252. KEBERANGKATAN DARI SICAMINON.
SANTA PERAWAN MARIA DAN KEIBUAN ROHANI.            


14 Agustus 1945

Hari masih malam, suatu malam yang indah dengan bulan yang menyusut, ketika Yesus, para rasul dan para perempuan, Yohanes dari En-Dor dan Ermasteus, dengan diam-diam berpamitan kepada Ishak, satu-satunya yang terjaga, dan mulai berangkat menyusuri pantai. Suara langkah kaki mereka hanyalah keriat-keriut sayup dari kerikil yang terinjak oleh sandal-sandal mereka, dan tak seorang pun berbicara hingga mereka sudah pergi beberapa meter jauhnya dari rumah terakhir. Orang-orang yang sedang tidur di dalamnya, atau yang di rumah-rumah sebelumnya, jelas tidak menyadari keberangkatan diam-diam Tuhan dan rombongan-Nya. Sunyi senyap. Hanya lautan yang berbicara kepada bulan yang hendak tenggelam di barat dan menceritakan kepada pasir di pantai kisah-kisah mengenai kedalamannya dan gelombang-gelombang panjangnya saat pasang naik, yang mulai meninggalkan batas kering yang semakin sempit di pantai.

Kali ini para perempuan berada di depan, bersama Yohanes, Zelot, Yudas Tadeus dan Yakobus Alfeus, yang membantu mereka melewati batu-batu karang kecil yang tersebar di sana sini, yang basah dan juga licin dengan kelembaban malam. Zelot bersama dengan Magdalena, Yohanes bersama Marta, sementara Yakobus Alfeus memberikan perhatian pada ibunya dan Susana, dan Tadeus tak hendak menyerahkan kepada siapa pun kehormatan menyambut dalam tangannya yang kuat ramping - yang seperti tangan Yesus - tangan mungil Maria guna menolong-Nya di tempat-tempat yang sulit. Masing-masing berbicara dengan suara rendah pada rekannya. Mereka semua tampak berharap ikut menghormati saat tidur Dunia.

Zelot berbicara serius dengan Maria dari Magdala dan aku dapat melihat bahwa Simon merentangkan kedua tangannya lebih dari sekali, yang berarti: "demikianlah dan tidak ada suatu pun yang dapat kita lakukan mengenainya" namun aku tak tapat mendengar apa yang sedang mereka percakapkan sebab mereka berada di bagian paling depan dari semuanya.

Yohanes berbicara kepada rekannya hanya sesekali saja, dengan menunjuk pada lautan dan Gunung Karmel, yang sisi baratnya tampak putih dalam cahaya rembulan. Mungkin dia sedang berbicara mengenai jalan yang mereka tempuh kali lalu, dengan menyusuri Gunung Karmel pada sisi lainnya.

Juga Yakobus, yang berada di antara Maria Alfeus dan Susana, sedang berbicara mengenai Gunung Karmel. Dia berkata kepada ibunya: "Yesus telah berjanji padaku untuk mendaki ke atas sana bersamaku saja dan mengatakan sesuatu padaku saja."          

"Apa yang Ia ingin katakan padamu, nak? Akankah kau mengatakannya padaku sesudahnya?"

"Ibu, jika itu adalah suatu rahasia, aku tidak dapat mengatakannya padamu," jawab Yakobus seraya tersenyum dengan senyumnya yang begitu lembut; kemiripannya dengan Yosef, mempelai Santa Perawan, begitu menakjubkan baik sehubungan dengan perawakannya dan bahkan terlebih lagi dengan kelemah-lembutannya yang tenang.

"Tidak ada rahasia bagi seorang ibu."

"Sesungguhnya aku tidak punya rahasia. Tetapi jika Yesus menginginkanku di atas sana, sendirian saja untuk berbicara kepadaku, itu berarti bahwa Ia tidak ingin yang lainnya tahu apa yang hendak Ia katakan kepadaku. Dan kau, ibu, adalah ibuku tersayang, yang begitu aku kasihi, tetapi Yesus melampauimu, begitu juga kehendak-Nya. Bagaimanapun, ketika saatnya tiba, aku akan menanyakan pada-Nya apakah aku boleh mengulang kepadamu perkataan-Nya. Apakah kau senang?"

