Penanganan Etis Terhadap Korban Perkosaan
oleh: P. William P. Saunders *
Sepenuhnya saya setuju dengan ajaran Gereja Katolik mengenai aborsi. Bagaimanakah ajaran moral sehubungan dengan perkosaan terhadap perempuan dan penanganan terhadap korban perkosaan?
~ seorang pembaca di Alexandria
Perkosaan adalah suatu tindakan kejahatan yang menjijikkan. Katekismus Gereja Katolik memberikan suatu ajaran moral yang jelas, “Perkosaan adalah satu pelanggaran dengan kekerasan dalam keintiman seksual seorang manusia. Ia adalah pelanggaran terhadap keadilan dan cinta kasih. Perkosaan adalah pelanggaran hak yang dimiliki setiap manusia atas penghormatan, kebebasan, keutuhan fisik dan jiwa. Ia menambahkan kerugian besar, yang dapat membebani kurban seumur hidup. Ia merupakan satu perbuatan yang dengan sendirinya harus ditolak sejauh-jauhnya. Lebih buruk lagi, apabila orangtua atau para pendidik memperkosa anak-anak yang dipercayakan kepada mereka” (No. 2356). Patut dicatat bahwa perkosaan adalah “suatu tindakan yang pada hakekatnya jahat,” artinya perkosaan adalah jahat hingga ke akar-akarnya, tak suatu pun yang dapat membenarkannya, dan perkosaan secara obyektif adalah dosa berat.
Apabila seorang perempuan diperkosa, meski mungkin ia takut membuka diri karena aib dan cemar, sepatutnya ia mencari perawatan medis yang layak sesegera mungkin. Perawatan yang diberikan haruslah sungguh-sungguh halus dan penuh belas kasih.
Sesuai dengan Ethical and Religious Directives for Catholic Health Care Services (no. 36), penanganan terhadap korban perkosaan memiliki empat aspek: Pertama, korban sepatutnya menerima dukungan rohani dan psikologis, dan mendapatkan konseling untuk membantunya menghadapi trauma serangan. Dukungan dan konseling yang demikian kemungkinan akan terus berlangsung untuk beberapa waktu lamanya.
Kedua, para pelayan kesehatan perlu bekerjasama dengan para petugas pelaksana hukum dalam mengumpulkan bukti-bukti yang dapat dipergunakan untuk mendakwa si pemerkosa.
Ketiga, korban membutuhkan perawatan atas memar atau luka-luka lainnya.
Terakhir, para pelayan kesehatan wajib memberikan perawatan demi mencegah kemungkinan terjangkitnya suatu penyakit kotor dan kehamilan. Dalam buku petunjuk disebutkan, “Seorang perempuan yang diperkosa dapat melindungi diri dari kehamilan sebagai akibat dari serangan seksual terhadapnya. Jika, setelah pengujian yang layak, tidak didapati bukti bahwa telah terjadi pembuahan, kepadanya dapat diberikan pengobatan yang akan mencegah ovulasi, kapasitasi spermatozoa, atau fertilisasi. Namun demikian, tidak diperkenankan untuk memulai atau merekomendasikan perawatan yang memiliki tujuan atau memiliki dampak langsung membuang, membinasakan atau mengganggu implantasi sel telur yang telah dibuahi” (No. 36).
Seorang perempuan yang adalah korban perkosaan mempunyai hak moral untuk mencegah kehamilan dengan alasan-alasan sebagai berikut: Pertama, si pemerkosa (termasuk spermanya) merupakan penyerang yang tidak adil yang telah melanggar martabat perempuan. Kedua, perkosaan adalah tindakan pemaksaan dengan kekerasan, berbeda dari kasih suami isteri dalam perkawinan di mana keduanya - suami dan isteri - secara bebas memberikan diri dalam suatu tindakan kasih yang unitive dan procreative. Ketiga, korban tidak bertanggung jawab atas tindakan, dan karenanya mempunyai hak untuk mencegah kehamilan. (Perlu dicatat bahwa untuk ketiga alasan di atas, pedoman ini tidak melanggar ajaran Gereja sehubungan dengan kontrasepsi seperti dinyatakan dalam Humanae Vitae, di mana, karena saling pemberian diri secara bebas di antara pasangan, memaklumkan, “bahwa tiap persetubuhan harus tetap diarahkan kepada kelahiran kehidupan manusia” (No. 11).)
Dalam mencegah kehamilan, sebagian besar prosedur penanganan terhadap korban perkosaan merekomendasikan agar obat-obatan anti-fertilitas diberikan dalam waktu 72 jam dan selama suatu periode beberapa hari lamanya. Obat-obatan ini, seperti Ovral, mencegah ovulasi. Tetapi, beberapa obat-obatan kontrasepsi juga mempengaruhi endometrium rahim, mengakibatkan dibuangnya suatu telur yang telah dibuahi. Dampak yang terakhir inilah yang menimbulkan persoalan.
