Kontrasepsi Menurut Ajaran Gereja:
Bagian 2:
Aspek Unitive dan Aspek Procreative dari Kasih Perkawinan
oleh: P. William P. Saunders *
Dengan pemahaman kita akan perkawinan dan kasih perkawinan, kita dapat siap melihat bahwa ungkapan kasih yang terindah dalam perkawinan adalah kasih perkawinan, atau kasih jasmani, atau hubungan seksual, atau kasih suami isteri - apapun istilahnya. Tentu saja, kasih dalam perkawinan jauh lebih luas dari sekedar tindakan kasih suami isteri. Namun demikian, tindakan ini memancarkan suatu simbolisme yang unik dan khusus dari Sakramen Perkawinan - perjanjian antara dua orang yang telah menjadi satu daging.
Yang menarik, dalam teologi sakramen, kita percaya bahwa suatu sakramen terdiri dari dua unsur: forma, atau bagian doa dari sakramen; dan materia, bagian fisik dan tindakan dari sakramen. Sebagai contoh, dalam perayaan Sakramen Baptis, materia sakramennya adalah imam menuangkan air ke atas kepala calon baptis atau membenamkan orang yang dibaptis ke dalam air sebanyak tiga kali; pada saat yang sama imam mendaraskan forma sakramen, “N. aku membaptis engkau atas nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus.” Dalam Sakramen Perkawinan, pasangan yang menikah adalah pelayan-pelayan sakramen; imam adalah saksi resmi Gereja yang juga menyampaikan berkat Tuhan. Forma Sakramen Perkawinan adalah pertukaran janji perkawinan; materia sakramen adalah konsumasi (= consummatio) perkawinan, ketika pasangan menyempurnakan janji perkawinan mereka dengan ungkapan kasih secara fisik. Sebab itu Gereja mengajarkan, “Maka dari itu tindakan-tindakan, yang secara mesra dan murni menyatukan suami-isteri, harus dipandang luhur dan terhormat; bila dijalankan secara sungguh manusiawi, tindakan-tindakan itu menandakan serta memupuk penyerahan diri timbal balik, cara mereka saling memperkaya dengan hati gembira dan rasa syukur” (Gaudium et Spes, No. 49).
Paus Paulus VI dalam ensikliknya Humanae Vitae (No. 9) menawarkan suatu refleksi yang indah atas kasih suami isteri dalam perkawinan. Bapa Suci mengatakan bahwa kasih perkawinan adalah kasih yang sepenuhnya manusiawi, sebab ia merangkul kebajikan dari keseluruhan diri orang dan berdasarkan pada kehendak bebas, memberikan seluruh diri kepada pasangannya. Kasih ini bertahan melewati sukacita dan derita, keberhasilan dan kegagalan, kebahagian dan kemalangan, mempersatukan pasangan baik secara badani maupun jiwani. Kasih ini juga total - bebas dari batasan, keraguan ataupun prasyarat. Kasih ini setia dan eksklusif bagi masing-masing pasangan. Pada pokoknya, kasih ini haruslah merupakan suatu tindakan yang saling menghormati, suatu ungkapan kasih yang sejati. Tidak seperti apa yang begitu sering digambarkan oleh berbagai media pada masa kini, kasih perkawinan bukanlah suatu tindakan erotis, berdasarkan pada cinta diri, melampiaskan kenikmatan sesaat atau kesewenangan. Bukan, kasih perkawinan adalah suatu tindakan sakral yang mempersatukan suami isteri satu dengan yang lain dan dengan Tuhan. Semangat dari ajaran ini merefleksikan apa yang disabdakan Yesus dalam Perjamuan Malam Terakhir, “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh 15:13).
Di samping itu, tindakan kasih perkawinan juga ikut ambil bagian dalam karya kasih penciptaan Allah. Pasangan yang telah menjadi suatu ciptaan yang baru dengan menjadi suami dan isteri, satu daging, juga dapat ikut menghasilkan ciptaan suatu kehidupan baru sesuai kehendak Tuhan. Vatikan II menegaskan, “Menurut sifat kodratinya lembaga perkawinan sendiri dan cinta kasih suami-isteri tertujukan kepada lahirnya keturunan serta pendidikannya, dan sebagai puncaknya bagaikan dimahkotai olehnya” (Gaudium et Spes, No. 48, bdk. No. 50). Konsili mengajarkan, “Oleh karena itu pengembangan kasih suami-isteri yang sejati, begitu pula seluruh tata-hidup berkeluarga yang bertumpu padanya, - tanpa memandang kalah penting tujuan-tujuan perkawinan lainnya, - bertujuan supaya suami-isteri bersedia dengan penuh keberanian bekerja sama dengan cinta kasih Sang Pencipta dan Penyelamat, yang melalui mereka makin memperluas dan memperkaya keluarga-Nya” (Gaudium et Spes, No. 50).