"Kau akan lupa menanyakannya pada-Nya…"

"Tidak, ibu. Aku tidak pernah melupakanmu, tidak, bahkan kala kau jauh dariku. Setiap kali aku melihat atau mendengar sesuatu yang indah, aku selalu berkata: 'Andai ibu ada di sini!'"

"Sayangku! Berilah aku ciuman, nak." Maria Alfeus tersentuh hatinya. Namun begitu, emosi  tidak mengenyahkan keingintahuan. Setelah terdiam beberapa saat, dia melontarkan suatu serangan baru: "Katamu: kehendak-Nya. Jadi kau tahu bahwa Ia hendak mengatakan apa kehendak-Nya. Ayolah, kau dapat mengatakannya padaku setidaknya itu. Ia mengatakannya kala itu padamu di hadapan semua orang."

"Sesungguhnya kala itu aku sedang sendirian bersama-Nya, di depan yang lain-lain," kata Yakobus sembari tersenyum.

"Tetapi yang lain-lain bisa juga mendengarmu."

"Ia tidak mengatakan banyak kepadaku, ibu. Ia mengingatkanku akan perkataan dan doa Elia di Gunung Karmel: 'Dari semua nabi Allah, hanya aku seorang yang tersisa.' 'Dengarkanlah aku, supaya umat ini dapat mengenal bahwa Engkau adalah Tuhan Allah.'"   

"Dan apakah yang Ia maksudkan?"

"Betapa banyak yang ingin kau ketahui, ibu! Jadi, pergilah kepada Yesus dan Ia akan mengatakannya padamu," jawab Yakobus untuk mengelak dari pertanyaannya.

"Mungkin yang Ia maksudkan adalah bahwa sejak Pembaptis ditangkap, Ia adalah satu-satunya nabi yang tersisa di Israel dan bahwa Allah haruslah melindungi-Nya untuk suatu jangka waktu yang lama, supaya umat dapat diajari," kata Susana.

"H'm! Aku tidak percaya bahwa Yesus minta dilindungi untuk suatu jangka waktu yang lama. Ia tidak meminta suatu pun bagi Diri-Nya sendiri… Ayolah, Yakobus sayang! Katakan pada ibumu."

"Keingintahuan itu adalah salah, ibu; tidak berguna, berbahaya, terkadang menyakitkan. Lakukanlah suatu tindak silih yang manis…"

"Aduh! Apakah yang Ia maksudkan adalah bahwa saudaramu akan dijebloskan ke dalam penjara, dan dibunuh mungkin?!" tanya Maria Alfeus, yang sepenuhnya bersedih hati.

"Yudas bukanlah 'semua nabi', ibu, bahkan meski, sejauh menyangkut kasihmu, tiap-tiap anakmu adalah berarti seluruh dunia…"

"Aku juga memikirkan yang lain-lainnya… sebab kamu pasti akan ada di antara para nabi mendatang. Jadi… jadi kalau hanya kau seorang yang tersisa… Jika hanya kau seorang yang tersisa, itu berarti bahwa yang lain-lainnya, bahwa Yudas-ku… oh!..." Maria Alfeus meninggalkan Yakobus dan Susana, dan dia berlari balik dengan kencang, seolah dia adalah seorang gadis belia, tanpa mempedulikan pertanyaan yang diajukan Tadeus kepadanya.

Dia tiba di kelompok Yesus bagai seorang yang sedang dikejar-kejar. "Yesus-ku… Aku berbicara kepada putraku… mengenai apa yang Engkau katakan kepadanya… mengenai Gunung Karmel… mengenai Elia… mengenai nabi-nabi… Engkau katakan… bahwa Yakobus akan menjadi seorang saja yang tersisa… Dan apakah yang akan terjadi pada Yudas? Dia adalah putraku, Engkau tahu?" dia terengah-engah sebab dukacitanya dan sebab habis berlari kencang.

"Aku tahu, Maria. Dan Aku juga tahu bahwa kau bahagia bahwa dia adalah murid-Ku. Kau lihat bahwa kau memiliki semua hak dari seorang ibu, dan Aku memilikinya sebagai Guru dan Tuhan."

