YESAYA
(YESus SAyang saYA)
Oktober 2010
"Jangan seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu." ~ 1 Timotius 4:12
MANUSIA GAMBAR ALLAH YANG ADALAH CINTA KASIH
dikutip dari: Familiaris Consortio, #11
Allah menciptakan manusia menurut citra-keserupaan-Nya sendiri. Ia memanggil manusia menjadi kenyataan karena cinta kasih-Nya, sekaligus untuk mencintai.
Allah itu Cinta Kasih. Dalam Diri-Nya Ia menghayati misteri persekutuan Cinta Kasih antar Pribadi. Seraya menciptakan umat manusia menurut gambar-Nya sendiri dan tiada hentinya melestarikan keberadaannya, Allah menggoreskan dalam kodrat manusiawi pria maupun wanita suatu panggilan, dan karena itu juga kemampuan serta tanggung jawab untuk mengasihi dan hidup dalam persekutuan. Oleh karena itu cinta kasih merupakan panggilan yang sangat mendasar bagi setiap manusia, dan sudah tertera dalam kodratnya.
Sebagai roh yang meraga, artinya: jiwa yang mengungkapkan diri dalam badan, dan badan yang dijiwai oleh roh yang tak kunjung binasa, manusia dipanggil untuk mencintai dengan keseluruhan dirinya yang menyatu. Cinta kasih mencakup badan manusiawi, dan badan berperan serta dalam kasih yang rohani.
Perwahyuan Kristen mengakui adanya dua cara yang khas dalam mewujudkan panggilan manusia secara keseluruhan untuk mencintai, yakni: perkawinan dan keperawanan atau selibat. Keduanya menurut pola masing-masing merupakan perwujudan nyata kebenaran yang terdalam tentang manusia, yakni bahwa ia “diciptakan menurut gambar Allah”.
Oleh karena itu seksualitas, yang bagi pria maupun wanita merupakan upaya untuk saling menyerahkan diri melalui tindakan yang khas dan eksklusif bagi suami isteri, sama sekali tidak melulu bersifat biologis, melainkan menyangkut kenyataan pribadi manusiawi yang paling inti. Seksualitas hanya diwujudkan secara sungguh manusiawi, bila merupakan suatu unsur integral dalam cinta kasih, yakni bila pria dan wanita saling menyerahkan diri sepenuhnya seumur hidup. Penyerahan diri fisik seutuhnya akan menjadi suatu kebohongan semata-mata, bila tidak merupakan lambang serta buah penyerahan pribadi secara total, yang ditandai kehadiran pribadi seutuhnya, termasuk dimensi sementaranya. Seandainya pribadi tidak mau melepaskan sesuatu, atau tetap mempertahankan kemungkinan untuk mengambil keputusan lain di masa mendatang, maka karena kenyatan itu sendiri ia tidak akan menyerahkan diri sepenuhnya.
Sifat menyeluruh, yang termasuk syarat cinta kasih suami isteri, selaras juga dengan tuntutan kesuburan yang bertanggung jawab. Kesuburan itu tertujukan kepada lahirnya manusia. Maka pada hakekatnya mengatasi tata-biologis semata-mata dan menyangkut seluruh rangkaian nilai-nilai pribadi. Bagi pertumbuhan harmonis nilai-nilai itu dibutuhkan sumbangan kedua orangtua secara berkelanjutan dan terpadu.
Satu-satunya “lingkungan”, yang memungkinkan penyerahan diri dalam arti yang sepenuhnya itu, ialah perkawinan, yakni perjanjian cinta kasih antara suami isteri yang dipilih secara bebas dan sadar. Di situ pria dan wanita menerima perpaduan mesra kehidupan dan cinta kasih seperti dikehendaki oleh Allah Sendiri, yang hanya dalam perspektif itu mengungkapkan maknanya yang sejati. Lembaga perkawinan bukan berarti campur tangan tidak wajar dari pihak masyarakat atau penguasa, atau “pemaksaan” bentuk tertentu dari luar, melainkan suatu tuntutan intrinsik perjanjian cinta kasih suami isteri, yang secara resmi dinyatakan sebagai unik dan eksklusif, untuk hidup dalam kesetiaan sepenuhnya terhadap Rencana Allah Pencipta. Kebebasan manusia sungguh tidak dibatasi oleh kesetiaan itu, melainkan justru dilindungi terhadap setiap bentuk subyektivisme atau relativisme, dan diikutsertakan dalam Kebijaksanaan sang Pencipta.
|
“Persekutuan hidup dan kasih suami isteri yang mesra, yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-hukumnya, dibangun oleh janji perkawinan atau persetujuan pribadi yang tak dapat ditarik kembali… Allah Sendiri-lah pencipta perkawinan.”
