269. KABAR PEMBUNUHAN YOHANES PEMBAPTIS.
4 September 1945
Yesus sedang menyembuhkan beberapa orang sakit; hanya Menahem yang bersama-Nya. Mereka berada di rumah di Kapernaum, di kebun sayur-mayur dan buah-buahan yang teduh, di awal pagi. Menahem tidak lagi mengenakan ikat pinggangnya yang mahal ataupun hiasan kepalanya. Jubahnya dikencangkan oleh seutas tali wool dan penutup kepalanya oleh secarik kain tipis. Yesus tanpa penutup kepala, seperti selalu demikian, ketika di rumah.
Sesudah menyembuhkan dan menghibur orang-orang sakit, Yesus menuju ke lantai atas bersama Menahem dan mereka berdua duduk di ambang jendela yang menghadap ke pegunungan, sebab matahari bersinar di sisi lain rumah dan udara sangat panas, meski tidak lagi puncak musim panas.
"Panen anggur akan segera dimulai," kata Menahem.
"Ya. Lalu akan ada hari raya Pondok Daun… dan musim dingin pun akan segera tiba. Kapan kau berpikir hendak pergi?"
"Hm… Aku tidak akan pernah pergi… Tetapi aku memikirkan Pembaptis. Herodes orang lemah. Andai orang tahu bagaimana mempengaruhinya untuk melakukan yang baik, jika dia tidak menjadi baik, maka dia tetap setidaknya… tidak haus darah. Tetapi sedikit saja orang yang menasehatinya dengan bijak. Dan perempuan itu!... Perempuan itu!... Tetapi, aku ingin tinggal di sini sampai para rasul-Mu kembali. Bukan berarti bahwa aku sangat mengandalkan diriku sendiri… tetapi aku masih punya sedikit pengaruh… meski favoritisme yang aku nikmati sebelumnya sudah banyak berkurang sejak mereka tahu bahwa aku sekarang mengikuti jalan Kebaikan. Tapi tak mengapa. Aku ingin punya cukup keberanian untuk dapat meninggalkan segalanya dan mengikuti-Mu sepenuhnya, seperti para murid yang sedang Engkau nantikan. Tetapi akankah aku pernah berhasil? Kami, yang bukan dari kalangan jelata, merasa lebih sulit untuk mengikuti-Mu. Mengapa?"
"Sebab tentakel-tentakel dari kekayaanmu yang malang itu menahanmu."
"Akan tetapi, aku tahu sebagian orang yang tidak benar-benar kaya, tetapi terpelajar atau kurang lebih demikian, dan mereka tidak datang juga."
"Mereka juga punya tentakel-tentakel dari kekayaan malang yang menahan mereka. Orang tidak kaya hanya dalam hal uang. Ada kekayaan pengetahuan. Sedikit yang dapat mengaku bersama Salomo: 'Kesia-siaan belaka. Segala sesuatu adalah sia-sia,' pengakuan yang dilanjutkan dan diperluas tidak terlalu secara materiil melainkan secara mendalam dalam Qoheleth [Ibrani, Pengkhotbah]. Apa kau ingat itu? Ilmu pengetahuan manusia adalah kesia-siaan sebab menambah pengetahuan manusia hanya 'kesedihan dan penderitaan bagi roh dan dia yang memperbanyak pengetahuan, memperbanyak kesedihan yang demikian.' Dengan sungguh-sungguh Aku katakan kepadamu bahwa memanglah demikian. Dan Aku juga katakan padamu bahwa adalah tidak akan demikian jika ilmu pengetahuan manusia ditopang dan dikendalikan oleh kebijaksanaan rohani dan kasih suci kepada Allah. Kesenangan adalah kesia-siaan, sebab tidak berlangsung lama, melainkan segera berlalu sesudah terbakar, meninggalkan abu dan kekosongan. Kekayaan yang ditimbun melalui sarana berbagai industri adalah kesia-siaan bagi manusia yang mati, sebab dia meninggalkannya untuk orang-orang lain dan tidak dapat menolak maut melalui sarana itu. Perempuan adalah kesia-siaan, ketika dia dianggap sebagai betina dan diinginkan seperti demikian. Jadi, kita simpulkan bahwa satu-satunya hal yang bukan kesia-siaan adalah takut suci kepada Allah dan ketaatan pada perintah-perintah-Nya, itulah kebijaksanaan manusia, yang bukan hanya daging, melainkan mempunyai natur kedua: yang rohani. Barang siapa dapat berpikir demikian dan mau, dapat melepaskan diri dari setiap tentakel dari kekayaan yang malang dan bergerak bebas menuju Matahari."
