Bagaimana Berpartisipasi Secara Lebih Aktif Dalam Misa
oleh: P. Thomas Richstatter, O.F.M., S.T.D.
Apakah arti “partisipasi aktif” dalam Misa hari Minggu bagi sebagian besar umat Katolik - teristimewa mereka yang, pada hari Minggu tertentu, tidak melakukan suatu tugas pelayanan tertentu? Tidak sulit melihat apa arti “partisipasi aktif” bagi petugas tata tertib, lektor, misdinar, paduan suara atau pelayan tak lazim komuni suci. Tetapi, apakah “aktivitas” umat Kristiani biasa yang duduk di bangku umat? Apakah arti partisipasi aktif bagi saya apabila saya hanya “pergi ke Misa” seperti orang-orang lain ?
Pertanyaan di atas perlu dijawab oleh setiap orang Katolik. Mengapa? Sebab partisipasi merupakan dasar dari segala perubahan yang kita alami dalam Misa hari Minggu sepanjang lebih dari 20 tahun sejak Konsili Vatican Kedua. Di awal Konsili, para uskup menjadikan partisipasi sebagai point yang teramat penting dari Konstitusi tentang Liturgi Suci. Mereka memaklumkan, “Dalam pembaharuan dan pengembangan Liturgi Suci, keikutsertaan segenap umat secara penuh dan aktif itu perlu beroleh perhatian yang terbesar” (#14).
Dari Penonton Menjadi Partisipan
Pembaptisan menjadikan kita ikut ambil bagian dalam imamat Kristus. Segenap kita yang duduk di bangku gereja - laki-laki dan perempuan, anak-anak sekolah dan orang-orang dewasa - melaksanakan imamat itu dalam liturgi, yang adalah “ibadat umum yang seutuhnya oleh tubuh mistik Yesus Kristus, yakni Kepala beserta para anggota-Nya” (#7). Itu adalah suatu tantangan! Jika kita adalah Tubuh Kristus, kita tidak dapat menjadi sekedar penonton dalam Ekaristi, sebab Kristus Sendiri tidak dapat menjadi sekedar penonton pasif dalam kurban kudus-Nya. Konsili mengajarkan bahwa partisipasi aktif “berdasarkan Baptis merupakan hak serta kewajiban umat Kristiani” (#14).
Selama lebih dari 20 tahun “partisipasi aktif” telah menjadi tujuan dari pembaharuan liturgi. Namun demikian banyak pendidik, pastor dan umat beriman dengan sedih harus mengakui bahwa partisipasi aktif adalah yang tersulit dari segala pembaharuan yang harus dilakukan. Mengubah bahasa, mempergunakan gaya musik yang berbeda, mengubah posisi altar - adalah pembaharuan yang mudah dilakukan jika dibandingkan dengan tugas mengubah sikap kita dalam Misa dari orang yang menonton menjadi orang yang melakukan. Melakukan membutuhkan tidak hanya lebih banyak usaha dari pihak kita dibandingkan menonton, tetapi melakukan juga membutuhkan pemahaman yang lebih mendalam akan apa yang harus kita lakukan.
Saran-saran berikut guna partisipasi secara lebih penuh dalam liturgi akan kita fokuskan pada tiga tindakan utama dalam Misa hari Minggu kita:
1. Kita datang bersama
2. untuk mendengarkan Sabda Tuhan,
3. dan untuk berbagi roti dan anggur Ekaristi dalam ketaatan pada perintah Tuhan: “Lakukanlah ini untuk mengenangkan Daku.”
Kita Datang Bersama
1. Berada di sana. Tindakan pertama yang diperlukan dari kita adalah hadir. Kita perlu berada di sana oleh sebab pentingnya kehadiran kita sebagai suatu tanda iman kita bagi para anggota jemaat lainnya. Katekisme mengajarkan bahwa sakramen adalah “tanda lahiriah,” dan kita seringkali memikirkan Ekaristi dalam arti roti dan anggur sebagai tanda sakramen. Konsili telah menjadikan kita sadar bahwa tanda itu lebih luas: Kristus hadir dalam Kurban Misa, tidak hanya dalam roti dan anggur yang telah dikonsekrasikan, tetapi juga dalam Sabda dan dalam jemaat (#7).