~ (Gaudium et Spes, #8)
|
PERSATUAN LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN GAMBAR PERSATUAN KRISTUS DAN GEREJA
dikutip dari: Homili Paus Benediktus XVI, Audiensi Umum 14 Januari 2009
Dalam Surat Kedua kepada Jemaat di Korintus, Rasul Paulus membandingkan komunitas Kristen dengan seorang mempelai perempuan. Ia menulis: “Aku cemburu kepada kamu dengan cemburu ilahi. Karena aku telah mempertunangkan kamu kepada satu laki-laki untuk membawa kamu sebagai perawan suci kepada Kristus” (11:2). Surat kepada Efesus juga mengembangkan gambaran ini, menjelaskan bahwa Gereja bukan hanya seorang mempelai perempuan yang telah dipertunangkan, melainkan mempelai perempuan sesungguhnya milik Kristus. Kristus telah memenangkannya, demikian dapat dikatakan, dan telah melakukannya dengan harga nyawa-Nya Sendiri: sebagaimana dikatakan dalam ayat, “Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan Diri-Nya baginya” (Efesus 5:25). Adakah pernyataan kasih yang terlebih besar dari ini? Tetapi di samping itu, ia peduli akan kecantikannya: bukan hanya kecantikan yang telah diperoleh melalui Pembaptisan, melainkan juga kecantikan yang “tanpa cacat atau kerut” yang dicapai dengan suatu kehidupan yang tiada cela yang harus bertumbuh dalam perilaku moralnya setiap hari (bdk Efesus 5:26-27).
Sedikit langkah saja dari sini ke pengalaman umum akan perkawinan Kristiani; sungguh, bahkan tidak terlalu jelas apa point utama Surat bagi penulisnya: entah apakah hubungan Kristus-Gereja, yang dalam terangnya persatuan laki-laki dan perempuan hendaknya dilihat, atau apakah peristiwa persatuan laki-laki dan perempuan, yang dalam terangnya hubungan antara Kristus dan Gereja hendaknya dilihat. Tetapi kedua aspek saling menerangi satu sama lain: kita mengerti apa itu perkawinan dalam terang persatuan Kristus dan Gereja, kita mengerti bagaimana Kristus dipersatukan dengan kita dalam permenungan akan misteri perkawinan. Apapun itu, Surat kita menghadirkan diri nyaris sebagai suatu jalan tengah antara Nabi Hosea, yang mengungkapkan hubungan antara Allah dan umat-Nya dengan perkawinan yang telah terjadi (bdk Hosea 2:4,15,19), dan Penglihat Apokalipse, yang menyajikan perjumpaan eskatologis antara Gereja dan Anak Domba sebagai suatu perkawinan yang penuh sukacita dan tak bercela (bdk Wahyu 19:7-9; 21:9).
|
“Para nabi membandingkan kepedulian Allah terhadap umat dengan gambaran perkawinan. Yahwe Tuhan, pengantin pria, bersumpah setia kepada umat sebagai mempelai wanita. Sekalipun umat Israel berkali-kali menyeleweng, namun Tuhan tetap setia. Kesetiaan Tuhan itu ditunjukkan sebagai asal-muasal kesetiaan antara suami isteri dan kesetiaan orang selibat terhadap Tuhan.”
~ Pengantar, Jumat Biasa XIX, Tahun 2
|
MEREKA YANG BERCERAI DAN MENIKAH LAGI
dikutip dari: Familiaris Consortio, #84
Patut disayangkan, bahwa menurut pengalaman sehari-hari mereka yang telah bercerai lazimnya bermaksud memasuki suatu persatuan baru, yang sudah jelas tanpa upacara keagamaan Katolik. … Bersama dengan Sinode, kami dengan sungguh-sungguh meminta para gembala dan segenap jemaat beriman untuk membantu mereka yang sudah bercerai, dan berusaha sebaik mungkin, supaya mereka itu jangan menganggap diri seolah-olah sudah terpisah dari Gereja, sebab sebagai orang yang dibaptis mereka dapat dan memang wajib ikut menghayati hidup Gereja. Hendaklah mereka didorong untuk mendengarkan Sabda Allah, menghadiri Kurban Ekaristi, bertabah dalam doa, menyumbang kepada karya-karya cinta kasih dan kepada usaha-usaha jemaat demi keadilan, membina anak-anak mereka dalam iman Kristen, mengembangkan semangat serta praktek ulah tapa, dan dengan demikian dari hari ke hari memohon rahmat Allah. Hendaklah Gereja mendoakan mereka, mendorong mereka, dan menunjukkan diri sebagai ibu yang penuh belas kasihan, serta tetap membantu mereka dalam iman maupun harapan.