"Aku mau mengingat perkataan itu. Betapa banyak yang sudah Engkau berikan kepadaku sepanjang hari-hari belakangan ini! Sekarang aku dapat kembali ke Istana jelek itu, yang tampak kemilau hanya bagi orang-orang bodoh, dan tampak berkuasa dan bebas, sementara ia adalah kesengsaraan, penjara dan kegelapan, dan aku akan dapat kembali dengan suatu harta yang akan memungkinkanku untuk hidup lebih baik sementara menantikan yang terbaik. Tetapi akan pernahkah aku mencapai yang terbaik itu, yang sepenuhnya adalah milik-Mu?"
"Ya, kau akan mencapainya."
"Kapan? Tahun depan? Kemudian hari? Atau ketika usia lanjut akan menjadikanku bijak?"
"Kau akan mencapainya dalam beberapa jam dengan menjadi dewasa secara rohani dan sempurna dalam kemauan."
Menahem menatap pada-Nya penuh permenungan, dengan rasa ingin tahu… Namun dia tidak mengajukan pertanyaan apa pun lagi.
Ada keheningan. Kemudian Yesus berkata: "Pernahkah kau mendekati Lazarus dari Betania?"
"Tidak, Guru. Aku dapat mengatakan tidak. Apabila kami bertemu dalam beberapa kesempatan, aku tidak dapat mengatakan bahwa itu karena persahabatan. Engkau tahu… Aku bersama Herodes dan Herodes menentangnya… Jadi…"
"Lazarus sekarang akan menemuimu dalam Tuhan, di luar hal-hal yang demikian. Kau harus berusaha untuk mendekatinya, sebagai seorang rekan murid."
"Aku akan melakukannya, jika Engkau menghendakinya…"
Suara-suara gelisah terdengar di kebun. Mereka bertanya dengan cemas: "Guru! Guru! Apakah Ia di sini?"
Suara merdu nyonya rumah menjawab: "Ia di lantai atas. Siapakah kamu? Orang-orang sakit?"
"Bukan. Kami murid-murid Yohanes dan kami ingin bertemu dengan Yesus dari Nazaret."
Yesus melihat ke luar jendela dan berkata: "Damai sertamu… Oh! Itu kamu. Masuklah!"
Mereka adalah ketiga gembala: Yohanes, Matias dan Simeon. "Oh! Guru!" kata mereka mendongak ke atas menunjukkan wajah duka mereka. Bahkan melihat Yesus pun tidak menggembirakan mereka.
Yesus meninggalkan ruangan dan pergi keluar menemui mereka di teras. Menahem mengikuti-Nya. Mereka bertemu di mana tangga menghantar orang ke teras yang bermandikan cahaya matahari.
Ketiga laki-laki itu berlutut mencium lantai. Kemudian Yohanes berbicara atas nama mereka semua: "Terimalah kami sekarang, Tuhan, sebab kami adalah warisan-Mu," dan airmata mengaliri wajah murid itu dan rekan-rekannya.
Yesus dan Menahem melontarkan satu saja seruan: "Yohanes!?"
