Jalan Menuju Pontifikat
oleh: P. William P. Saunders *
Surat Suara
Gambar-gambar diambil dari: Wikipedia, the free encyclopedia; http://en.wikipedia.org
|
|
Dalam artikel “Kardinal, Konklaf dan Paus Baru”, kita memulai pembicaraan mengenai proses pemilihan penerus St Petrus, termasuk waktu, tempat dan pentingnya kerahasiaan. Sekarang kita akan melangkah lebih lanjut ke proses pemilihan yang sesungguhnya. Perlu diingat bahwa kutipan bertanda RDG diambil dari konstitusi apostolik Paus Yohanes Paulus II “Romano Dominici Gregis” (1996), yang merupakan penyempurnaan dari ketentuan-ketentuan mengenai konklaf pemilihan paus.
Pada hari pertama konklaf, para kardinal berkumpul di pagi hari untuk merayakan Misa Kudus. Beberapa saat sebelum pemungutan suara, “dua orang rohaniwan yang dikenal dapat diandalkan dalam doktrin, kebijaksanaan dan moral” menyampaikan dua renungan kepada para kardinal mengenai aneka problem kini yang dihadapi Gereja dan akan pentingnya kepekaan dalam memilih penerus St Petrus selanjutnya (RDG, No. 13). Pada siang hari, mereka berkumpul di Kapel Pauline dan mohon bimbingan Roh Kudus. Sementara memadahkan Veni Creator, mereka lalu menuju Kapel Sistine guna memulai pemungutan suara (RDG, No. 50). Pada hari itu, pemungutan suara pertama dilakukan.
Sebelum memulai proses voting, tiga kelompok yang masing-masing terdiri dari tiga kardinal dipilih oleh para peserta: satu kelompok untuk mengumpulkan surat suara dari para kardinal yang sakit, yang tinggal di Rumah St Marta, namun tak dapat menghadiri sidang (para petugas ini disebut infirmarii), kelompok lain untuk memeriksa dengan cermat “scrutinize” penghitungan surat suara (para scrutineers), dan kelompok lainnya lagi untuk memeriksa surat suara dan catatan para scrutineers guna menjamin keabsahan (para revisers).
Setelah hari pertama, dua pemungutan suara dilakukan pada pagi hari dan dua pada siang hari. Selama voting, para kardinal pemilih dibiarkan sendiri. Mayoritas sebesar 2/3 voting harus dicapai oleh para kardinal pemilih demi terpilihnya seorang paus. Surat suara berbentuk persegiempat dan di bagian atasnya dicetak tulisan “Eligo in Summum Pontificem” (“Saya memilih sebagai Uskup Tertinggi:”) dengan ruang di bawahnya, tempat di mana kardinal pemilih menuliskan pilihannya. Setelah menuliskan pilihannya dengan tulisan yang tak dapat dikenali, ia akan melipat surat suaranya sebanyak dua kali.
Di atas altar dalam Kapel Sistine ditempatkan suatu wadah dengan tutup menyerupai piring. Masing-masing kardinal pemilih mengacungkan surat suaranya agar terlihat oleh yang lain, lalu membawanya ke altar. Di hadapan altar, ia bersumpah, “Saya memanggil sebagai saksi saya, Yesus Kristus, yang akan menjadi hakim atas saya, bahwa saya memberikan suara kepada dia, yang di hadapan Tuhan, saya anggap pantas dipilih.” Lalu ia memasukkan surat suaranya ke dalam wadah suara, membungkuk di hadapan altar dan kembali ke tempatnya (Infirmarii mengumpulkan surat suara dari para kardinal pemilih yang sakit, yang dikurung di Rumah St Marta, dan memasukkannya ke dalam wadah suara).
Setelah kardinal pemilih terakhir memberikan suaranya, wadah suara dikocok beberapa kali agar surat suara tercampur. Kemudian, surat suara dihitung guna memastikan bahwa jumlahnya sama dengan jumlah pemilih; jika tidak, surat-surat suara itu dibakar (RDG, No. 68). Setiap surat suara kemudian dibuka, nama yang tertera di dalamnya dicatat oleh scrutineer pertama (seorang dari ketiga kardinal yang dipilih untuk memantau jalannya voting). Nama tersebut lalu dicatat lagi oleh scrutineer kedua. Akhirnya scrutineer ketiga membacakan nama tersebut keras-keras dan sekali lagi mencatatnya. Sementara surat suara dibacakan, scrutineer ketiga menusuknya dengan sebatang jarum pada kata `eligo', semua surat suara akan terjahit dengan benang menjadi suatu rangkaian; setelah surat suara terakhir dibacakan, kedua ujung benang diikat dan surat-surat suara ditempatkan dalam wadah suara atau di salah satu sisi meja. Segenap pemilih diperkenankan mencatat nama-nama calon sementara surat suara dibacakan.
Setelah suara dihitung, para scrutineer menjumlahkan perolehan suara bagi setiap nama. Jika seorang nominasi meraih 2/3 suara mayoritas, maka terpilihlah sudah seorang paus baru. Ketiga kardinal yang lain, yaitu para reviser, memeriksa penghitungan suara. Surat-surat suara kemudian dibakar (bersama dengan catatan-catatan lain yang dibuat selama voting), dan asap putih membumbung di udara di atas Kapel Sistine, menyampaikan kepada khalayak ramai yang menanti di piazza St Petrus bahwa seorang paus baru telah terpilih.