Akan tetapi Gereja menegaskan lagi prakteknya yang berdasarkan Kitab Suci, untuk tidak mengijinkan mereka yang bercerai, kemudian menikah lagi, menyambut Ekaristi Kudus. Mereka tidak dapat diijinkan, karena status dan kondisi hidup mereka berlawanan dengan persatuan cinta kasih antara Kristus dan Gereja, yang dilambangkan oleh Ekaristi dan merupakan buahnya. Selain itu masih ada alasan pastoral khusus lainnya. Seandainya mereka itu diperbolehkan menyambut Ekaristi, umat beriman akan terbawa dalam keadaan sesat dan bingung mengenai ajaran Gereja, bahwa pernikahan tidak dapat diceraikan.
Pendamaian melalui Sakramen Tobat, yang membuka pintu kepada Ekatisti, hanya dapat diberikan kepada mereka, yang menyesalkan bahwa mereka telah menyalahi lambang Perjanjian dan kesetian terhadap Kristus, dan setulus hati besedia menempuh jalan hidup yang tidak bertentangan lagi dengan tidak terceraikannya pernikahan. Dalam prakteknya itu berarti, bahwa bila karena alasan-alasan serius, misalnya pendidikan anak-anak, pria dan wanita tidak dapat memenuhi kewajiban untuk berpisah, mereka “sanggup menerima kewajiban untuk hidup dalam pengendalian diri sepenuhnya, artinya dengan berpantang dari tindakan-tindakan yang khas bagi suami isteri.” …
Dengan bertindak begitu Gereja menyatakan kesetiannya sendiri terhadap Kristus serta kebenaran-Nya. Sekaligus Gereja menunjukkan keprihatinan keibuannya terhadap putera-puterinya, khususnya mereka, yang tanpa kesalahan mereka telah ditinggalkan oleh pasasangan mereka yang sah.
Dengan kepercayaan penuh Gereja mengimani, bahwa mereka yang telah menolak perintah Tuhan, dan masih hidup dalam keadaan itu, masih akan mampu menerima dari Allah rahmat pertobatan dan keselamatan, asal mereka bertabah dalam doa, ulah tapa dan amal kasih.
|
“Kami percaya bahwa hanya dalam suatu hubungan perkawinan heteroseksual suatu tindakan seksual badani dapat diterima secara moral. Hanya dalam perkawinan, hubungan seksual badani sepenuhnya menandakan tujuan ganda sang Pencipta, sebagai suatu tindakan dari perjanjian kasih, dengan kemungkinan menjadi rekan kerja Allah dalam penciptaan suatu kehidupan manusia yang baru. Oleh karena itu, tindakan seksual badani kaum homoseksual dipandang amoral. Seperti kaum heteroseksual, para laki-laki dan perempuan homoseksual dipanggil untuk memberikan kesaksian kemurnian, dan dengan rahmat Allah, menghindarkan diri dari perilaku yang salah bagi mereka, seperti hubungan seksual di luar perkawinan adalah salah bagi para laki-laki dan perempuan heteroseksual.”
~ U.S. Bishops, Human Sexuality, #55
|
KEMURNIAN DAN HOMOSEKSUALITAS
dikutip dari: Katekismus Gereja Katolik, #2357 - 2359
Homoseksualitas adalah hubungan antara para pria atau wanita, yang merasa diri tertarik dalam hubungan seksual, semata-mata atau terutama, kepada orang sejenis kelamin. Homoseksualitas muncul dalam berbagai waktu dan kebudayaan dalam bentuk yang sangat bervariasi. Asal-usul psikisnya masih belum jelas sama sekali. Berdasarkan Kitab Suci yang melukiskannya sebagai penyelewengan besar, tradisi Gereja selalu menjelaskan, bahwa “perbuatan homoseksual itu tidak baik”. Perbuatan itu melawan hukum kodrat, karena kelanjutan kehidupan tidak mungkin terjadi waktu persetubuhan. Perbuatan itu tidak berasal dari satu kebutuhan benar untuk saling melengkapi secara afektif dan seksual. Bagaimanapun perbuatan itu tidak dapat dibenarkan.