"Ia sudah dibunuh…"
Perkataan itu terdengar bagai suatu suara menggelegar yang suram, yang membuat senyap setiap suara lainnya di dunia. Kendati diucapkan dengan suara pelan, namun membuat terpaku baik dia yang mengucapkannya dan mereka yang mendengarnya. Dan bumi, begitu mendengarnya dan menjadi ngeri, tampak menjeda setiap suara, bagai periode keheningan mendalam dan ketakbergerakan sama sekali pada hewan-hewan, pada dahan-dahan penuh dedaunan, pada udara. Burung-burung merpati berhenti berdekut, burung-burung blackbird menghentikan nyanyian musikal mereka, paduan suara burung-burung gereja terdiam bisu, dan kerik seekor cicada sekonyong-konyong menjadi hening, seolah organnya terputus tiba-tiba, sementara angin, yang tadinya membelai dedaunan anggur dan pepohonan dengan menggerisikkannya dan menyebabkan pohon-pohon berderak, berhenti sama sekali.
Yesus menjadi pucat seputih kertas sementara mata-Nya membelalak sayu. Ia merentangkan kedua tangan-Nya berkata, dan suara-Nya dalam sebagai upaya membuatnya tidak bergetar: "Damai bagi martir kebenaran dan Perintis Jalan-Ku." Ia melipat tangan-Nya, khusuk dalam doa, berbicara dengan Roh Allah dan roh Pembaptis.
Menahem tidak berani bergerak. Kebalikan dari Yesus, mukanya merah padam menahan amarah. Lalu dia menjadi kaku dan gelora hatinya terungkap melalui gerak mekanis dari tangan kanannya yang meremas tali jubahnya, dan tangan kirinya yang tanpa sadar mencari belatinya… dan Menahem menggelengkan kepalanya mengasihani akal budinya yang lemah, yang tidak ingat bahwa dia sudah mengingkari senjata demi menjadi "murid dari Guru Yang Lemah lembut, dekat dengan Mesias Yang Lemah lembut."
Yesus membuka mulut dan mata-Nya kembali. Wajah-Nya, mata-Nya, suara-Nya sudah kembali ke kemuliaan ilahi yang biasa pada-Nya. Hanya suatu melankolis mendalam yang diperlembut dengan damai melingkupi-Nya. "Mari dan ceritakan pada-Ku. Sebab sejak hari ini kamu akan menjadi milik-Ku." Dan Ia membawa mereka masuk ke dalam ruangan, menutup pintunya dan menutup sebagian tirainya, untuk meneduhkan terang dan mendapatkan atmosfer yang terpusat pada dukacita dan kesyahduan wafat Pembaptis, dan untuk membuat suatu sekat antara kesempurnaan hidup yang begitu rupa dengan dunia yang rusak. "Bicaralah," kata-Nya kepada mereka.
Menahem masih terpaku. Dia dekat kelompok itu, namun tidak mengucapkan sepatah kata pun.
"Hari itu adalah malam pesta… Peristiwanya tak disangka-sangka… Hanya dua jam sebelumnya Herodes berkonsultasi dengan Yohanes dan dengan sangat baik mempersilakannya pergi… Dan baru saja sebelum… pembunuhan, kemartiran, kejahatan, pemuliaan, Herodes mengutus seorang pelayan dengan buah-buahan sejuk dan anggur yang langka untuk sang tahanan. Yohanes membagikan semuanya kepada kami… ia tidak pernah mengubah matiraganya… Hanya kami yang ada di sana, terima kasih kepada Menahem, kami berada di istana sebagai pelayan dapur dan pemelihara kuda. Dan itu merupakan suatu kasih karunia sebab kami dapat selalu melihat Yohanes kami… Yohanes dan aku sedang di dapur, sementara Simeon mengawasi di kandang-kandang guna memastikan bahwa tukang-tukang kuda merawat kuda tunggangan para tamu dengan benar… Istana dipenuhi orang-orang penting, para komandan militer dan orang-orang terhormat dari Galilea. Herodias mengurung diri dalam kamarnya sesudah suatu pertengkaran sengit di pagi harinya dengan Herodes…"
Menahem menyela: "Tapi, kapan si hyena itu datang?"
