakmu, tataplah kasih karunia yang hidup, yang adalah putramu, yang sudah diselamatkan dari maut, dan bersyukurlah kepada Allah."
"Kepada-Mu."
"Kepada Allah. Segala kemuliaan dan pujian bagi-Nya. Aku adalah MesiasNya dan Aku adalah yang pertama memuji dan memuliakan-Nya. Dan yang pertama menaati-Nya. Sebab manusia tidak merendahkan dirinya dengan menghormati dan melayani Allah dalam kebenaran, tetapi dia merendahkan dirinya dengan melayani dosa."
"Engkau benar. Apakah Engkau selalu berkata demikian? Kepada semua orang?"
"Ya, kepada semua orang. Jika Aku berkata-kata kepada Hanas, atau kepada Gamaliel, atau kepada seorang kusta yang meminta-minta di suatu jalanan desa, perkataannya akan tetap sama sebab itu adalah Kebenaran."
"Jika demikian, berkata-katalah, sebab semua orang di sini memohon sepatah kata atau suatu kasih karunia dari-Mu."
"Akan Aku lakukan. Sehingga tak seorang pun dapat berkata bahwa Aku berat sebelah terhadap mereka yang jujur dalam keyakinan mereka."
"Keyakinan yang tadinya aku miliki sekarang sudah mati. Tetapi itu benar. Ada kejujuran dalam diriku. Tadinya aku percaya bahwa aku melayani Allah dengan menentang-Mu."
"Kau tulus. Dan itulah sebabnya mengapa kau pantas mengerti Allah, Yang tidak pernah dusta. Tetapi keyakinanmu masih belum mati. Aku mengatakannya padamu. Keyakinanmu seperti rumput liar yang dibakar. Mereka seolah kelihatan mati dan sungguh sudah menerima serangan dahsyat yang menguras kekuatan mereka. Akan tetapi, akar-akarnya masih hidup dan tanah memberinya makan. Dan embun mengundangnya untuk memunculkan batang-batang baru, yang akan menghasilkan tunas-tunas baru. Kau harus mengawasi agar itu tidak terjadi, jika tidak, kau akan diserbu sekali lagi oleh rumput liar. Israel susah dibasmi!"
"Jadi, Israel harus mati? Apakah ia tumbuhan yang jahat?"
"Ia harus mati untuk bangkit kembali."
"Suatu reinkarnasi rohani?"
"Suatu evolusi rohani. Tidak ada reinkarnasi apa pun."
"Sebagian orang mempercayainya."
"Mereka keliru."
"Hellenisme telah menyebarkan kepercayaan yang demikian juga di antara kita. Dan orang-orang terpelajar memakannya dan bangga karenanya seolah itu adalah makanan yang paling luhur."
"Suatu kontradiksi yang tidak masuk akal dalam diri mereka yang meneriakkan terkutuklah, ketika satu dari enam ratus tigabelas mitzvot [perintah] diabaikan."
"Itu benar. Tetapi begitulah adanya. Orang suka meniru bahkan apa yang mereka benci."
"Baik, tirulah Aku, dengan mengingat bahwa Engkau membenci-Ku. Dan itu akan lebih baik bagimu."
Si ahli Taurat tak dapat menahan tawa mendengar komentar cerdik Yesus. Orang banyak mendengarkan dengan mulut ternganga dan mereka yang berada lebih jauh meminta mereka yang lebih dekat dengan Yesus dan si ahli Taurat untuk mengulang perkataan mereka.
"Tetapi, secara pasti, bagaimanakah pendapat-Mu mengenai reinkarnasi?"
"Itu suatu kekeliruan. Aku sudah mengatakannya padamu."
"Ada sebagian orang yang mempertahankan bahwa yang hidup berasal dari yang mati dan yang mati dari yang hidup, sebab apa yang ada tidak dapat dibinasakan."
"Sebenarnya, apa yang abadi yang tidak dapat dibinasakan. Tetapi, katakan pada-Ku. Menurutmu, apakah sang Pencipta memiliki batasan-batasan pada Diri-Nya?"
"Tidak, Guru. Berpikir seperti itu akan merupakan suatu pelecehan."
"Kau benar. Jadi, dapatkah orang berpikir bahwa Ia mengijinkan suatu roh untuk bereinkarnasi sebab tidak ada lagi dari begitu banyak roh yang dapat ada?"
"Orang tidak sepatutnya berpikir demikian. Meski begitu, ada sebagian orang yang mempercayainya."