Tidak sedikit pria dan wanita mempunyai kecenderungan homoseksual. Mereka sendiri tidak memilih kecenderungan ini; untuk kebanyakan dari mereka homoseksualitas itu merupakan satu percobaan. Mereka harus dilayani dengan hormat, dengan kasih sayang dan dengan bijaksana. Orang jangan memojokkan mereka dengan salah satu cara yang tidak adil. Juga mereka ini dipanggil, supaya memenuhi kehendak Allah dalam kehidupannya dan, kalau mereka itu orang Kristen, supaya mereka mempersatukan kesulitan-kesulitan yang dapat tumbuh dari kecenderungan mereka, dengan kurban salib Tuhan.
Manusia homoseksual dipanggil untuk hidup murni. Melalui kebajikan pengendalian diri, yang mendidik menuju kemerdekaan batin, mereka dapat dan harus - mungkin juga dengan bantuan persahabatan tanpa pamrih - mendekatkan diri melalui doa dan rahmat sakramental setapak demi setapak, tetapi pasti, menuju kesempurnaan Kristen.
|
“Tidak ada ideologi yang dapat menghapus dari jiwa manusia, kepastian bahwa perkawinan ada semata-mata antara seorang laki-laki dan seorang perempuan.”
~ Kongregasi Ajaran Iman, “Pertimbangan-pertimbangan Sehubungan dengan Usul untuk Memberikan Pengakuan Legal kepada Hidup Bersama Orang-orang Homoseksual”
|
BEATO LOUIS DAN BEATA ZÉLIE MARTIN
Pada tanggal 19 Oktober 2008, Hari Minggu Misi Sedunia, Venerabilis Louis dan Zélie Martin, pasangan suami isteri dan orangtua St Theresia dari Kanak-kanak Yesus, dibeatifikasi di Basilika St Theresia dari Kanak-kanak Yesus, Lisieux, Perancis. Ini kali keduanya dalam sejarah Gereja, sepasang suami isteri dibeatifikasi. Pasangan pertama yang beroleh gelar “yang Berbahagia” adalah pasangan Beato Luigi dan Maria Quattrocchi dari Italia, yang dibeatifikasi pada tahun 2001.
Kardinal Jose Saraiva Martins, Mantan Prefek Kongregasi untuk Masalah Santa Santo, menyebut pasangan suami isteri ini, yang sekarang disebut Beato Louis dan Beata Zélie Martin, sebagai “dua saksi kasih suami isteri” yang membesarkan anak-anak mereka dengan teguh dalam iman Kristen, dan dengan demikian menjadi teladan bagi pasangan-pasangan suami isteri Kristen.
Lebih jauh, beliau mengatakan, “Louis dan Zélie tahu bahwa mereka dapat menjadi kudus, bukan dengan menghindari perkawinan, melainkan melalui, dalam dan dengan perkawinan, dan bahwa mereka menjadi pasangan suami isteri merupakan awal dari suatu pendakian bersama. Pada hari ini Gereja tak hanya merayakan kekudusan putera dan puteri Normandy ini, yang merupakan anugerah bagi kita semua, melainkan mengagumi juga, dalam pasangan Beato dan Beata ini apa yang membuat gaun pengantin Gereja menjadi terlebih indah dan cemerlang. Kasih suami isteri Louis dan Zélie merupakan suatu gambaran murni dari kasih Kristus bagi Gereja-Nya, dan juga suatu gambaran murni dari kasih yang cemerlang yang tanpa cacat atau kerut, melainkan kudus dan tak bercela (Efesus 5:27) sebagaimana Gereja mengasihi Mempelai-nya, Kristus.”
“Di antara anak-anak mereka, kita teristimewa mengagumi Theresia, `masterpiece' rahmat Allah dan `masterpiece' kasih orangtua bagi anak-anaknya,” demikian kardinal.
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan sebagian / seluruh artikel di atas dengan mencantumkan: “dikutip dari YESAYA: yesaya.indocell.net”
|