"Dua hari sebelumnya. Tanpa diduga… dengan mengatakan kepada raja bahwa dia tak dapat hidup jauh darinya dan mangkir pada hari pestanya. Dia selalu ular dan tukang sihir, dia menjadikan raja bahan tertawaan… Tetapi pagi itu, meski Herodes sudah banyak minum anggur dan penuh berahi, Herodes menolak untuk memberikan kepada perempuan itu apa yang dimintanya dengan menangis keras-keras… Tetapi tak seorang pun menyangka bahwa itu adalah nyawa Yohanes!... Herodias tinggal dengan hati mendongkol dalam kamarnya. Dia mengirim balik makanan kerajaan yang dikirim Herodes kepadanya dalam talam-talam yang mahal harganya. Dia menahan hanya satu talam berharga yang penuh buah-buahan, menukar hadiah itu dengan sebuah amphora berisi anggur yang dibubuhi racun untuk Herodes… Dibubuhi racun… Ah! Sifat kegilaannya yang keji sudah cukup untuk meracuni Herodes untuk kejahatan itu! Dari para pelayan yang melayani di meja, kami mengetahui bahwa sesudah tarian dari para mimer, bukan, di tengah pertunjukan itu, Salome bergegas masuk menari di aula perjamuan. Dan para mimer, di hadapan seorang gadis kerajaan, undur diri. Diberitahukan kepada kami bahwa tariannya sempurna. Mesum dan sempurna. Menyenangkan para tamu… Herodes… Oh! mungkin suatu keinginan baru untuk inses merebak dalam hatinya!... Herodes, di akhir tarian, berkata penuh gairah kepada Salome: 'Kau sudah menari dengan sangat baik! Aku bersumpah bahwa kau patut mendapatkan hadiah. Aku bersumpah bahwa aku akan memberikannya padamu. Aku bersumpah bahwa aku akan memberikan apa pun yang akan kau minta dariku. Aku bersumpah untuk itu di hadapan semua orang. Dan perkataan seorang raja adalah setia juga meski tanpa bersumpah. Mintalah apa yang kau inginkan.' Dan Salome, dengan berpura-pura bingung, tak berdosa dan santun, membungkus dirinya dalam kerudungnya dengan gerakan malu-malu sesudah begitu banyak ketaksesonohan, berkata: 'Ijinkan aku, raja yang agung, untuk memikirkannya sejenak. Aku akan undur diri dan aku akan kembali kemudian sebab kasihmu sudah menyentuh hatiku,'… dan dia pergi menemui ibunya. Selma mengatakan padaku bahwa Salome masuk dengan terkekeh, mengatakan: 'Ibu, kau sudah menang! Berikan padaku talamnya.' Dan Herodias dengan suatu seruan kemenangan memerintahkan si budak untuk memberikan kepada gadis itu talam yang sebelumnya dia tahan, dengan berkata: 'Pergilah, dan kembalilah dengan kepala membencikan itu dan aku akan membalutmu dengan mutiara dan emas.' Selma terkejut ngeri dan taat… Salome memasuki kembali aula dengan menari dan pergi merebahkan diri di kaki raja dengan berkata: 'Ini. Di talam ini yang kau kirimkan kepada ibuku sebagai tanda bahwa kau mencintainya dan kau mencintaiku, aku menginginkan kepala Yohanes. Dan aku akan menari lagi, jika itu sangat menyenangkanmu. Aku akan menarikan tari kemenangan. Sebab aku sudah menang! Aku sudah mengalahkanmu, raja! Aku sudah mengalahkan hidup dan aku bahagia!' Itulah apa yang dikatakannya, dan perkataannya diulang bagi kami oleh seorang pembawa cawan yang bersahabat. Dan Herodes merasa malu, terperangkap dalam dua keinginan: untuk menepati janjinya, atau untuk berlaku benar. Tetapi dia tidak dapat berlaku benar, sebab dia seorang yang tidak benar. Dia mengangguk kepada eksekutor yang berdiri di belakang takhta kerajaan, dan eksekutor mengambil talam dari tangan-tangan Salome yang terangkat dan dari aula perjamuan turun ke ruangan bawah. Yohanes dan aku melihatnya melintasi halaman… dan sebentar kemudian kami mendengar seruan Simeon: 'Pembunuh!' dan lalu kami melihat si eksekutor lewat kembali dengan kepala di atas talam… Yohanes, Perintis Jalan-Mu, sudah tewas…"
"Simeon, bisa kau ceritakan pada-Ku bagaimana ia wafat?" tanya Yesus sesudah beberapa saat.