Ketika kita hadir dalam Misa Minggu, kalian dan saya adalah bagian dari tanda lahiriah Ekaristi. Dalam tahun-tahun belakangan ini, kita melihat upaya-upaya untuk memperbaiki tanda membagi-bagikan roti dan anggur; kita juga wajib mengusahakan upaya untuk memperbaiki simbol paling mendasar dari semuanya, yakni jemaat.
Dalam Misa Minggu kita “mengungkapkan Misteri Kristus serta hakekat asli Gereja yang sejati, serta memperlihatkan itu kepada orang-orang lain” (#2). Konsili mengatakan bahwa kedatangan kita bersama untuk merayakan liturgi adalah bagai menyusun suatu jigsaw puzzle. Gambarnya ada bahkan ketika potongan-potongan itu belum disusun, tetapi ketika puzzle telah disusun, gambarnya dengan mudah dilihat. Jadi kita, Tubuh Kristus, membuat Gereja kelihatan apabila kita “menyusun diri” untuk membentuk Umat Kudus Allah.
Kehadiranmu membuat perbedaan. Kehadiranmu diperlukan jika ingin gambar kelihatan utuh. Kehadiranmu diperlukan tidak hanya sekedar untuk memenuhi suatu kewajiban moral, melainkan untuk memberi kesaksian kepada komunitas bahwa engkau cukup peduli untuk bangun tidur dan datang ke gereja. Kehadiranmu mengatakan bahwa engkau cukup percaya untuk merencanakan akhir pekanmu begitu rupa sehingga engkau dapat berada di sini bersama kami untuk memaklumkan wafat dan kebangkitan Tuhan. Tanda ini, kesaksian ini, memperkuat iman mereka yang melihatnya.
2. Tepat waktu. Hadir pada waktunya dan bahkan lebih awal, mengatakan bahwa kita menganggap apa yang akan kita lakukan adalah sesuatu yang penting bagi kita - lebih penting dari hal-hal yang dapat menahan kita di rumah.
3. Bersahabat. Luangkan waktu sebelum Misa untuk bertegur sapa (bukan hanya dengan teman-teman kita saja, melainkan teristimewa dengan tamu dan orang-orang yang tidak kita kenal), menjabat tangan sebagai ucapan selamat datang dan memandang dengan ramah - tindakan-tindakan ini merupakan bagian penting dari partisipasi kita. Ketika kita berkumpul, kita memperlihatkan Tubuh Kristus, jadi kita wajib memperlihatkan Kristus yang menyambut semua orang yang datang kepada-Nya - bahkan orang-orang berdosa.
Pelayanan ramah-tamah tak lagi dapat diserahkan sepenuhnya kepada imam yang menyapa umat di pintu gereja atau kepada petugas yang ditunjuk. Ada begitu banyak di antara kita pada hari Minggu yang merasa terkucil dan asing, begitu banyak yang haus akan tanda-tanda diterima. Kalian dan saya tahu bahwa apabila kita berdoa Tuhan mendengarkan, Tuhan menyediakan waktu bagi kita. Tetapi, tidak semua saudara dan saudari kita percaya akan hal ini; mereka butuh tanda-tanda untuk percaya. Kita, jemaat, haruslah menjadi tanda dan sakramen dari keramahtamahan Tuhan. Seulas senyum bersahabat, jabat tangan ramah dapat menunjukkan penghargaan kita kepada yang lain bahwa mereka telah datang untuk memberikan kesaksian iman mereka kepada kita. “Ibu Weston, saya senang Ibu dapat datang pagi ini … meski suami ibu sedang sakit….” Jangan biarkan sapaan kita menanti hingga Salam Damai.