"Itu benar… itu benar… tetapi Yudas adalah bocahku!..." dan Maria, dengan membayangkan masa depan, meledak dalam tangis.

"Oh! betapa dahsyat cucuran airmatamu! Tetapi untuk hati seorang ibu semuanya dimaafkan. Kemarilah, Maria. Janganlah menangis. Aku pernah menghiburmu sebelumnya. Juga dalam kesempatan itu Aku menjanjikanmu bahwa dukacitamu akan mendatangkan rahmat-rahmat yang besar dari Allah, bagimu, bagi Alfeus-mu, bagi putra-putramu…" Yesus telah menempatkan tangan-Nya pada pundak bibi-Nya dan menariknya dekat pada Diri-Nya… Ia berkata kepada mereka yang bersama-Nya: "Majulah…" Ketika Ia sudah sendirian bersama Maria Klopas, Ia kembali berbicara: "Dan aku tidak mengatakan dusta. Alfeus wafat dengan menyerukan nama-Ku. Dengan demikian segala hutangnya kepada Allah dibatalkan. Adalah dukacitamu, Maria, yang memperolehkan pertobatan itu atas sanaknya yang salah dimengertinya, atas Mesias Yang tidak dikenalinya sebelumnya. Dukacitamu yang sekarang akan memperolehkan Simonmu yang ragu dan Yusufmu yang degil untuk meneladani Alfeusmu."

"Ya, tapi… Apakah yang akan Engkau lakukan terhadap Yudas, terhadap Yudas-ku?"

"Aku akan mengasihinya bahkan terlebih lagi dari Aku mengasihinya sekarang."

"Bukan, bukan. Ada suatu ancaman dalam perkataan itu. Oh! Yesus! Oh! Yesus!..."

Santa Perawan Maria balik kembali untuk menghibur saudari ipar-Nya, meski Ia masih belum tahu mengenai apakah dukacitanya, dan ketika Ia mengetahuinya, sebab ketika Maria Alfeus melihat-Nya ada di sampingnya, dia menangis bahkan terlebih lagi dan memberitahukan kepada-Nya, Bunda Maria menjadi lebih pucat dari bulan.

Maria Alfeus mengerang: "Maukah Engkau mengatakan pada-Nya, tidak, tidak, tidak kematian Yudas-ku…"

Bunda Maria, Yang pucat pasi, berkata padanya: "Dan dapatkah Aku meminta itu atas namamu, ketika Aku tidak meminta keselamatan dari kematian bagi PutraKu sendiri? Maria, katakan bersama-Ku: 'Terjadilah kehendak-Mu, Bapa, di Surga, di Bumi dan dalam hati para ibu.' Melakukan kehendak Allah melalui takdir anak-anak kita adalah kemartiran yang menebus dari kita, para ibu… Bagaimanapun… Tak ada seorang pun yang mengatakan bahwa Yudas akan tewas, atau dibunuh sebelum kau meninggal. Betapa akan memberatkan bagimu doamu yang sekarang, supaya dia boleh hidup hingga ke usia yang paling lanjut, ketika kelak dalam Kerajaan Kebenaran dan Kasih, kau akan melihat semuanya dalam terang Allah dan dalam keibuan rohanimu. Aku yakin bahwa kala itu kau, baik sebagai suatu jiwa yang terberkati maupun seorang ibu, akan menginginkan Yudas-mu seperti YesusKu dalam takdir-Nya sebagai Penebus, dan kau akan dipenuhi kerinduan untuk segera mendapatkannya kembali bersamamu, untuk selamanya. Sebab, merupakan suatu siksaan bagi seorang ibu dipisahkan dari anak-anaknya. Suatu siksaan yang sebegitu dahsyat, hingga Aku pikir akan ditanggung juga, sebagai kasih yang begitu dirindukan, di Surga, di mana kita akan diterima."

Tangis Maria, yang begitu nyaring dalam keheningan awal fajar, telah menyebabkan semua orang balik kembali, untuk melihat apa yang terjadi, dan dengan demikian mereka mendengar perkataan Santa Perawan dan semua orang tersentuh hatinya. Maria dari Magdala berbisik dalam tangisnya: "Dan aku memberikan kepada ibuku siksaan itu bahkan di sini di Bumi."

