253. SINTIKHE, BUDAK YUNANI.
15 Agustus 1945
Aku tidak melihat kota Dora. Matahari tengah tenggelam dan para peziarah telah mengarahkan langkah-langkah kaki mereka menuju Kaisarea. Tetapi aku tidak melihat persinggahan di Dora. Mungkin sekedar suatu persinggahan biasa, tanpa suatu yang luar biasa untuk diperhatikan. Lautan tampak seolah terbakar, sebab dalam ketenangannya merefleksikan merahnya langit dengan begitu hebat, merah yang begitu gelap hingga seolah tak nyata. Darah seolah telah dicurahkan di kubah langit. Hari masih panas kendati udara lautan menjadikan panas dapat tertahankan. Mereka berjalan menyusuri lautan sepanjang waktu, guna menghidari panas menyengat tanah yang kering, dan banyak dari antara mereka yang sudah menanggalkan sandal mereka dan menarik pakaian mereka ke atas untuk berkecipak dalam air.
Petrus berkata: "Andai para murid perempuan tidak ada di sini, aku akan bertelanjang dan masuk ke dalam air hingga sebatas leher."
Akan tetapi dia harus keluar bahkan dari tempatnya berada sekarang, sebab Magdalena, yang tadinya di depan bersama para perempuan lainnya, balik kembali dan berkata: "Guru, aku mengenal baik daerah ini. Dapatkah Engkau lihat garis kuning itu di lautan biru di sebelah sana? Sebuah sungai mengalir masuk ke dalam lautan di sana, juga pada musim panas, sebab mengalir sepanjang waktu. Dan orang harus berhati-hati menyeberanginya…"
"Kami sudah menyeberangi begitu banyak. Pastilah itu bukan Nil! Kita akan menyeberangi yang ini juga," kata Petrus.
"Bukan Nil. Tetapi dalam air dan pada tepian-tepiannya ada hewan-hewan air yang berbahaya. Kau tidak dapat menyeberanginya dengan sembrono atau dengan bertelanjang kaki, jika kau tidak ingin terluka."
"Oh! Hewan-hewan apa itu? Lewiatan [= monster laut]?"
"Kau benar, Simon. Sesungguhnya mereka itu adalah buaya. Yang kecil, itu benar, tapi dapat mengoyakmu dalam sekejap."
"Bagaimana mereka dapat berada di sini?"
"Aku pikir mereka dibawa ke sana untuk ritus-ritus keagamaan pada era Fenisia. Dan mereka tinggal di sana; mereka sudah menjadi lebih kecil, tetapi tidak kurang agresifnya, dan dari kuil-kuil sudah beralih ke dalam lumpur sungai. Sekarang mereka adalah kadal-kadal besar, dengan gigi-gigi tajam! Orang-orang Romawi datang kemari untuk berburu dan untuk bersenang-senang dalam berbagai macam cara. Aku pernah datang juga bersama mereka. Semuanya itu berguna untuk… melewatkan waktu. Kulit hewan-hewan itu indah dan dipergunakan untuk berbagai barang. Jadi, ijinkan aku untuk menjadi pemandumu, mengingat pengalamanku."
"Baiklah. Aku ingin melihatnya…" kata Petrus.
"Kita mungkin bisa melihat beberapa, meski semua nyaris binasa, sebab terlalu banyak diburu."
Mereka beranjak dari pantai dan berbalik ke daratan, hingga mereka menemukan suatu jalanan utama, di pertengahan jalan antara bukit-bukit dan lautan dan mereka segera tiba di sebuah jembatan ogival [= berbentuk lengkungan dengan puncak lancip], yang dibangun di atas sebuah sungai kecil, yang palung sungainya cukup lebar, namun airnya yang cuma sedikit mengalir hanya di tengahnya saja. Di mana tidak ada air, ada buluh-buluh dan rumput-rumput bog, yang sekarang nyaris dikering-kerontangkan oleh teriknya musim panas, tetapi pada musim-musim lainnya mungkin bidang-bidang tanah itu membentuk pulau-pulau kecil di air. Tepian-tepian sungai, sebaliknya, diselimuti semak belukar dan pepohonan yang rimbun.
