Keabsahan Sakramen dan Keadaan Rahmat
oleh: P. William P. Saunders *
Jika seorang imam berada dalam keadaan dosa berat, dapatkah ia tetap mempersembahkan Misa dan memberikan pelayanan sakramen-sakramen? Apakah sakramen-sakramen yang ia rayakan tetap mendatangkan rahmat? Orang sering bertanya-tanya mengenai imam-imam tertentu yang tidak hidup seperti sepantasnya.
~ seorang pembaca di Herndon
Ketika suatu sakramen dirayakan dengan pantas sesuai dengan norma-norma Gereja dan dalam iman, kita percaya bahwa sakramen tersebut mendatangkan rahmat seperti yang dinyatakannya. Sementara seorang manusia yang melayani sakramen, Kristus Sendiri yang bekerja di dalamnya: Ia yang membaptis, Ia yang menguatkan, Ia yang mengampuni, Ia yang mengubah roti dan anggur menjadi Tubuh-Nya dan Darah-Nya, Ia yang mempersatukan pasangan pengantin dalam suatu pernikahan, Ia yang mentahbiskan dan Ia yang mengurapi. Ia Sendiri bertindak dalam sakramen-sakramen-Nya, untuk membagi-bagikan rahmat - memberikan kehidupan ilahi dan cinta Allah - yang ditawarkan melalui setiap sakramen (Katekismus Gereja Katolik no. 1127-1128).
Sebab itu, Gereja mengajarkan bahwa sakramen-sakramen bekerja “ex opere operato”, artinya “atas dasar kegiatan yang dilakukan”. Daya guna sakramen tidak bergantung pada kekudusan pribadi yang melayani sakramen - entah itu uskup, imam, diakon atau pun awam - bebas dari dosa berat dan karenanya ada dalam keadaan rahmat. Di sinilah terletak perbedaan antara Kristus yang menetapkan sakramen-sakramen dan bertindak di dalamnya untuk membagi-bagikan rahmat-Nya, dengan manusia yang bertindak sebagai pelayan Kristus dalam merayakan sakramen.
Sebenarnya, masalah pelayan sakramen dalam keadaan rahmat dan daya guna sakramen juga muncul di kalangan Gereja Perdana. Bermula pada tahun 311 di Afrika utara, sebuah perselisihan muncul ketika Uskup Caecilian dari Karthago telah ditahbiskan sesuai norma-norma Gereja. Tampaknya, mereka yang mentahbiskannya menunjukkan kelemahan selama masa penganiayaan, dan dengan demikian mereka dianggap tidak layak serta tidak pantas mentahbiskan. Donatus (270-355), yang mengepalai pihak yang menentang, mengajukan argumentasi bahwa pentahbisan Caecilian sebagai uskup adalah tidak sah. Selain itu, pihak penentang ini, yang secara umum dikenal sebagai bidaah Donatisme, menegaskan bahwa keabsahan suatu sakramen bergantung pada kekudusan orang yang melayani sakramen.
Pada tahun 313, suatu sinode istimewa diadakan di Istana Lateran di Roma guna membahas masalah ini. Donatus dikutuk dan dikenai ekskomunikasi, tidak saja karena ajarannya yang sesat, tetapi juga karena membaptis kembali dan mentahbiskan mereka yang ingkar terhadap Gereja. Namun demikian, ajaran sesat ini tetap menyerang Gereja hingga pada tahun 411 Kaisar Honorius mempertegas kutukan terhadap penganut Donatisme dan mengenakan sanksi berat terhadap mereka.
Pada masa itu, St. Agustinus (354-430) merupakan pembela cemerlang ajaran Gereja Katolik yang benar. Dalam “In Ioannis evangelium tractatus,” dengan tegas ia membedakan tindakan Kristus dengan tindakan pelayan sakramen dalam suatu perayaan sakramen: Kristus bertindak atas dasar kuasa-Nya, sementara pelayan sakramen bertindak atas dasar pelayanan yang dipercayakan kepadanya oleh Kristus. Karena itu, “ … mereka yang dibaptis oleh Yudas, Kristus Sendiri yang membaptis. Demikian juga, mereka yang dibaptis oleh seorang pemabuk, mereka yang dibaptis oleh seorang pembunuh, mereka yang dibaptis oleh seorang pezinah, jika Pembaptisan itu dilakukan atas nama Kristus, maka Kristus Sendiri yang membaptis.” (5, 18).
Namun demikian, St. Agustinus juga dengan tajam mengecam pelayan sakramen yang tidak mempersiapkan diri secara pantas untuk merayakan sakramen: “Sementara pelayan yang angkuh, ia harus digolongkan dengan setan. Anugerah Kristus tidak tercemari karenanya: apa yang mengalir melalui dia tetap terjaga kemurniannya, dan apa yang melewati dia tetap bersih dan sampai ke tanah yang subur. … Kekuatan rohani sakramen adalah sungguh serupa terang: siapa yang harus diterangi menerimanya dalam kemurniannya, dan apabila terang harus melewati yang cemar, ia sendiri tidak menjadi cemar” (“In Ioannis evangelium tractatus,” 5, 15).
Gereja terus mempertegas kembali ajaran ini, terutama dalam masa-masa krisis. Pada abad pertengahan, ketika kelemahan para klerus menimbulkan masalah di beberapa bidang, St. Thomas Aquinas (wafat tahun 1224) mengajarkan, “Sakramen tidak dilaksanakan oleh kesucian manusia yang memberi atau menerima [Sakramen], tetapi oleh kekuasaan Allah” (Summa Theologiae, III, 68, 8). Menanggapi penolakan dari golongan Reformasi Protestan, Konsili Trente dalam “Dekrit mengenai Sakramen” (yang dikeluarkan tahun 1547) menyatakan, “Jika seseorang mengatakan bahwa pelayan sakramen yang berada dalam keadaan dosa berat, meskipun ia telah mematuhi segala unsur-unsur pokok yang diwajibkan untuk merayakan dan melayani sakramen, tidak sah dalam merayakan atau melayani sakramen, biarlah ia dikutuk.” Akhirnya, Katekismus Gereja Katolik menegaskan, “Pada saat Sakramen dirayakan sesuai dengan maksud Gereja, bekerjalah di dalam dia dan oleh dia kekuasaan Kristus dan Roh-Nya, tidak bergantung pada kekudusan pribadi pemberi.” (no. 1128)
Dalam segalanya, ajaran Gereja sungguh benar secara rohani. Kristus yang menetapkan sakramen-sakramen, pastilah Ia yang sesungguhnya mendayagunakan sakramen, dengan demikian memberi kita jaminan bahwa sakramen sungguh bekerja dan melimpahkan rahmat yang dinyatakannya. Jika daya guna sakramen bergantung pada orang yang melayaninya, bagaimana mungkin seorang pun dari kita dapat diyakinkan bahwa sakramen berdayaguna dan kita menerima rahmat yang dijanjikannya? Jaminan semacam itu tidaklah mungkin diberikan secara manusiawi. Namun demikian, para imam harus senantiasa berjuang agar layak melayani sakramen yang mereka rayakan, melaksanakannya dalam keadaan rahmat dan mencerminkan Kristus yang pribadi-Nya mereka wakili.
* Fr. Saunders is dean of the Notre Dame Graduate School of Christendom College in Alexandria and pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls.
sumber : “Straight Answers: Sacraments and the State of Grace” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2000 Arlington Catholic Herald. All rights reserved.; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”
|