Marta dengan menangis berkata: "Terpisahkan merupakan dukacita baik bagi para ibu maupun anak-anak."

Mata Petrus berkilau oleh airmata dan Zelot berkata pada Bartolomeus: "Perkataan kebijaksanaan yang mengagumkan guna menjelaskan akan seperti apakah keibuan dari suatu jiwa yang terberkati!"

"Dan bagaimana hal-hal akan dipikirkan oleh seorang ibu yang terberkati: dalam terang Allah dan keibuan rohaninya… Membuatmu terkagum-kagum seolah kau sedang menghadapi suatu misteri yang cemerlang," jawab Natanael.

Iskariot berkata pada Andreas: "Keibuan dibebaskan dari segala bebannya dan terbang tinggi… ketika digambarkan secara demikian. Kita seolah tengah melihat ibu kita sudah diransformasikan ke keindahan yang tak terpahami."

"Itu benar. Ibu kita, Yakobus, akan mengasihi kita secara demikian. Dapatkah kau bayangkan betapa akan sempurnanya kasihnya?" kata Yohanes kepada saudaranya dan hanya dia seorang yang tersenyum cemerlang, dia begitu tersentuh secara mendalam atas pemikiran bahwa ibunya akan dapat mengasihi dengan sempurna.

"Maafkan aku, aku sudah menyebabkan dukacita yang begitu hebat," Yakobus meminta maaf. "Tetapi dia memahaminya lebih dari yang aku katakan… Percayalah padaku, Yesus."  

"Aku tahu, Aku tahu. Tetapi Maria mengerjakannya sendiri pada dirinya sendiri, dan itu teristimewa merupakan suatu pukulan yang dahsyat. Tetapi akan membebaskannya dari begitu banyak beban kematian," kata Yesus.

"Ayolah ibu, berhentilah menangis. Aku menyesal bahwa kau harus menderita seperti seorang perempuan malang yang tidak tahu akan kepastian Kerajaan Allah. Kau sama sekali tidak seperti ibu dari para bersaudara yang di Kitab Makabe itu," kata Tadeus mencelanya tajam, namun pada saat yang bersamaan dia memeluk ibunya dan mencium kepalanya yang berambut abu-abu. "Kau seperti seorang gadis kecil yang takut akan bayangan dan akan kisah-kisah yang mereka ceritakan kepadanya untuk menakutinya. Dan padahal kau tahu di mana menemukanku dalam Yesus. Ibu yang malang! Kau sepatutnya menangis jika dikatakan kepadamu bahwa, di masa mendatang, aku akan menjadi seorang pengkhianat bagi Yesus, atau orang yang akan meninggalkan-Nya, atau akan menjadi suatu jiwa yang terkutuk. Dalam hal itu aku akan setuju kau menangis. Sepatutnyalah kau menangis darah. Tetapi, dengan pertolongan Allah aku tidak akan pernah memberimu dukacita yang sebegitu dahsyat, ibu. Aku ingin bersamamu selama-lamanya…"

Pertama-tama celaan, dan lalu belaian yang diberikan menghentikan airmata Maria Alfeus, yang sekarang agak malu akan kelemahannya.

Terang, dalam peralihan dari malam menjadi siang, sudah memudar, sebab bulan sudah tenggelam, namun masih belum pagi. Masih temaram. Tetapi segera sesudahnya terang mulai menyatakan dirinya: pertama-tama kelam, lalu keabu-abuan, lalu kehijauan, sesudahnya keputihan dengan berkas-berkas kebiruan, dan akhirnya terang, bagai perak tak berwujud, dan menjadikan mudah bagi orang untuk berjalan di pantai yang lembab berkerikil, dari mana laut sudah surut, sementara mengkontemplasikan dengan senang lautan yang menjadi biru pucat dan pada tahap mulai berkilau dengan kerlap-kerlip permata. Dan lalu udara membaurkan warna peraknya dengan warna merah muda yang semakin gelap, hingga merah muda keemasan fajar yang menjadi merah muda kemerahan melimpahi lautan, wajah-wajah, negeri, dengan warna-warna kontras yang semakin cemerlang, yang mencapai klimaks sempurnanya, yang aku pikir adalah saat terindah dari hari, ketika matahari melompat keluar dari ufuk timur, melesatkan berkas-berkas pertamanya pada pegunungan dan bukit-bukit, hutan-hutan, padang-padang dan bidang-bidang luas lautan dan langit, dengan menegaskan tiap-tiap warna, entah itu putihnya salju, atau biru indigo dari pegunungan-pegunungan di kejauhan yang berubah menjadi hijau jasper, atau biru kobalt langit yang memudar untuk berbaur dengan merah muda, atau safir yang bergurat jade dan dipinggiri dengan mutiara-mutiara laut. Dan hari ini lautan sungguh merupakan suatu mukjizat keindahan. Tidak mati dalam tenang yang membosankan, tidak beriak-riak oleh angin yang mengamuk, melainkan tampil penuh wibawa dengan melemparkan senyuman gelombang-gelombang kecil tipis, yang sekedar ditandai oleh desir air yang dimahkotai dengan puncak mungil buih.

