Meterai Sakramental Pengakuan Dosa
oleh: P. William P. Saunders *
Dapatkah imam memberitahukan rahasia pengakuan seseorang kepada orang lain?
~ seorang pembaca di Annandale
Misteri Sakramen Pengakuan Dosa membangkitkan banyak minat dan keingintahuan. Orang bertanya-tanya, “Dapatkah imam membocorkan apa yang diakukan dalam Pengakuan Dosa?” Jawaban yang singkat dan tegas adalah “tidak”.
Tingkat kerahasian suatu pengakuan dosa jauh lebih tinggi dari segala bentuk rahasia jabatan lainnya. Ketika seseorang mengungkapkan isi hatinya dan mengakukan dosa-dosanya kepada seorang imam dalam Sakramen Pengakuan Dosa, terbentuklah suatu kepercayaan yang amat sakral sifatnya. Sementara imamlah yang melayani dalam sakramen, Kristus Sendiri yang mengampuni dosa-dosa, dan imam tidak diperkenankan membocorkan kepada siapa pun juga apa yang telah diakukan kepada Tuhan Sendiri. Lagipula, dosa-dosa yang telah diampuni sekarang telah menjadi masa lalu dan tidak perlu dibawa-bawa ke masa sekarang lewat komunikasi. Sebab itu, imam wajib menjaga kerahasiaan mutlak atas segala sesuatu yang disampaikan dalam pengakuan. Karena alasan inilah, kamar pengakuan dirancang dengan sekat-sekat untuk melindungi jati diri peniten dan untuk memperkecil kemungkinan imam mengingat suatu “wajah” dengan suatu pengakuan tertentu. Rahasia pengakuan ini disebut “meterai sakramental”.
Meterai sakramental tidak dapat diganggu-gugat. Dengan mengutip Kanon 983 - §1 dari Kitab Hukum Kanonik, Katekismus (no. 2490) menyatakan, “… adalah durhaka jika bapa pengakuan dengan kata-kata atau dengan salah satu cara lain serta atas dasar apa pun sedikit banyak mengkhianati peniten.” Seorang imam, karenanya, tidak dapat melanggar meterai untuk menyelamatkan nyawanya sendiri, melindungi nama baiknya, menyangkal tuduhan palsu, menyelamatkan nyawa orang lain, membantu menegakkan keadilan (seperti melaporkan suatu kejahatan), atau mencegah bencana umum. Imam tidak dapat diikat oleh hukum untuk membocorkan pengakuan dosa seseorang ataupun diikat oleh suatu sumpah apapun yang ia ucapkan, misalnya sebagai saksi di pengadilan. Seorang imam tidak dapat membocorkan isi suatu pengakuan, baik secara langsung, dengan mengulang apa yang telah dikatakan, ataupun secara tak langsung, dengan isyarat, petunjuk ataupun tindakan. “Dekrit dari Tahta Suci” (Nov 18, 1682) menginstruksikan bahwa bapa pengakuan dilarang, bahkan di mana tidak ada pembocoran rahasia baik secara langsung ataupun tak langsung, untuk mempergunakan informasi yang diterima dalam pengakuan dosa yang dapat “mengecewakan” peniten atau dapat mengungkapkan identitasnya.
Oleh sebab itu, sejak saat seorang peniten membuat tanda salib dan mengatakan “Bapa saya telah berdosa” hingga kata-kata terakhir absolusi, pertukaran informasi antara imam dan peniten dilindungi sepenuhnya oleh meterai sakramental. Bahkan, jika pengakuan dosa dilakukan dalam situasi yang kurang resmi atau tidak seresmi biasanya, jika imam memberikan absolusi, apa yang ia ampuni itu ada di bawah meterai sakramental dan tidak boleh dibocorkan olehnya.
Ada situasi-situasi tertentu di mana imam perlu membicarakan masalah dalam suatu pengakuan dosa dengan imam lain, tetapi ia akan melakukannya tanpa mengungkapkan identitas peniten. Sebagai contoh, ada dosa-dosa yang sangat berat hingga seorang imam wajib minta ijin dari pembesarnya untuk memberikan absolusi. Misalnya, jika seseorang mencemarkan Ekaristi Kudus dengan suatu perbuatan sakrilegi atau “membuang” Ekaristi Kudus, ia secara otomatis mengakibatkan ekskomunikasi bagi dirinya sendiri dengan Tahta Apostolik (Kanonik 1367); karenanya, ketika dosa tersebut diakukan, imam harus memberitahu peniten bahwa ia wajib menghubungi Uskup, yang akan memperolehkan dari Tahta Apostolik ijin yang diperlukan untuk memberikan absolusi atas dosa dan mencabut hukuman ekskomunikasi. Sementara imam tetap menjaga rahasia pengakuan, diatur perjanjian dengan peniten untuk datang kembali kepada imam guna menerima absolusi dan penitensi yang layak.
Atau, jika seorang imam membutuhkan nasehat dari seorang bapa pengakuan yang lebih berpengalaman dalam menangani suatu masalah yang sulit yang dihadapkan kepadanya dalam suatu pengakuan dosa, imam pertama-tama akan meminta ijin dari peniten untuk membicarakan masalah tersebut dan mengatur janji untuk bertemu kembali. Sekali lagi, imam wajib tetap menjaga rahasia identitas peniten.
Ada kalanya, seorang peniten ingin membicarakan suatu masalah yang telah diungkapkan dalam pengakuan dosa sebelumnya - suatu dosa, kesalahan, pencobaan, atau situasi tertentu - dalam suatu bimbingan atau pembicaraan dengan imam yang sama. Guna menghormati rahasia pengakuan, imam perlu meminta peniten untuk mengingatkannya kembali akan masalah tersebut, misalnya dengan menceritakan kembali masalah tersebut di luar pengakuan. Sebagai contoh, pada waktu pengakuan dosa “dari muka ke muka” dalam Masa Adven, seseorang datang kepada saya dan mengatakan, “Romo, apakah Romo ingat masalah yang saya ceritakan kepada Romo pada pengakuan yang lalu?” Saya menjawab, “Tolong bantu saya mengingatnya kembali.”