Meski melihat dengan sangat cermat, mereka tidak melihat adanya hewan, dan banyak dari antara mereka yang kecewa. Tetapi ketika mereka dekat ujung jembatan, satu-satunya yang lengkungannya sangat tinggi, supaya tidak dibenamkan air pada masa banjir - merupakan suatu konstruksi yang sangat kokoh yang kemungkinan dibangun oleh bangsa Romawi - Marta menjerit melengking dan lari balik ketakutan. Seekor kadal raksasa, hanya itu, tetapi dengan kepala khas seekor buaya, sedang terbaring melintang di jalanan, berpura-pura tidur.
"Jangan takut!" teriak Magdalena. "Apabila mereka seperti itu, mereka tidak berbahaya. Masalahnya adalah ketika mereka tersembunyi dan kau menginjaknya sebab tidak melihatnya."
Tetapi Marta tetap tinggal hati-hati di belakang. Susana juga ketakutan… Maria Alfeus berhati-hati, tetapi lebih berani dan dengan berjalan dekat putra-putranya dia maju dan melihat. Para rasul tidak takut dan mereka melihat seraya menyampaikan komentar-komentar atas hewan jelek itu, yang berkenan memutar kepalanya perlahan, sehingga mukanya dapat terlihat. Hewan itu lalu bergerak dan tampak hendak menghampiri mereka yang sudah mengganggunya. Suatu jeritan lain dari Marta yang berlari lebih jauh ke belakang, yang diikuti juga oleh Susana dan Maria Klopas. Tetapi Maria Magdalena mengambil sebongkah batu, melemparkannya pada si kadal yang, sebab terkena lemparan pada satu sisi tubuhnya, berlari menuruni palung sungai yang berkerikil dan tenggelam dalam lumpur.
"Majulah kau, perempuan penakut. Hewannya sudah tidak ada lagi di sini," katanya kepada saudarinya. Para perempuan datang bersama-sama.
"Sungguh jelek," komentar Petrus.
"Apa benar, Guru, bahwa dulu orang memberinya makan dengan kurban manusia?" tanya Iskariot.
"Hewan itu dulu dianggap sebagai hewan sakral, yang mewakili dewa, dan sebagaimana kita mempersembahkan kurban kepada Allah kita, demikian juga para penyembah berhala yang malang itu melakukannya dalam bentuk-bentuk dan dengan kesesatan-kesesatan yang menjadi keadaan mereka."
"Tetapi sekarang tidak kan?" tanya Susana
"Aku pikir bahwa itu masih mungkin dilakukan di negeri-negeri penyembah berhala," kata Yohanes dari En-Dor.
"Ya Allah! Tetapi mereka memberikannya dalam keadaan mati, eh?"
"Tidak. Jika mereka memberikannya, mereka memberikannya dalam keadaan hidup. Biasanya anak-anak perempuan atau anak-anak laki-laki. Seturut pilihan penduduk. Setidaknya itulah apa yang aku baca," jawab Yohanes sekali lagi kepada para perempuan yang memandang berkeliling dengan ketakutan.
"Aku akan mati ketakutan jika aku harus pergi mendekati satu dari hewan-hewan itu," kata Marta.
"Ya kah? Tetapi yang ini bukan apa-apa dibandingkan dengan buaya sesungguhnya, yang setidaknya tiga kali panjang dan besarnya."
"Dan juga sangat kelaparan. Yang ini tentunya kenyang dengan ular-ular air atau kelinci-kelinci liar."
"Ampun! Ular-ular air juga! Tuhan-ku, kemanakah Engkau membawa kami pergi?" erang Marta yang sangat ketakutan hingga membuat semua lainnya tertawa.
Ermasteus, yang selalu diam selama itu, berkata: "Jangan takut. Cukup buat suara ribut untuk membuat mereka menyingkir. Aku tahu sebab aku pernah ke Mesir bawah beberapa kali."
Mereka berangkat kembali dengan bertepuk tangan atau memukul-mukul batang-batang pohon. Dan daerah berbahaya itu pun ditinggalkan di belakang mereka.
Marta mendekati Yesus dan kerap dia bertanya kepada-Nya: "Apakah akan ada lagi?"
Yesus menatap padanya, mengelengkan kepala-Nya, namun meyakinkannya: "Dataran Saron tak lain adalah keindahan, dan kita sekarang di sana. Tetapi para murid perempuan sungguh mengejutkan-Ku hari ini. Aku sungguh tidak tahu mengapa kamu begitu ketakutan."