4. Tempat yang tepat. Di manakah kita duduk? Adakah kita mendapatkan tempat yang memungkinkan kita bernyanyi dan berinteraksi dengan anggota komunitas lainnya? Adakah kita memudahkan mereka yang datang terlambat untuk mendapatkan tempat?
5. Menjadi seorang percaya yang bermadah. Madah lagu menyampaikan kesaksian iman kita. Pada kebanyakan Misa hari Minggu, salah satu hal pertama yang kita dengar adalah undangan untuk ikut menyanyi. Kita tidak diajak untuk sekedar menyanyi, melainkan kita diajak untuk memberikan kesaksian iman kita, untuk mengekspresikan iman bersama orang-orang percaya lainnya di sekeliling kita dengan menggabungkan diri bersama mereka dalam nada dan lagu yang sama. Mungkin terlebih penting bagaimana sikap kita ketika menyanyi di gereja daripada bagaimana kualitas nyanyian kita. Dengan bahasa tubuh dan suara kita memberikan kesaksian akan apa yang kita yakini.
Bahkan jika kita merasa kita tak dapat menyanyi dan suara kita akan lebih mengacaukan daripada memperindah nyanyian, janganlah biarkan ketidakikutsertaan kita dalam menyanyi menjadikan kita tampak seperti seorang yang tidak percaya. Membuka buku nyanyian adalah suatu kesaksian tersendiri. Hendaknyalah kita tidak menitikberatkan pada bagaimana kualitas nyanyian kita, melainkan pada makna yang terkandung dalam teks yang kita nyanyikan. Kita dapat merenungkan dan meresapkan madah dalam hati. Semakin banyak makna iman yang terkandung dalam teks dan hubungannya dengan Liturgi Sabda menjadi kriteria bagi pemilihan musik yang kita pergunakan dalam Misa. Hal ini akan memungkinkan partisipasi sebagian besar umat beriman dalam menyanyi.
 Kita Mendengarkan Sabda Tuhan
Mendengarkan Sabda Tuhan merupakan bagian penting dari “melakukan” Ekaristi. Sikap kita di hadapan Sabda bukanlah pasif melainkan aktif, mendengarkan dengan seksama. Ketika Tuhan bersabda, kita wajib menyambut pesan-Nya; kita wajib mempersiapkan diri dengan memahami bahasa dengan mana Tuhan bersabda, yakni, kita wajib mengenal Kitab Suci dengan segala ungkapan dan simbol-simbolnya.
1. Bersiap mendengarkan. Banyak umat Katolik tidak pernah mendapatkan kesempatan utnuk belajar bagaimana membaca Kitab Suci. Tetapi, sejak jajak pendapat Gallup baru-baru ini menyatakan bahwa satu dari setiap empat orang Katolik akan senang menggabungkan diri dalam kelompok pendalaman Kitab Suci jika kelompok itu ada dalam paroki mereka, semakin dan semakin banyak paroki menawarkan kesempatan untuk mendalami Sabda Allah dan untuk berdoa bersama menggunakan Kitab Suci.