Kesulitan sesungguhnya dalam prosedur penanganan terhadap korban perkosaan adalah kepastian moral (bukan mutlak, melainkan terbaik yang mungkin, dalam iman yang baik, kepastian terbaik) bahwa pembuahan tidak terjadi, sebab begitu pembuahan terjadi, kehidupan baru yang dikandung itu memiliki hak untuk hidup dan wajib dilindungi. Konsili Vatican kedua menegaskan, “kehidupan sejak saat pembuahan harus dilindungi dengan sangat cermat. Pengguguran dan pembunuhan anak merupakan tindak kejahatan yang durhaka” (Gaudium et Spes, no. 51). Selanjutnya, “Declaratio de abortu procurato” (1974) menegaskan bahwa kehidupan adalah sakral sejak dari saat pembuahan dan bahwa aborsi langsung adalah suatu tindakan yang pada hakekatnya jahat, “Dengan pembuahan sel telur mulailah hidup baru, yang bukan hidup ayah dan bukan hidup bunda, melainkan hidup makhluk baru, yang tumbuh sendiri. Tak pernah ia menjadi manusia jika ia tidak sudah manusia sejak semula” (No. 12). Bukan saja kehidupan yang baru ini memiliki integritas fisik, melainkan ia juga mempunyai jiwa, yang diciptakan dan ditanamkan oleh Allah yang Mahakuasa. Manusia yang unik ini, dengan sekaligus tubuh dan jiwa, mempunyai hak untuk hidup tanpa peduli siapa dia ataupun bagaimana ia dikandung.
Untuk alasan ini, The Ethical and Religious Directives for Catholic Health Facilities menyatakan, “Aborsi, yang secara langsung dimaksudkan untuk mengakhiri kehamilan sebelum ia bertumbuh-kembang, tidak pernah diperkenankan pula yang secara langsung dimaksudkan untuk membinasakan suatu janin yang sedang bertumbuh-kembang. Setiap prosedur yang dampak langsungnya adalah mengakhiri kehamilan sebelum ia bertumbuh-kembang adalah suatu aborsi, yang, dalam konteks moralnya, mencakup interval antara saat pembuahan dan implantasi embrio” (No. 12). Sebab itu, obat-obat aborsi - yakni obat-obatan yang akan mengakibatkan terbuangnya suatu sel telur yang telah dibuahi - secara moral adalah salah.
Sebab itu, sebelum memberikan obat-obatan kontrasepsi kepada seorang korban perkosaan, para pelayan kesehatan wajib pertama-tama memastikan riwayat kesehatan korban (termasuk riwayat menstruasinya, aktivitas seksualnya pada hari-hari belakangan, dan penggunaan alat-alat kontrasepsi). Test kehamilan wajib dilakukan. Jika korban tidak mengandung, tetapi riwayat medisnya menyatakan bahwa ovulasi mungkin terjadi, maka pelayan kesehatan patut melakukan test urine Luteinizing Hormone atau test tingkat progesterone dalam darah. Test-test ini akan menyatakan apakah ovulasi sungguh terjadi dan karenanya seorang anak mungkin telah dikandung. Jika test-test ini tidak tersedia tepat pada waktunya atau bahkan tidak tersedia sama sekali, maka penanganan dengan obat-obatan kontrasepsi hendaknya dilanjutkan sepanjang ada kepastian moral bahwa ovulasi tidak terjadi.
Lagi, disinilah kunci utamanya. Apabila ada kepastian moral bahwa ovulasi tidak terjadi, maka patut dihormati hak perempuan itu untuk mencegah kehamilan, bahkan meski tanpa diketahui dan tanpa disengaja suatu telur yang telah dibuahi terbuang. Tetapi, jika ada kepastian bahwa ovulasi telah terjadi dan pembuahan mungkin telah terjadi, maka kanak-kanak itu mempunyai hak untuk hidup dan sang ibu wajib untuk tidak beresiko menggugurkan kandungannya dengan obat-obatan anti-fertilitas.
Point terakhir, sebagian orang mungkin sulit menerima keadaan seorang perempuan yang melahirkan seorang anak yang dikandung akibat perkosaan. Meski penelitian menunjukkan 0- 2.2 persen tingkat kehamilan akibat perkosaan (Abortion: The Hard Cases), kenyataannya adalah kehamilan semacam itu dapat terjadi. Janganlah kita pernah lupa bahwa bayi adalah seorang manusia yang tak berdosa, yang dijadikan seturut gambar dan citra Allah; seorang kanak-kanak yang tidak minta untuk dikandung.
Juga, sebagai umat Kristiani, kita menanggung salib dan menderita demi kasih kepada Tuhan. Sebagai konsekuensinya, seorang ibu dalam kasus yang demikian patut mengasihi sebagaimana Kristus mengasihi dengan kasih sejati, dan memberi hidup kepada kanak-kanak yang tidak berdosa. Bagi seorang ibu yang adalah korban kekerasan dari seorang penyerang yang tidak adil, mengakhiri hidup seorang bayi yang tak berdosa, yang belum dilahirkan, sekarang akan ganti menjadikannya seorang penyerang yang tidak adil. Seperti diajarkan Bapa Suci Paus Yohanes Paulus II, entah apapun alasan aborsi, “betapapun berat dan tragis, tidak pernah dapat membenarkan pembunuhan manusia tak bersalah yang disengaja” (Evangelium Vitae, no. 58). Sebaliknya, umat beriman patut mendukung perempuan yang adalah korban kekejian yang tragis ini dan, andai ia mengandung, pula anaknya.
* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and dean of the Notre Dame Graduate School of Christendom College.
sumber : “Straight Answers: Ethical Treatment after Rape” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2002 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”
|