Jika tak seorang nominasi pun meraih 2/3 suara mayoritas, surat-surat suara (bersama catatan-catatan yang lain) dibakar dengan jerami basah (atau bahan kimia di zaman modern) agar menghasilkan asap hitam, guna menyampaikan kepada khalayak ramai bahwa seorang paus baru belum terpilih (RGD No. 70-71).
Jika seorang paus baru belum terpilih sesudah tiga hari, voting ditangguhkan satu hari untuk doa, diskusi dan pendalaman rohani. Sesudah itu, jika seorang paus belum terpilih setelah tujuh pemungutan suara berikutnya, diadakan jeda lagi untuk berdoa, diskusi dan pendalaman rohani. Proses ini dapat diulang hingga dua kali lagi. Jika seorang paus masih belum terpilih juga, para kardinal pemilih dapat memutuskan apakah akan menerima keputusan suara mayoritas absolut untuk pemungutan suara berikutnya, ataukah memilih dua nama yang mendapatkan paling banyak suara dalam pemungutan suara sebelumnya dan memilih dia yang kemudian mendapatkan suara mayoritas absolut (RDG, No. 75-76).
Apabila seorang paus telah terpilih, Dekan Dewan Kardinal menanyakan kesediaan dia yang terpilih: “Apakah engkau menerima pemilihan kanonik atasmu sebagai Uskup Tertinggi?” Perlu diingat bahwa orang mempunyai hak untuk menolak. Tetapi, Bapa Suci kita mendesak, “Saya juga minta pada barangsiapa yang terpilih, untuk tidak menolak, karena takut akan beratnya beban tugas panggilannya, melainkan menyerahkan diri dengan rendah hati pada rancangan kehendak ilahi. Tuhan, yang meletakkan beban, akan menopangnya dengan tangan-Nya agar ia mampu menanggungnya. Sementara menganugerahkan tugas berat ke atas pundaknya, Tuhan juga akan menolongnya untuk melaksanakannya dan, sementara menganugerahkan wibawa kepadanya, Ia akan menganugerahkan kekuatan kepadanya agar tidak tenggelam oleh beban berat tugasnya” (RDG, No. 86).
Jika ia yang terpilih menerima, selanjutnya ia akan ditanya, “Dengan nama apakah engkau ingin dipanggil?” Kepala Perayaan Liturgi Kepausan bersama dua orang asistennya kemudian dipanggil; ia mempersiapkan suatu dokumen yang memaklumkan kesediaan Paus baru dan nama yang dipilihnya (RDG, No. 87).
Jika paus yang baru telah ditahbiskan sebagai uskup, maka ia segera menjadi Uskup Roma, dan sebagai penerus St Petrus, memiliki kuasa penuh dan tertinggi dalam Gereja universal (RDG, 88).
Tetapi, jika paus baru yang terpilih belum ditahbiskan sebagai uskup, maka ia akan segera ditahbiskan sebagai uskup oleh dekan Dewan Kardinal. Ketentuan ini membuka kemungkinan bahwa para kardinal dapat mencalonkan serta memilih seorang di luar Dewan Kardinal dan seorang yang bukan uskup (RDG, No. 88). Secara teknis, konklaf berakhir ketika paus baru menyatakan kesediannya.
Ketika segala formalitas ini telah dilaksanakan, para kardinal pemilih menghampiri paus yang baru dan menyatakan hormat serta ketaatan mereka. Lalu, ucapan syukur dilakukan. Jubah jabatannya (yaitu jubah putih) dikenakan pada paus baru. (Sekedar tambahan, tiga setelan jubah - ukuran kecil, medium dan besar - telah dipersiapkan bagi paus yang akan terpilih untuk pemunculannya yang pertama di hadapan publik, hingga jubah pribadinya sendiri selesai dibuat). Kardinal Diakon yang senior kemudian memaklumkan kepada khalayak ramai yang menanti di piazza, “Habemus Papam” (“Kita mempunyai seorang Paus”), lalu mengumumkan nama paus yang baru. Paus yang baru kemudian muncul dan menyampaikan berkat apostoliknya yang pertama sebagai penerus St Petrus (RDG, No. 89).
Setelah upacara khidmat penobatannya sebagai paus, Bapa Suci menempati Basilika St Yohanes Lateran, yaitu Katedral Roma (RDG, No. 92).
Segala ketentuan di atas tampak rumit, tetapi janganlah kita melupakan peran Roh Kudus. Sepanjang konklaf, para kardinal pemilih, baik secara pribadi maupun bersama, mohon dengan sangat bimbingan Roh Kudus. Contoh terbaik dari bantuan ilahi yang demikian adalah pemilihan Paus Yohanes Paulus II. Siapakah yang pernah mengira bahwa seorang Uskup Agung - yang baru berusia 58 tahun- dari Cracow, Polandia, (pada waktu itu sebuah negara komunis di balik Tirai Besi dan di bawah kuasa Uni Soviet yang ateis) akan terpilih sebagai paus? Ia tidak masuk hitungan kelompok papabili (= yang diunggulkan sebagai paus) mass media ataupun salah seorang pejabat Curia Vatican. Tetapi, betapa suatu rahmat yang luar biasa baginya dan bagi Gereja kita. Sungguh, suatu hari kelak ia akan dikenal sebagai “Paus Yohanes Paulus II Agung”. Sebab itu, baiklah kita percaya bahwa, apabila saatnya tiba, seorang penerus St Petrus yang lain akan dipilih di bawah bimbingan Roh Kudus untuk menggembalakan Gereja Katolik Roma yang Kudus.
* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish and a professor of catechetics and theology at Notre Dame Graduate School in Alexandria.
sumber : “Straight Answers: The Path to the Papacy” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2005 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”
|