"Aku sendiri tidak tahu. Tetapi semua yang merayap menerorku. Aku seolah merasakan pada tubuhku dinginnya tubuh mereka, yang pastilah dingin dan berlendir. Dan aku heran mengapa mereka harus ada. Apa itu perlu?"
"Kau harus menanyakan itu kepada-Nya Yang menciptakannya. Tapi kau dapat yakin bahwa apabila Ia menciptakannya, berarti itu berguna. Setidaknya guna membuat kegagah-beranian Marta bersinar," kata Yesus, dengan mata bersinar jenaka.
"Oh! Tuhan. Engkau bergurau dan Engkau benar. Tapi aku takut dan aku tidak akan pernah dapat mengendalikan diriku sendiri."
"Kita akan lihat itu… Tapi apa itu yang bergerak-gerak di semak-semak di sebelah sana?" kata Yesus seraya menjulurkan kepala-Nya dan melihat tepat di depan-Nya, pada serumpun semak belukar berduri yang semrawut dan tumbuh-tumbuhan lainnya dengan cabang-cabang panjang yang menjalar ke sebuah tanggul pepohonan ara Indian, yang tumbuh lebih jauh ke belakang.
"Buaya lain, Tuhan?!..." erang Marta, yang sekali lagi merasa diteror.
Gemerisik cabang-cabang bertambah kencang dan kepala seorang perempuan muncul. Dia menatap. Ketika dia melihat begitu banyak orang, dia bimbang apakah sebaiknya melarikan diri ke desa atau undur diri ke liang persembunyian. Pilihan jatuh pada alternatif pertama dan dia melarikan diri dengan menjerit.
"Seorang kusta?" "Seorang perempuan gila?" "Seorang perempuan yang kerasukan?" mereka bertanya bingung.
Perempuan itu balik kembali sebab sebuah kereta Romawi sedang datang dari Kaisarea dan sudah mendekat. Perempuan itu bak seekor tikus dalam perangkap. Dia tidak tahu ke mana harus pergi, sebab Yesus dan rombongan-Nya sudah dekat semak belukar di mana dia tadi bersembunyi, dan dengan demikian dia tidak dapat kembali ke sana, dan dia tidak mau mendekati kereta Romawi… Dalam temaram senja, sebab malam segera tiba sesudah matahari tenggelam jaya, adalah mungkin orang melihat bahwa dia seorang perempuan yang muda dan cantik kendati pakaiannya compang-camping dan rambutnya acak-acakan.
"Perempuan! Kemarilah!" perintah tegas Yesus.
Perempuan itu mengulurkan kedua tangannya memohon: "Jangan sakiti aku!"
"Kemarilah. Siapa kau? Aku tidak akan menyakitimu," dan Ia mengatakannya begitu rupa, dengan begitu lemah lembut hingga Ia dapat membujuknya.
Perempuan itu maju mendekat dengan kepala tertunduk dan dia merebahkan diri ke tanah seraya berkata: "Siapa pun Engkau, kasihanilah aku. Bunuhlah aku, tapi jangan serahkan aku kembali kepada tuanku. Aku seorang budak yang melarikan diri…"
"Siapa tuanmu? Dan darimana asalmu? Kau tentunya bukan seorang Ibrani. Itu jelas terlihat dari cara bicaramu dan dari pakaianmu."
"Aku seorang Yunani. Budak Yunani dari… Oh! kasihanilah aku! Sembunyikanlah aku! Kereta itu hampir tiba…"
Mereka semua membentuk suatu kelompok sekeliling makhluk malang yang melingkar di atas tanah. Pakaiannya yang tercabik-cabik oleh onak duri memperlihatkan pundaknya yang bergalur-galur bekas cambuk dan penuh luka-luka gores. Kereta berlalu tanpa seorang pun dari penumpangnya mempedulikan kelompok yang berdiri dekat pagar tanam-tanaman itu.
"Mereka sudah pergi, berbicaralah sekarang. Kami akan menolongmu jika kami dapat," kata Yesus seraya menempatkan ujung-ujung jemari-Nya pada rambutnya yang kusut.
"Aku Sintikhe, budak Yunani dari seorang bangsawan Romawi dari orang-orang Gubernur Romawi."
"Jadi kau adalah budak Valerian!" seru Maria dari Magdala.
"Ah! Kasihanilah aku! Janganlah melaporkanku padanya," mohon perempuan malang itu.