Bahkan jika tidak ada kelompok pendalaman Kitab Suci di paroki kalian, ada cara-cara lain di mana kalian dapat mempersiapkan diri untuk bacaan-bacaan hari Minggu. St. Anthony Messenger Press menerbitkan “Homily Helps”, yang menyajikan suatu latar belakang sepanjang satu halaman yang mudah dipahami serta penjelasan bagi setiap bacaan-bacaan hari Minggu. “Share the Word”, yang diterbitkan secara cuma-cuma oleh Paulist Catholic Evangelization Center, menyajikan tidak hanya penjelasan untuk setiap bacaan, melainkan juga materi guna memungkinkan siapa saja membagikan refleksi mereka dengan sekelompok teman atau dengan anggota keluarga. Agar dapat sungguh mendengarkan Sabda ketika Sabda dibacakan di gereja, sepatutnyalah kita sudah membaca dan mendalami serta berdoa dengan menggunakan Sabda di rumah. Banyak paroki mencetak daftar bacaan untuk hari Minggu berikutnya dalam warta paroki. Baiklah kita meluangkan waktu untuk membaca bacaan-bacaan untuk hari Minggu berikutnya dalam Kitab Suci dan mempergunakan ayat-ayat dari sana sebagai doa kita sepanjang minggu. Homili atau khotbah apakah yang akan kita sampaikan mengenainya? Kita dapat membandingkan “homili” kita dengan homili yang kita dengar di gereja dan mengalami beraneka ragam cara dengan mana Roh Kudus berbicara kepada kita melalui Kitab Suci.
2. Menyambut Sabda dengan hormat, khidmad. Selama pembacaan kita membutuhkan suatu suasana yang hening, bebas dari gerakan-gerakan yang dapat mengalihkan perhatian kita. Keheningan tidak terjadi begitu saja dalam gereja - keheningan harus diciptakan. Sebelum pembacaan dimulai, kita wajib mempersiapkan diri untuk hening, dengan menyingkirkan hal-hal yang dapat menimbulkan berisik. Bunyi 700 lembar misalet (= lembar misa) dibuka secara bersamaan dapat mengganggu pembacaan Sabda Tuhan. Jika seorang tenggorokannya terasa gatal dan merasa hendak batuk, ia dapat mengulum permen batuk atau mint sebelum pembacaan dimulai. (Hal ini tidak membatalkan puasa Komuni, sebab kepedulian kita akan kehadiran Kristus dalam pembacaan Kitab Suci dan kepedulian kita agar orang-orang lain dapat merasakan kehadiran itu menyeimbangkan kepedulian kita akan kehadiran Kristus dalam Komuni Kudus.)
Sebagian warga komunitas paroki mungkin belum cukup dewasa untuk secara aktif membantu menciptakan suasana hening ini; paroki wajib menyediakan cara dan sarana bagi mereka untuk mendengarkan Sabda sesuai kapasitas mereka, dan juga menyediakan cara dan sarana yang memungkinkan orangtua mereka mendengarkan Sabda dan digerakkan oleh Sabda.
Jika kita datang terlambat, kita wajib menunggu hingga pembacaan selesai, baru kita mengambil tempat duduk. Ini adalah suatu cara lain dengan mana kita menunjukkan kepedulian kita akan kehadiran Kristus baik dalam Sabda-Nya maupun dalam jemaat.
3. Menjadi dan tampak penuh perhatian. Ada suatu hubungan antara efektifitas pembicara dan perhatian pendengar. Seorang pendengar yang baik mendorong pembicara untuk memberikan yang terlebih baik. Saya masih ingat ketika pertama kali saya berada di suatu paroki di mana umat sungguh mengarahkan pandangannya kepada saya sepanjang homili dan mengatakan lewat tatapan di wajah mereka bahwa mereka haus akan Sabda Tuhan dan ingin disegarkan olehnya. Adalah sungguh jauh lebih mudah bagi saya untuk mempersiapkan diri dan menyampaikan homili apabila ada orang-orang yang menunjukkan kepada saya bahwa mereka menghendaki saya mempersiapkan diri dan sungguh memberikan kepada mereka sesuatu sebagai santapan hidup mereka.
 Kita Berbagi Roti dan Anggur Ekaristi
Bahkan sebelum Doa Syukur Agung itu sendiri, kita hendaknya melihat diri kita terlibat secara aktif dalam persiapan persembahan:
1. Mengidentifikasikan diri sebagai roti dan anggur. Ketika kita melihat persembahan-persembahan ini dihantarkan dari panti umat ke altar, kita melihat makanan dan minuman kita - hidup kita sendiri - ditempatkan di atas altar untuk dipersembahkan kepada Tuhan.