"Kita akan tiba di Dora sebelum tengah hari. Dan kita akan berangkat saat matahari tenggelam. Saudari-saudari, perjalananmu yang meletihkan akan berakhir esok hari di Kaisarea. Dan kita juga akan beristirahat. Keretamu pasti sudah menunggumu. Kita akan berpisah… Mengapa kau menangis, Maria? Haruskah Aku melihat semua Maria menangis hari ini?" kata Yesus kepada Magdalena.

"Dia sedih berpisah dengan-Mu," kata saudarinya memberikan dalih untuknya.

"Itu tidak berarti bahwa kita tidak akan segera bertemu kembali."

Maria menggelengkan kepalanya. Itu bukanlah alasan mengapa dia menangis.

Zelot menjelaskan: "Dia takut dia tidak akan dapat menjadi baik tanpa berada dekat-Mu. Dia takut akan… akan dicobai dengan begitu hebat, apabila Engkau tidak berada dekatnya untuk menghalau pergi blis. Dia mengatakannya padaku baru beberapa saat yang lalu."

"Jangan takut akan itu. Aku tidak pernah menarik kembali rahmat yang telah Aku anugerahkan. Apa kau ingin berdosa? Tidak? Jadi, jangan khawatir. Berjagalah, tentu saja, tetapi jangan takut."

"Tuhan… aku menangis sebab di Kaisaera… Kaisarea penuh dengan dosa-dosaku. Aku dapat melihat semuanya sekarang… Kodrat manusiawiku akan harus banyak menderita…"

"Aku senang mendengarnya. Semakin banyak kau menderita, semakin baik. Sebab sesudahnya kau tidak akan lagi menderita untuk hal-hal menyakitkan yang tak berguna macam itu. Maria anak Teofilus, Aku ingatkan kau bahwa kau adalah putri dari seorang ayah yang kuat, bahwa kau adalah suatu jiwa yang kuat dan Aku ingin menjadikanmu terlebih kuat. Aku dapat tahan dengan kelemahan-kelemahan dari para murid perempuan lainnya, sebab mereka selalu senantiasa lemah lembut dan malu-malu, termasuk saudarimu. Tetapi aku tidak akan menerimanya dalam kasusmu. Aku akan mengerjakanmu dengan api dan di atas tungku. Sebab karaktermu harus dihadapi dengan cara demikian, agar jangan merusakkan mukjizat dari kehendakmu dan kehendak-Ku. Biarlah itu diketahui olehmu dan oleh semua mereka yang di antara orang-orang yang hadir ini atau yang tidak hadir yang mungkin berpikir bahwa, sebab Aku sudah sangat mengasihimu, Aku dapat menjadi lemah terhadapmu. Aku membiarkanmu menangis demi pertobatan dan demi kasih. Tetapi tidak lebih. Apa itu jelas?" Yesus penuh wibawa dan tegas.

Maria dari Magdala berupaya untuk menahan airmatanya dan terisak-isak dan dia berlutut, mencium kaki Yesus dan dengan berusaha memantapkan suaranya dia berkata: "Ya, Tuhan-ku. Aku akan melakukan apa yang Engkau kehendaki"

"Jadi bangkit dan tenanglah."
                                                                                                                                                                                                                                                                                                           
Injil Sebagaimana Diwahyukan Kepadaku 4                 Daftar Istilah                    Halaman Utama