"Janganlah takut. Aku tidak akan pernah berbicara kepada Valerian lagi," jawab Magdalena. Dan dia memberitahu Yesus: "Dia adalah salah seorang Romawi yang paling kaya dan paling mesum di sini. Dan dia sama keji dan sama mesumnya."
"Mengapa kau melarikan diri?" tanya Yesus.
"Sebab aku punya jiwa. Aku bukan barang… (perempuan itu berbesar hati ketika dia menyadari bahwa dia berhadapan dengan orang-orang yang berbelas-kasihan). Aku bukan barang. Dia membeliku. Itu benar. Tapi dia bisa saja membeli personku untuk mendandani rumahnya, supaya aku dapat mencerahkan waktunya dengan membaca untuknya, supaya aku melayaninya. Tapi tidak yang lain. Jiwaku adalah milikku! Jiwaku tidak bisa dibeli. Tapi dia menginginkan itu juga."
"Bagaimana kau tahu bahwa ada jiwa?"
"Aku bukan seorang yang buta huruf, Tuhan. Aku adalah tawanan perang sejak masa mudaku. Tapi aku bukan seorang yang tidak berpendidikan. Ini adalah tuanku yang ketiga dan seorang raja mesum. Tapi aku ingat perkataan para filsuf kami. Dan aku tahu bahwa kita dijadikan bukan hanya dari daging. Ada sesuatu yang abadi yang ada dalam diri kita. Sesuatu yang tidak punya nama tepat bagi kami. Tetapi baru-baru ini aku mengetahui namanya. Suatu hari ada Orang yang datang dari Kaisarea, Ia mengerjakan mukjizat-mukjizat dan berbicara lebih fasih dari Socrates dan Plato. Mereka banyak memperbincangkan-Nya, di pemandian-pemandian air panas, di triclinia [= pembaringan-pembaringan yang biasa digunakan oleh bangsa Romawi kuno untuk berbaring pada saat makan], atau di peristyle-peristyle elit [= serambi-serambi yang dibentuk oleh barisan kolom-kolom], dengan mencemarkan Nama-Nya yang agung dengan menyebutkannya dalam aula-aula pesta-pora yang cemar. Dan aku, aku seorang yang sudah merasakan bahwa aku punya sesuatu yang abadi yang menjadi milik Allah semata dan tidak dapat dibeli sebagai barang di pasar-pasar budak, diperintahkan oleh tuanku untuk membacakan karya-karya para filsuf guna memperbandingkannya dan menemukan apakah hal tak dikenal ini, yang oleh Orang dari Kaisarea disebut sebagai 'jiwa', ada dijelaskan dalam karya-karya itu. Dia menyuruhku membacanya! Aku yang diinginkannya untuk dijadikan budak dari sensualitasnya! Dengan demikianlah aku mendapati bahwa hal abadi ini adalah jiwa. Dan sementara Valerian dan teman-temannya yang sama sepertinya itu mendengarkan suaraku, dan dengan bersendawa dan dengan menguap dia berusaha untuk mengerti, memperbandingkan dan membahasnya, aku menghubungkan percakapan mereka, dengan mengacu pada perkataan dari Orang Tak Dikenal itu, dengan perkataan dari para filsuf dan aku menyimpannya di sini, dalam hatiku, dan martabatku menjadi semakin kuat dalam menolak kemesumannya…
Suatu sore beberapa hari yang lalu dia menderaku hingga nyaris mati sebab aku menolaknya dengan menggigitnya dengan gigi-gigiku… dan aku melarikan diri keesokan harinya… Aku tinggal di semak belukar itu selama lima hari, dengan memungut buah-buah blackberry dan ara Indian pada waktu malam. Tetapi pada akhirnya aku akan tertangkap. Dia pastilah mencariku. Dia membeliku dengan harga mahal dan hasrat sensualitasnya terhadapku terlalu hebat untuk dapat membiarkanku pergi begitu saja… Kasihanilah aku! Engkau seorang Israel dan Engkau tentunya tahu di mana Ia; aku memohon pada-Mu untuk menghantarkanku kepada Orang Tak Dikenal yang berbicara kepada budak-budak dan berbicara kepada jiwa-jiwa. Mereka katakan bahwa Ia miskin. Aku akan mati kelaparan, tapi aku ingin berada dekat-Nya agar Ia dapat mengajariku dan meninggikanku. Adalah siksaan keji hidup bersama orang-orang keji, bahkan meski orang dapat menanggungnya. Aku ingin sekali lagi memiliki martabat moralku."