2. Menjadikan kolekte sebagai bagian dari tindakan kita. Mempersembahkan uang hasil jerih payah kita dalam kolekte adalah sungguh suatu unsur nyata dari kurban kita - teristimewa di paroki-paroki di mana kolekte, atau sebagian darinya, disumbangkan kepada mereka yang membutuhkan di luar paroki. Seringkali imam, yang tidak mendermakan gajinya dalam kolekte, tidak menyadari betapa dahsyat simbol ini bagi mereka yang duduk di bangku.
3. Partisipasi dalam Doa Syukur Agung. Bagaimana berpartisipasi aktif sementara imam yang memimpin perayaan mendaraskan Doa Syukur Agung, merupakan suatu pertanyaan yang penting. Doa Syukur Agung adalah doa inti umat Kristiani, pemakluman paling penuh dari keyakinan kita. Tetapi, Doa Syukur Agung juga adalah saat di mana kita mudah mendapati benak kita melantur.
Partisipasi kita dalam Doa Syukur Agung tidak hanya sekedar “mendengarkan” dan “menonton” melainkan “melakukan”. Yesus mengatakan kepada kita, “Lakukanlah ini untuk mengenangkan Daku.”
Hal pertama yang kita lakukan adalah mengenangkan. Doa dimulai dengan mengenangkan karya agung keselamatan Allah yang berpuncak pada Yesus. Patutlah kita masing-masing mengenangkan karya Tuhan dalam hidup kita. Tes yang dapat kita gunakan untuk melihat apakah kita berpartisipasi aktif dalam kenangan ini cukup mudah. Apabila kita berpartisipasi dengan baik, kita akan mulai merasakan syukur, kita merasakan perlunya menghaturkan terima kasih. Inilah yang dilakukan Yesus: Ia mengambil roti dan anggur dan “mengucap syukur”. Inilah tindakan yang menamai kurban kita: Ekaristi, berasal dari kata kerja Yunani yang artinya “mengucap syukur”.
Kita mengungkapkan ekspresi lahiriah atas perasaan ini ketika kita menggabungkan diri bersama para malaikat dan para kudus dan berseru: Wow! Betapa Allah kita sungguh luar biasa! Kudus, kudus, kuduslah Tuhan, Allah segala kuasa, surga dan bumi penuh kemuliaan-Mu!
Kita terus dengan penuh syukur mengenangkan karya keselamatan Allah. Kita mengenangkan bagaimana Yesus menerima segalanya dari tangan BapaNya terkasih. Bahkan pada malam sebelum Ia wafat bagi kita, Ia mengambil roti dan mengucap syukur. Sementara kita mendengarkan kata-kata ini didaraskan, kita dapat menempatkan diri bersama para rasul di meja perjamuan bersama Yesus. Bagaimanakah pikiran dan perasaan dan kerinduan hati-Nya? Adakah itu merupakan pikiran dan kerinduan hati kita juga? Dalam bab kedua dari Surat kepada Jemaat di Filipi, Paulus mengatakan kepada kita “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus.” Bagaimanakah pikiran, perasaan Kristus?
Yesus mengucap syukur bahkan ketika ajal-Nya menjelang. Ia tahu bahwa apapun yang terjadi datang dari tangan BapaNya terkasih. Dengan menempatkan diri di meja perjamuan bersama Yesus, kita dihantar ke inti misteri iman kita: Mengenangkan kasih Tuhan kepada kita, kita dapat mempercayakan diri kepada Tuhan dengan penuh keyakinan bahwa tak peduli apapun yang terjadi, kita dikasihi. Kita mempersembahkan diri kita kepada Bapa bersama Yesus dalam RohNya.