"Ya, ia sedang berdoa… Sebelumnya, ia telah mengatakan padaku: 'Kedua orang utusan akan kembali tak lama lagi, dan mereka yang tidak percaya, akan percaya. Tetapi ingat, andai aku tak lagi hidup ketika mereka kembali, aku, yang di ambang ajal ini, berkata kepadamu: 'Yesus dari Nazaret adalah Mesias yang sejati' supaya kau dapat mengulanginya untuk yang lain-lainnya.' Ia selalu memikirkan-Mu… Si eksekutor masuk. Aku melontarkan suatu seruan. Yohanes mendongak dan melihatnya. Ia bangkit berdiri dan berkata: 'Kau hanya dapat mengambil nyawaku. Tetapi kebenaran yang abadi adalah bahwa tidak sah melakukan yang salah.' Dan ia hendak mengatakan sesuatu kepadaku ketika si eksekutor mengayunkan pedangnya yang berat, sementara Yohanes berdiri dan kepalanya terpenggal dari badannya dalam suatu aliran darah yang memerahkan kulit kambing itu sementara wajahnya yang kurus memucat, tetapi kedua matanya yang terbuka masih hidup dan mendakwa. Kepalanya menggelinding ke kakiku… Aku tersungkur bersamaan dengan tubuhnya, sebab aku pingsan dalam kedukaan hebat… Sesudahnya… Sesudah Herodias merusaknya, kepala itu dilemparkan kepada anjing-anjing. Tetapi kami segera memungutnya dan kami mengikatkannya dalam sehelai kerudung berharga bersama tubuhnya dan pada waktu malam kami menyatukan kembali tubuhnya dan membawanya keluar dari Machaerus. Kami membalsemnya pada saat fajar di sebuah semak acacia dekat sana dengan bantuan murid-murid yang lain… Tetapi kepala itu dirampas kembali dari kami untuk disayat-sayat… Sebab Herodias tidak dapat menghancurkannya dan tidak dapat memaafkannya… Dan para budaknya, sebab takut mati, lebih beringas dari serigala-serigala dalam merebut kepala itu dari kami. Andai kau di sana, Menahem!..."
"Andai aku di sana… Tapi kepala itu adalah kutukan bagi Herodias… Tak suatu pun yang direnggut dari kemuliaan si Perintis Jalan, bahkan meski tubuhnya dimutilasi. Benar begitu, Guru?"
"Itu benar. Bahkan meski anjing-anjing merusakkannya, kemuliaannya tak akan berubah."
"Juga perkataannya tak berubah, Guru. Matanya, meski rusak dengan suatu luka yang parah, masih mengatakan: 'Kau tidak diijinkan.' Tetapi, kami kehilangan dia!" kata Matias.
"Dan sekarang kami adalah murid-murid-Mu, sebab itulah apa yang ia katakan, dan ia mengatakan kepada kami bahwa Engkau sudah tahu."
"Ya, kamu sudah menjadi milik-Ku selama berbulan-bulan. Bagaimana kamu datang?"
"Dengan berjalan kaki; langkah demi langkah. Suatu perjalanan panjang yang menyakitkan, dengan panasnya pasir dan teriknya matahari, yang dijadikan bahkan terlebih menyakitkan oleh dukacita. Kami telah berjalan selama hampir duapuluh hari…"
"Kamu akan beristirahat sekarang."
Menahem bertanya: "Apakah Herodes tidak terkejut atas ketidakhadiranku?"
"Ya, pada awalnya dia tidak senang hati, lalu dia menjadi marah. Tetapi, ketika murkanya mereda, dia berkata: 'Satu hakim berkurang.' Itulah apa yang dikatakan teman kami, si pembawa cawan, kepada kami."