"Orang itu, Orang Tak Dikenal, Yang kau cari, ada di hadapanmu."
"Engkau? O Allah tak dikenal dari Acropolis [= bagian berbenteng dari kota Yunani kuno seperti Atena], Salam!" dan dia membungkuk mencium tanah.
"Kau tak dapat tinggal di sini. Tapi Aku akan pergi ke Kaisarea…"
"Janganlah tinggalkan aku, Tuhan!"
"Aku tidak akan meninggalkanmu… Aku pikir…"
"Guru, kereta kami tentunya sudah berada di tempat yang ditentukan, menantikan kami. Suruhlah orang dengan pesan ke sana. Dia akan aman dalam kereta seperti dia aman dalam rumah kami," usul Maria dari Magdala.
"Oh! ya, Tuhan! Biarlah dia bersama kami, di tempat Ismael tua. Kami akan mengajarinya doktrin-Mu. Dia akan direnggut dari kekafiran," mohon Marta.
"Maukah kau ikut bersama kami?" tanya Yesus.
"Bersama siapa pun dari antara teman-teman-Mu, asalkan aku tidak lagi bersama orang itu. Tapi… seorang perempuan di sini mengatakan bahwa dia mengenal Valerian. Apakah dia akan mengkhianatiku? Apakah orang-orang Romawi akan datang ke rumahnya? Tidak…"
"Jangan takut. Orang-orang Romawi tidak datang ke Betania, apalagi orang-orang Romawi macam dia," jawab Magdalena meyakinkannya.
"Simon dan Simon Petrus, pergi dan carilah keretanya. Kami akan menantikanmu di sini. Kita akan pergi ke kota sesudahnya," perintah Yesus.
… Ketika gaduh derap kaki-kaki kuda serta roda-roda dan lampu yang tergantung pada atap kereta memaklumkan kedatangan kereta yang tertutup rapat itu, mereka yang menantikannya bangkit dari tepian sungai, di mana tentunya mereka sudah menyantap santap malam mereka, dan melangkah menuju jalanan. Kereta tersentak berhenti di tepi jalanan yang kasar dan Petrus bersama Simon turun darinya. Mereka segera diikuti oleh seorang perempuan tua yang berlari untuk memeluk Magdalena seraya berkata: "Aku tak hendak menunda barang sedetik pun untuk mengatakan padamu betapa aku begitu bahagia, mengatakan paadmu bahwa ibumu bersukacita bersamaku, mengatakan padamu bahwa sekali lagi kau adalah mawar elok dari rumah kita, seperti kala kau biasa tidur dalam buaian sesudah aku menyusuimu," dan dia tiada henti menciuminya.
Maria menangis dalam pelukannya.
"Perempuan, Aku percayakan perempuan muda ini padamu dan aku memintamu untuk berkurban dengan menanti di sini sepanjang malam. Esok kau akan dapat pergi ke desa pertama di jalanan konsuler dan menunggu di sana. Kami akan datang pukul tiga," kata Yesus kepada si inang.
"Semuanya seperti yang Engkau kehendaki, terberkatilah Engkau! Hanya saja biarkan aku memberikan kepada Maria pakaian-pakaian yang aku bawakan untuknya." Dan dia naik ke dalam kereta bersama Santa Perawan Tersuci, Marta dan Maria. Ketika mereka keluar kembali, Magdalena sudah berpakaian sebagaimana kita akan senantiasa melihatnya di masa mendatang: sehelai gaun sederhana, sehelai kain linen tipis yang lebar sebagai kerudung dan sehelai mantol tanpa hiasan.
"Kau dapat pergi dalam damai, Sintikhe. Kami akan datang juga besok. Selamat tinggal," kata Yesus menyalaminya. Dan Ia menempuh perjalanan kembali menuju Kaisarea…
Bagian kota dekat laut itu dipenuhi orang-orang yang berjalan dalam terang obor-obor atau lentera-lentera yang dibawa oleh para budak; mereka menghirup udara yang datang dari laut, yang adalah kelegaan bagi paru-paru mereka yang letih akibat kepanas-lembaban musim panas. Mereka yang berjalan-jalan itu sebagian besar adalah orang-orang Romawi yang kaya. Orang-orang Yahudi mendekam dalam rumah-rumah mereka dan menikmati udara segar di teras-teras mereka. Bagian kota dekat laut itu bagai sebuah ruang tamu yang sangat panjang pada saat kunjungan. Lewat di sana berarti diamat-amati dengan cermat dalam setiap detailnya. Dan Yesus lewat tepat di sana… menyusuri sepanjang alur jalannya, dengan mengacuhkan mereka yang mengamati-Nya, mengomentari atau mencemoohkan-Nya.