4. Mencari persatuan yang lebih luas. Saya belajar dari keluarga-keluarga yang mengundang saya masuk ke dalam rumah mereka betapa menyedihkan hati orangtua apabila anak-anak mereka bertengkar, apabila yang seorang menolak berbagai mainan dengan saudaranya, apabila anak-anak menolak berkompromi mengenai acara televisi yang hendak ditonton. Dari orang-orangtua manusiawi ini saya dapat belajar bagaimana Allah, yang mengasihi masing-masing kita dengan kasih orangtua, menghendaki kita bertindak sebagai anak-anak dari satu keluarga: tidak menindas yang lebih lemah, yang tidak pandai, yang tidak berkuasa, yang tidak berpengaruh, yang tidak kaya, yang tidak modern.
Jika kita mempunyai perasaan seperti yang terdapat dalam Kristus, sepatutnyalah kita mendoakan doa Kristus: “Supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau dan Aku, ya Bapa, adalah satu” (lih Yohanes 17:22). Ekaristi menantang kita memandang melampaui keluarga manusiawi kita dan lingkaran sahabat kerabat kita, untuk memandang keseluruhan keluarga umat manusia. Batasan-batasan kasih dan kepedulian kita harus dipatahkan seperti roti yang dipecah-pecahkan. Inilah permohonan kita dalam setiap Ekaristi: “Kami mohon agar kami yang menerima Tubuh dan Darah Kristus dihimpun menjadi satu umat oleh Roh Kudus”
5. Memberikan diri melalui tanggapan. Antusiasme dengan mana kita menggabungkan diri dalam tanggapan dan aklamasi merupakan bagian penting dari partisipasi aktif kita. Bahkan meski pada suatu hari Minggu tertentu kita merasa tidak ingin memaklumkan, “Kristus telah wafat, Kristus telah bangkit, Kristus akan kembali!” kita tahu bahwa kita bukanlah tawanan dari perasaan kita. Agar suatu tindakan sungguh otentik, tindakan itu tidak harus mengalir dari perasaan-perasaan kita semata. Kita tahu bahwa perasaan seringkali mengikuti tindakan daripada mendahuluinya. Kita tahu bahwa seorang anak yang merasa bosan pada suatu siang musim panas akan merasakan yang berbeda ketika ia mulai bermain sesuatu yang ia sukai. Perasaan datang ketika perilaku berubah.
Partisipasi kita dalam aklamasi akan menjadi lebih mudah bagi kita jika aklamasi dinyanyikan dalam gaya aklamasi yang sesungguhnya. Banyak pelayan musik liturgi sadar akan hal ini dan menyajikan aklamasi-aklamasi yang “ritmenya kuat, melodinya menarik, dan afirmatif” (Music in Catholic Worship, #5).
6. Berbagi Roti dan Anggur Ekaristi. Partisipasi aktif kita mencapai puncaknya pada saat Komuni Kudus. Kita bangkit berdiri, menuju altar dan berbagi roti dan anggur. Kekhidmadan yang kita berikan pada tindakan ini, dan devosi serta penghormatan dengan mana kita melakukannya, tidak hanya berbicara kepada diri kita sendiri dan mengembangkan perasaan hormat dan takjub kita sendiri, melainkan juga berbicara kepada mereka di sekeliling kita. Kita semua peduli akan mewariskan iman kepada generasi-generasi mendatang sesudah kita. Entah kita dapat menjelaskan kepada sahabat dan anak-anak kita apa arti Ekaristi dalam hidup kita ataukah kita merasa sulit untuk menerangkan artinya dalam kata-kata, iman dan hormat yang kita ungkapkan dalam menyambut Komuni Kudus berbicara lebih kuat dari sekedar penjelasan lisan.
 Diutus ke Dalam Dunia
Yang utama dalam partisipasi aktif adalah ketetapan hati yang diperbaharui di setiap Ekaristi untuk pergi ke dalam dunia dengan ditantang oleh Sabda yang telah kita dengarkan untuk membagi hidup kita, seperti kita telah berbagi roti dan anggur. Roti yang dipecah-pecahkan merupakan tanda bagaimana hidup kita hendaknya dibagikan dan “dihabiskan” demi kebaikan segenap laki-laki dan perempuan.