Bapa Suci Paus Yohanes Paulus II dalam ensikliknya Evangelium Vitae merefleksikan bahwa gambar dan citra Allah Sendiri disalurkan melalui penciptaan suatu jiwa yang abadi langsung oleh-Nya. Di samping itu, seorang anak adalah sungguh personifikasi kasih suami dan isteri dalam persatuan dengan sang Pencipta. Sebab itu, “Justru dalam peran serta mereka sebagai rekan-rekan kerja bersama Allah yang menyalurkan citra-Nya kepada ciptaan baru-lah kita saksikan keagungan pasangan-pasangan suami isteri, yang bersedia `bekerja sama dengan cinta kasih sang Pencipta dan Penyelamat, yang melalui mereka hendak memperluas dan memperkaya keluarga-Nya sendiri dari hari ke hari'” (Evangelium Vitae, No. 43, yang juga mengutip dari Gaudium et Spes, No. 50).
Sepanjang Kitab Suci, kita melihat kelahiran anak-anak sebagai suatu berkat dari Tuhan dan suatu tanda perjanjian yang hidup antara Tuhan dengan suami isteri. Sebagai contoh, Musa menyampaikan hukum perjanjian dengan memaklumkan, “Dan akan terjadi, karena kamu mendengarkan peraturan-peraturan itu serta melakukannya dengan setia, maka terhadap engkau TUHAN, Allahmu, akan memegang perjanjian dan kasih setia-Nya yang diikrarkan-Nya dengan sumpah kepada nenek moyangmu. Ia akan mengasihi engkau, memberkati engkau dan membuat engkau banyak; Ia akan memberkati buah kandunganmu dan hasil bumimu, gandum dan anggur serta minyakmu, anak lembu sapimu dan anak kambing dombamu, di tanah yang dijanjikan-Nya dengan sumpah kepada nenek moyangmu untuk memberikannya kepadamu. Engkau akan diberkati lebih dari pada segala bangsa: tidak akan ada laki-laki atau perempuan yang mandul di antaramu, ataupun di antara hewanmu” (Ul 7:12-14). Jelas bahwa kehidupan, kesuburan dan pembiakkan dihargai sebagai hal-hal baik yang dianugerahkan Tuhan.
Karena sabda ini dan pemahaman bahwa aspek pembiakan dari kasih perkawinan merupakan suatu anugerah yang kudus, maka “kemandulan” atau ketidaksuburan sungguh merupakan suatu salib berat yang harus ditanggung suatu pasangan. Sebagai contoh, dalam Perjanjian Lama, dalam kisah Hana - isteri Elkana - kita membaca bagaimana ia berdukacita karena tak dapat mempunyai anak meski hidup perkawinannya bahagia. Kitab Suci mencatat, “Pada suatu kali, setelah mereka habis makan dan minum di Silo, berdirilah Hana, sedang imam Eli duduk di kursi dekat tiang pintu bait suci TUHAN, dan dengan hati pedih ia berdoa kepada TUHAN sambil menangis tersedu-sedu. Kemudian bernazarlah ia, katanya: `TUHAN semesta alam, jika sungguh-sungguh Engkau memperhatikan sengsara hamba-Mu ini dan mengingat kepadaku dan tidak melupakan hamba-Mu ini, tetapi memberikan kepada hamba-Mu ini seorang anak laki-laki, maka aku akan memberikan dia kepada TUHAN untuk seumur hidupnya dan pisau cukur tidak akan menyentuh kepalanya'” (I Sam 1:9-11). Tuhan mendengarkan doa permohonan Hana, dan ia mengandung lalu melahirkan seorang anak laki-laik yang diberinya nama Samuel.
Dalam Perjanjian Baru, kita membaca kisah Elisabet dan Zakharia, yang adalah orang-orang “benar di hadapan Allah” dan “hidup menurut segala perintah dan ketetapan Tuhan dengan tidak bercacat”. Tetapi, hingga lanjut usia mereka tetap tak mempunyai anak. Atas kehendak Tuhan, Elisabet mengandung lalu melahirkan seorang anak laki-laki, Yohanes Pembaptis. Elisabet pun berkata, “Inilah suatu perbuatan Tuhan bagiku, dan sekarang Ia berkenan menghapuskan aibku di depan orang” (bdk Luk 1:5-25). Mengikuti alur pemikiran ini, Vatican II menegaskan, “Memang anak-anak merupakan kurnia perkawinan yang paling luhur, dan besar sekali artinya bagi kesejahteraan orang tua sendiri” (Gaudium et Spes, No. 50).
Sebab itu, janganlah kita memisahkan aspek persatuan penuh cinta (= unitive) kasih perkawinan dari aspek pembiakan (= procreative). Kedua aspek ini pada hakekatnya baik. Kedua aspek ini tak terpisahkan dalam tindakan perkawinan (= hubungan badani suami isteri). Bahkan jika suatu pasangan tidak subur, tindakan suami isteri itu tetap memiliki karakter sebagai suatu persatuan hidup dan kasih. Kita harus terus-menerus berfokus pada perjanjian hidup dan kasih yang saling dibagikan di antara pasangan satu sama lain dalam persatuan dengan Tuhan.
* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls.
sumber : “Straight Answers: Church Teaching and Contraception (Part 2)” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2003 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”
|