"Guru, Engkau di sini? Pada waktu seperti ini?" tanya Lidia, yang duduk di semacam kursi berlengan, atau pembaringan kecil, yang sudah dibawakan oleh para budak untuknya ke tepi jalan. Dan dia bangkit berdiri.
"Aku datang dari Dora dan Aku terlambat. Aku sedang mencari penginapan."
"Akan aku katakan kepada-Mu: ini rumahku," dan dia menunjuk pada sebuah bangunan indah di belakangnya. "Tetapi aku tidak tahu apakah…"
"Tidak. Terima kasih. Aku tidak dapat menerimanya. Ada banyak orang bersama-Ku dan dua orang sudah pergi mendahului kami untuk memberitahu beberapa orang yang Aku kenal. Aku pikir mereka akan memberi kami tumpangan."
Mata Lidia terarah juga pada para perempuan dan para murid yang ditunjukkan oleh Yesus, dan dia segera mengenali Magdalena.
"Maria? Kaukah itu? Jadi, itu benar?"
Mata Maria bagai mata seekor rusa yang terkepung: dia tersiksa. Dan dia tidak salah sebab Lidia bukan satu-satunya orang yang harus ia hadapi, sebab lebih banyak lagi orang yang menatapnya… Tetapi ia menatap juga pada Yesus dan mengerahkan keberaniannya kembali.
"Itu benar."
"Jadi, kami kehilangan kau!"
"Tidak. Kau telah menemukanku. Setidaknya aku berharap untuk menemukanmu kembali suatu hari kelak, dan dalam suatu persahabatan yang terlebih baik, di jalan yang pada akhirnya telah aku temukan. Tolong katakan kepada mereka semua yang mengenalku. Selamat tinggal, Lidia. Tolong lupakan segala kejahatan yang kau lihat pernah aku lakukan, aku memintamu untuk memaafkanku…"
"Maria! Mengapa kau merendahkan dirimu sendiri? Kita menempuh hidup yang sama, hidup orang-orang kaya yang santai, dan tidak ada…"
"Tidak. Tidak, hidupku lebih buruk. Tapi aku sudah keluar darinya. Dan untuk selamanya."
"Selamat tinggal, Lidia," Tuhan memotong dan Ia mengarahkan langkah-langkah kaki-Nya menuju Yudas sepupu-Nya yang sedang datang menghampiri-Nya bersama Tomas.
Lidia menahan Magdalena untuk beberapa saat. "Katakan yang sebenarnya padaku, sekarang sesudah kita sendirian: apakah kau sungguh yakin?"
"Bukan yakin: bahagia menjadi seorang murid. Aku menyesali satu hal saja: bahwa aku tidak bertemu dengan Terang sebelumnya dan bahwa aku selama ini sudah diberi makan kotoran dan bukannya diberi makanan oleh-Nya. Selamat tinggal, Lidia."
Jawabannya terdengar jelas dalam keheningan yang menyelimuti kedua perempuan itu. Tak seorang pun dari banyak orang yang hadir berbicara apa-apa lagi… Maria berbalik dan bergegas mengejar sang Guru.
Seorang pemuda menghadang jalannya: "Apakah itu tindakan bodohmu yang terakhir?" katanya, dan dia berusaha memeluknya. Karena setengah mabuk, dia tidak berhasil, dan Maria mengelak seraya berseru: "Bukan, itu satu-satunya tindakanku yang bijak." Dia menyusul rekan-rekannya yang sepenuhnya menyelubungi diri dengan kerudung mereka, sebab merasa jijik terlihat oleh orang-orang keji itu.
"Maria," kata Marta cemas, "apakah kau sangat menderita?"
"Tidak, dan Ia benar, aku tidak akan pernah menderita lagi karena itu. Ia benar…"
Mereka semua berbalik ke sebuah jalanan sempit yang gelap dan memasuki sebuah rumah besar, tentunya sebuah hotel, untuk bermalam.
|
|