Inilah partisipasi yang utama, sebab hanya jika kita memecahkan dan membagikan hidup kita demi kebaikan sesama dari Senin hingga Sabtu maka pemecahan dan pembagian roti yang kita rayakan di gereja pada hari Minggu menjadi nyata bagi kita. Dan ketika kita telah mencoba, sungguh mencoba untuk mengungkapkan kasih kepada keluarga kita, untuk jujur dalam pekerjaan, untuk membuka wawasan kita yang sempit, untuk membagi-bagikan karunia, dan ketika kita mempersembahkan bagian-bagian itu di altar, kita akan mengalami apa arti sesungguhnya dari “partisipasi aktif”. Dan kita tidak akan pernah pergi dengan tangan kosong.
Partisipasi Penuh dari Bangku
Bunda Gereja sangat menginginkan supaya semua orang beriman dibimbing ke arah keikutsertaan yang sepenuhnya, sadar dan aktif dalam perayaan-perayaan liturgi. Keikutsertaan seperti itu dituntut oleh liturgi sendiri, dan berdasarkan Baptis merupakan hak serta kewajiban umat Kristiani sebagai “bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri” (1 Petrus 2:9).
Dalam pembaharuan dan pengembangan liturgi suci, keikutsertaan segenap umat secara penuh dan aktif itu perlu beroleh perhatian yang terbesar. Sebab bagi kaum beriman, liturgi suci merupakan sumber utama yang tidak tergantikan, untuk menimba semangat kristiani yang sejati. Konstitusi tentang Liturgi Suci, # 14.
Ambil Bagian dalam Tindakan
Gereja dengan susah payah berusaha, jangan sampai umat beriman menghadiri misteri iman itu [Ekaristi] sebagai orang luar atau penonton yang bisu, melainkan supaya melalui upacara dan doa-doa memahami misteri itu dengan baik, dan ikut serta penuh khidmad dan secara aktif. Hendaknya mereka rela diajar oleh Sabda Allah, disegarkan oleh santapan Tubuh Tuhan, bersyukur kepada Allah. Hendaknya sambil mempersembahkan Hosti yang tak bernoda bukan saja melalui tangan imam melainkan juga bersama dengannya, mereka belajar mempersembahkan diri, dari hari ke hari - berkat pengantaraan Kristus - makin penuh dipersatukan dengan Allah dan antar mereka sendiri, sehingga akhirnya Allah menjadi segalanya dalam semua. Konstitusi tentang Liturgi Suci, #48.
Melambung Melampaui Perasaan Kita
Perayaan jangan sampai tanpa kesan, bahkan pada suatu hari Minggu tertentu ketika perasaan kita tidak selaras dengan undangan Kristus dan Gereja-Nya untuk bersembah sujud. Iman tidak selalu tergantung pada perasaan. Tetapi tanda dan simbol-simbol sembah sujud dapat menyampaikan ungkapan lahiriah atas iman sementara kita merayakan Ekaristi. Iman kita sendiri didorong olehnya. Kita menjadi satu dengan yang lainnya yang imannya diungkapkan secara sama. Kita melambung melampaui perasaan kita sendiri untuk menanggapi Tuhan dalam doa. Music in Catholic Worship, #5 ~ U.S. Bishops' Committee on the Liturgy.
* Fr. Thomas Richstatter, O.F.M., has a doctorate in liturgy and sacramental theology from the Institute Catholique de Paris. A popular writer and lecturer, Father Richstatter teaches courses on the sacraments at St. Meinrad (Indiana) School of Theology.
sumber : “How to Participate More Actively in the Mass by Thomas Richstatter, O.F.M., S.T.D.”; Copyright St. Anthony Messenger Press; www.americancatholic.org
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”
|