"Dan yang terlebih parah, Israel mempercayainya. Pemikiran tentang ketidakfanaan roh, yang sudah merupakan suatu yang agung, bahkan meski dihubungkan dengan kekeliruan dari suatu evaluasi yang salah seorang kafir mengenai bagaimana ketidakfanaan yang demikian terjadi, seharusnya sempurna dalam diri seorang Israel. Sebaliknya, itu menjadi suatu pemikiran yang kerdil, rendah, keliru dalam diri mereka yang mempercayainya sesuai tesis orang-orang yang tidak mengenal Allah. Itu bukan kemuliaan dari suatu pemikiran, yang membuktikan dirinya pantas mendapatkan pujian dengan mendekati Kebenaran itu sendiri, dan yang karenanya membuktikan sifat komposit manusia, seperti ada dalam diri orang-orang yang tidak mengenal Allah, karena intuisi mereka mengenai suatu kehidupan abadi dari sesuatu yang misterius yang disebut jiwa dan yang membedakan kita dari yang tak berakal budi. Melainkan, itu adalah perendahan pemikiran, yang meski mengenal Kebijaksanaan Ilahi dan Allah Yang Benar, menjadi materialistis bahkan dalam hal yang sangat rohani. Suatu roh berpindah hanya dari sang Pencipta menjadi makhluk dan dari makhluk kepada sang Pencipta, kepada Siapa dia menghadirkan dirinya sesudah kehidupan ini untuk menerima hukuman seumur hidup atau kematian. Itulah kebenaran. Dan ia tinggal selamanya di mana ia dikirim."
"Tidakkah Engkau mengakui Purgatorium?"
"Ya, Aku mengakuinya. Mengapa kau bertanya kepada-Ku?"
"Sebab Engkau katakan: 'Ia tinggal selamanya di mana ia dikirim.' Purgatorium adalah sementara."
"Itulah sebabnya mengapa dalam pikiran-Ku Aku memahaminya sebagai Hidup kekal. Purgatorium sudah merupakan 'hidup.' Teramat sedih, terbelenggu, namun selalu hidup. Sesudah masa tinggal sementara di Purgatorim, roh mencapai Hidup sempurna, tanpa batasan atau belenggu apa pun. Dua hal yang akan tinggal: Surga - Abyss [Jurang yang paling dalam]. Firdaus - Neraka. Dua kategori: yang diberkati - yang dikutuk. Tetapi dari ketiga kerajaan itu yang sekarang ada, tidak ada roh yang akan pernah datang untuk membungkus dirinya dengan daging. Dan itu hingga kebangkitan akhir, yang akan mengakhiri untuk selamanya inkarnasi roh dalam daging, ketidakfanaan dalam kefanaan."
"Bukan yang kekal?"
"Allah adalah kekal. Kekekalan adalah tanpa awal dan tanpa akhir. Dan itu adalah Allah. Ketidakfanaan adalah terus hidup sejak hidup dimulai. Dan itu adalah roh manusia. Itulah perbedaannya."
"Engkau katakan: 'Hidup Kekal.'"
"Ya. Dari saat manusia diciptakan untuk hidup, karena rohnya, melalui Kasih Karunia dan kehendaknya sendiri, dia dapat mencapai Hidup kekal. Bukan kekekalan. Hidup menyiratkan suatu permulaan. Kita tidak mengatakan 'Hidup Allah,' sebab Allah tanpa awal."
"Dan bagaimana dengan Diri-Mu sendiri?"
"Aku akan hidup sebab Aku juga daging dan kepada roh ilahi-Ku Aku mempersatukan jiwa Kristus dalam daging manusia."
"Allah disebut 'Allah Yang Hidup.'"
"Sesungguhnya Allah tidak mengenal kematian. Ia adalah Hidup. Hidup yang tanpa akhir. Bukan Hidup Allah. Hanya Hidup. Hanya itu. Semua itu nuansa, hai ahli Taurat. Tetapi Kebijaksanaan dan Kebenaran membungkus diri mereka dalam nuansa."
"Apakah Engkau berkata-kata demikian kepada orang-orang bukan Yahudi?"
"Tidak. Mereka tidak akan mengerti. Aku menunjukkan Matahari kepada mereka. Tetapi seperti Aku menunjukkannya kepada seorang anak, yang sebelumnya buta dan bodoh, yang secara mukjizat telah pulih penglihatan dan intelegensinya. Dengan demikian: seperti sebuah bintang. Tanpa masuk ke dalam detail dari komposisinya. Tetapi kamu orang-orang Israel tidak buta pun tidak bodoh. Selama berabad-abad jari Allah telah membuka matamu dan menjernihkan benakmu…"
"Itu benar, Guru. Dan meski begitu kami buta dan bodoh."
"Kamu sudah membuat dirimu sendiri demikian. Dan kamu tidak menghendaki mukjizat dari Dia Yang mengasihimu."
"Guru…"
"Itulah kebenarannya, ahli Taurat."
Laki-laki itu menundukkan kepalanya dan diam. Yesus meninggalkannya dan berlalu dan sementara melakukannya, Ia membelai Marjiam dan putra kecil si ahli Taurat, yang sedang bermain dengan bebatuan warna-warni. Ia tidak berkhotbah, melainkan Ia berbicara kepada kelompok ini atau itu. Namun Ia terus berkhotbah sementara Ia mengenyahkan kebimbangan, menjernihkan gagasan, Ia meringkas atau menjabarkan hal-hal yang sudah dikatakan atau konsep yang hanya sebagian diingat oleh seseorang. Dan jam-jam pun berlalu seperti itu…
|
|