Bagaimana jika seorang imam melanggar meterai sakramental? Membahas masalah ini, Kitab Hukum Kanonik no. 1388 - §1 menyatakan, “Bapa pengakuan, yang secara langsung membocorkan rahasia sakramen, terkena ekskomunikasi yang bersifat otomatis (latae sententiae) yang direservasi bagi Tahta Apostolik; sedangkan yang membocorkannya hanya secara tidak langsung, hendaknya dihukum menurut beratnya tindak pidana.” Katekismus Gereja Katolik (no. 1467) mengatakan, “Pelayanan ini luar biasa mulianya. Ia menuntut penghormatan dan sikap hati-hati terhadap orang yang mengakukan dosanya. Karena itu, Gereja menjelaskan bahwa setiap imam, yang mendengar Pengakuan, diwajibkan dengan ancaman siksa yang sangat berat, supaya berdiam diri secara absolut, menyangkut dosa yang ini, peniten sampaikan kepadanya dalam Pengakuan.” Dari beratnya hukuman, kita dapat melihat dengan jelas bagaimana sakralnya meterai sakramental ini menurut pandangan Gereja.
Sesungguhnya, dalam masalah ini Gereja mempunyai sejarah kepercayaan sejak lama. Konsili Lateran IV (tahun 1215) menghasilkan satu dari ajaran-ajaran pertama yang luas cakupannya mengenai Sakramen Pengakuan. Menanggapi berbagai macam masalah mulai dari pelecehan hingga pandangan-pandangan sesat melawan sakramen, konsili tetap mempertahankan sakramen itu sendiri, dan menegaskan pentingnya pengakuan dosa sakramental setiap tahun dan menyambut Ekaristi Kudus. Gereja juga mengenakan tindakan-tindakan disipliner bagi para bapa pengakuan. Konsili menetapkan, “Bapa Pengakuan wajib secara mutlak menjaga untuk tidak mengkhianati peniten melalui perkataan atau isyarat, atau cara lain apapun juga. Dalam hal imam membutuhkan nasehat seorang ahli, ia dapat mencarinya, namun demikian, tanpa - dengan cara apapun juga - menunjukkan identitas peniten. Kami menetapkan bahwa ia yang dianggap membocorkan suatu dosa yang telah dinyatakan kepadanya dalam Sakramen Pengakuan, tidak hanya akan di non-aktifkan dari tugas-tugas pastoral, melainkan juga akan diasingkan ke sebuah biara tertutup untuk pertobatan yang tak kunjung henti.”
Sebuah kisah yang indah (mungkin dengan dibumbui seiring berjalannya waktu) yang menceritakan kisah nyata sehubungan dengan topik ini adalah riwayat St. Yohanes Nepomucene (1340-93), Vikaris Jenderal Uskup Agung Prague. Raja Wenceslaus IV, yang digambarkan sebagai orang muda yang kejam, yang gampang sekali murka dan berubah sikap, menaruh kecurigaan besar terhadap isterinya, sang Ratu. St. Yohanes adalah bapa pengakuan Ratu. Meskipun raja sendiri seorang yang tidak setia, ia cepat sekali merasa cemburu dan mencurigai isterinya, yang tak bersalah dalam sikapnya. Meskipun Raja Wenceslaus telah menyiksa St. Yohanes demikian rupa untuk memaksanya membocorkan rahasia pengakuan Ratu, imam kudus ini tetap menolak. Pada akhirnya, St. Yohanes ditenggelamkan ke dalam Sungai Moldau pada tanggal 20 Maret 1393.
Setiap imam sadar bahwa ia adalah perantara tertahbis dari sakramen yang amat sakral dan berharga. Imam tahu bahwa dalam kamar pengakuan, peniten tidak banyak berbicara kepadanya, melainkan melalui dia kepada Bapa. Karenanya, sadar akan kedudukannya yang rendah, imam mengerti bahwa apapun yang dikatakan dalam pengakuan harus tetap dijaga kerahasiaannya apapun yang terjadi.
Sisi lain yang menarik dari pertanyaan ini adalah kewajiban awam untuk ikut menjunjung tinggi meterai sakramental: Seorang penterjemah yang dibutuhkan seseorang dalam suatu pengakuan dosa atau siapa pun yang mendapatkan informasi dari suatu pengakuan dosa (misalnya tak sengaja mendengar pengakuan seseorang) juga wajib menjaga rahasia pengakuan (Kitab Hukum Kanonik no. 983 - §2). Seseorang yang melanggar kerahasian pengakuan, ia berbuat dosa berat dan dikenai “hukuman yang wajar, tak terkecuali ekskomunikasi” (Kitab Hukum Kanonik no. 1388 - §2). Di samping itu, seseorang yang melontarkan tuduhan palsu kepada seorang imam bahwa ia melanggar meterai sakramental juga berbuat dosa berat dan dimungkinkan dikenai hukuman kanonikal, termasuk ekskomunikasi.
Jelas sekali, bahwa Gereja memandang meterai sakramental pengakuan dosa sebagai suatu yang sakral. Setiap orang - baik imam maupun awam - wajib menjaga kerahasiaan pengakuan dosa secara mutlak dan dengan sungguh-sungguh.
* Fr. Saunders is dean of the Notre Dame Graduate School of Christendom College in Alexandria and pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls.
sumber : “Straight Answers: The Seal of Confession” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2001 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”
|