Yesus berkata: "Satu hakim berkurang. Dia punya Allah sebagai hakim dan itu sudah cukup. Marilah kita pergi ke tempat kita tidur. Kamu letih dan bersalut debu. Kamu akan mendapatkan pakaian dan sandal dari rekan-rekanmu. Ambil itu, segarkan dirimu. Apa yang menjadi milik seorang, menjadi milik semua orang. Matias, sebab kau tinggi, kau dapat mengambil salah satu jubah-Ku. Kami akan sediakan nanti. Para rasul-Ku akan datang sebelum malam, sebab ini malam Sabat. Ishak akan datang minggu depan bersama para murid, dan kemudian Benyamin dan Daniel akan datang; Elia, Yusuf dan Lewi akan di sini sesudah hari raya Pondok Daun. Saatnya bagi yang lain-lain untuk menggabungkan diri dengan Keduabelas. Pergi dan beristirahatlah sekarang."
Menahem mengantar mereka masuk dan lalu kembali. Yesus tinggal bersama Menahem. Ia duduk termenung, dan jelas sedih, dengan kepala-Nya diistirahatkan pada satu tangan, siku-Nya bertumpu pada lutut-Nya sebagai penopang. Menahem duduk dekat meja dan tidak bergerak. Dia muram. Wajahnya galau.
Sesudah jangka waktu yang lama, Yesus mengangkat kepala-Nya, menatap padanya dan bertanya: "Dan apa yang akan kau lakukan sekarang?"
"Aku masih belum tahu… Tak ada lagi gunanya tinggal lebih lama di Machaerus. Tetapi aku ingin tinggal di istana untuk mencari tahu… untuk melindungi-Mu seturut apa yang aku pelajari."
"Kau sebaiknya mengikuti Aku tanpa ditunda lagi. Tetapi Aku tidak akan memaksamu. Kau akan ikut, ketika Menahem yang lama sudah dihancurkan sedikit demi sedikit."
"Aku juga ingin mengambil kepala itu dari perempuan itu. Dia tidak layak memilikinya…"
Yesus tersenyum samar dan berkata jujur: "Dan kau masih belum mati terhadap kekayaan manusiawi. Tetapi kau tetap Aku kasihi. Aku tahu bahwa Aku tidak akan kehilangan kau bahkan meski Aku harus menunggu. Aku tahu bagaimana menunggu…"
"Guru, Aku ingin memberi-Mu kemurahan hatiku untuk menghibur-Mu… Sebab Engkau menderita. Aku dapat melihatnya."
"Itu benar. Aku menderita. Sangat menderita!"
"Hanya kerena Yohanes? Aku pikir tidak. Engkau tahu bahwa ia dalam damai."
"Aku tahu bahwa ia dalam damai dan Aku merasakannya dekat dengan-Ku."
"Baik, jadi?"
"Jadi!... Menahem, apakah yang didahului oleh fajar?"
"Terang hari, Guru. Mengapakah Engkau bertanya padaku?"
"Sebab wafat Yohanes mendahului terang hari ketika Aku akan menjadi sang Penebus. Dan bagian manusiawi dalam Diri-Ku gemetar atas pemikiran itu… Menahem, Aku akan naik ke gunung. Kau tinggallah di sini untuk menerima siapa pun yang akan datang dan membantu mereka yang sudah datang. Tinggallah di sini sampai Aku kembali. Lalu… kau akan melakukan apa pun yang kau kehendaki. Selamat tinggal."
Dan Yesus meninggalkan ruangan. Ia pergi perlahan menuruni anak-anak tangga, menyeberangi kebun sayur-mayur dan buah-buahan dan di ujungnya Ia mengambil jalan setapak sepanjang kebun yang semrawut, hutan-hutan kecil zaitun, kebun-kebun apel dan pepohonan ara dan kebun-kebun anggur dan Ia mendaki lereng sebuah bukit kecil di mana Ia menghilang dari pandanganku.
|
|