Ziarah Kita Menuju Bapa
oleh: P. Thomas Richstatter, O.F.M., S.T.D. *
Perubahan terbesar apakah yang terjadi dalam Gereja dalam tigapuluh tahun belakangan ini? Jika seorang mengajukan pertanyaan demikian kepada saya, saya pikir jawaban saya akan berkenaan dengan kodrat peziarah Gereja. Sepanjang tahun-tahun sebelum Konsili Vatican Kedua, saya tidak pernah banyak berpikir mengenai Gereja sebagai peziarah, yang bergerak, dalam suatu perjalanan. Saya memikirkan Gereja dalam gambaran-gambaran yang kokoh dan tetap.
Gambaran akan Gereja yang saya ingat dari Katekismus Baltimore saya adalah sebagai piramid: dasar yang lebar dari kaum awam, kemudian para imam, kemudian para uskup dan, akhirnya, paus di puncak. Piramid nyaris bukan peziarah! Realita-realita religius adalah hal-hal yang tetap dan statis: lembaga Gereja, keadaan rahmat, Sepuluh Perintah Allah yang dituliskan pada kedua loh batu, sakramen-sakramen yang dilayani oleh para imam bagi umat beriman.
Gereja Peziarah
Bab VII dari Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, Konsili Vatican II, adalah mengenai “Gereja Musafir”. Bab itu mengingatkan kita bahwa Gereja adalah bagaikan seorang dalam suatu perjalanan yang belum tiba di tempat tujuan, tetapi yang terus didorong maju oleh kerinduan untuk mencapai tujuan ziarah. Gambaran Gereja sebagai seorang peziarah, dalam suatu perjalanan, membuat saya merenungkan kembali banyak hal mengenai Gereja.
Menyelaraskan gambaran Gereja peziarah ini dengan gambaran lembaga Gereja yang lebih tradisional, tidak selalu mudah; tetapi melihat Gereja sebagai peziarah adalah dasar dari Surat Apostolik Paus Yohanes Paulus II “Tertio Millennio Adveniente” (= Kedatangan Milenium Ketiga, selanjutnya disingkat TMA). Seturut rancangan ini, tema Bapa Suci untuk tahun 1999 adalah ziarah kita menuju Bapa. “Seluruh kehidupan Kristiani adalah bagaikan suatu ziarah agung menuju rumah Bapa” (TMA, #49).
Apabila kita berada dalam suatu perjalanan panjang, kita perlu berhenti sekali waktu untuk melihat seberapa jauh kita telah melangkah. Kita memeriksa untuk melihat apakah kita masih berada di jalan yang benar dan mengarah pada tujuan yang benar. Selalu ada kemungkinan kita salah arah. Bayangkan sejenak engkau bepergian ke suatu tempat dan kehilangan arah. Engkau berhenti untuk menanyakan arah pada seseorang dan ia mengatakan kepadamu, “Berbaliklah! Anda di jalan yang salah!” Sekarang, jika orang itu menyampaikan nasehat ini kepadamu dalam bahasa Yunani Perjanjian Baru (yang saya tahu nyaris tak mungkin), maka engkau akan mendengar kata “metanoeite” yang artinya “berbalik”.
Saya merasa ada manfaatnya mengetahui akar makna dari kata Yunani ini sebab kata ini berperan penting dalam Perjanjian Baru. Undangan Yesus dalam Injil, “metanoeite” (berbalik), diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan kata-kata “convert” (= berubah), “repent” (= bertobat) atau “do penance” (= melakukan silih). Panggilan Injil untuk berubah, bertobat dan melakukan silih merupakan unsur-unsur penting dari ziarah kita. Pada tahun 1999 Paus mendorong kita untuk mengadakan “suatu perjalanan pertobatan yang otentik” (TMA, #50). Pertobatan adalah proses untuk menjadi percaya bahwa Yesus Kristus adalah Juruselamat dunia - dengan segala konsekuensinya!
 Perubahan yang Terus-Menerus
Kita mempergunakan kata “berubah” (= convert) dan “perubahan” (= conversion) dalam beberapa cara. Sebagai contoh, saya dibaptis beberapa hari setelah kelahiran saya dan saya dibesarkan dalam sebuah keluarga Katolik. Percaya akan Yesus telah senantiasa menjadi bagian hidup saya - meski buah-buah dari keyakinan itu terus berkembang dan bertambah matang dari hari ke hari. “Perubahan” saya telah, dan akan terus, merupakan suatu proses yang terus-menerus.
Sebagian orang pertama kali menjadi percaya akan Yesus sesudah mereka dewasa. Kita menyebut orang-orang ini “berubah menjadi percaya (= convert)”. Konferensi Waligereja mengatakan kepada kita, “Istilah `convert' hendaknya dipergunakan secara terbatas bagi mereka yang berubah dari tidak percaya menjadi percaya kepada keyakinan Kristiani dan tidak pernah dipergunakan bagi mereka yang telah dibaptis Kristen yang diterima ke dalam persekutuan penuh Gereja Katolik (Statuta Nasional untuk Katekumenat, #2). Gereja Katolik menyertai para convert ini, dan membantu mereka dalam perjalanan iman mereka dengan Ritus Inisiasi Kristen. Perjalanan iman ini dapat berlangsung selama beberapa bulan atau beberapa tahun, dan mencapai puncaknya dalam Sakramen Inisiasi: Baptis, Krisma dan Ekaristi - yang dirayakan pada Malam Paskah.
Gereja membantu para convert mempersiapkan kelahiran mereka kembali secara sakramental pada Hari Raya Paskah dengan menyediakan suatu periode persiapan rohani secara intensif, yakni 40 hari retret sebelum Pembaptisan, yang kita sebut “Masa Prapaskah”. Bagi kita yang telah dibaptis, Masa Prapaskah adalah masa untuk memeriksa kembali kemajuan kita dalam ziarah. Adakah kita mengambil rute terbaik? Apakah kita perlu mengoreksi atau mengubah jalan kita? Apakah kalian pernah berada dalam sebuah pesawat terbang komersial ketika menjelang pendaratan kalian merasa pilot mengadakan perubahan-perubahan halus dalam kecepatan dan arah pesawat agar pesawat dapat mendarat tepat pada landasan? Kita seringkali perlu mengambil tindakan serupa dalam perjalanan rohani kita. Dengan mata tertuju pada Paskah Abadi, kita wajib terus-menerus mengoreksi jalan hidup kita agar kita sampai pada tujuan sesuai dengan rancangan Tuhan bagi kita. Sakramen Rekonsiliasi (yang dicanangkan Bapa Suci sebagai fokus sakramental untuk tahun 1999) adalah sarana yang dianugerahkan Tuhan demi membantu kita melakukannya.
Sakramen Rekonsiliasi menjadikan panggilan Yesus pada pertobatan “terlaksana secara sakramental” (Katekismus Gereja Katolik, #1423). Dalam Kitab Suci kita mendengar kembali rencana Allah bagi dunia dan undangan Kristus untuk berbalik, untuk bertobat, untuk saling mengasihi satu sama lain. Dalam keheningan batin kita dan dengan dukungan komunitas paroki, kita memeriksa arah hidup kita dalam terang Roh Kudus yang membantu kita untuk melihat segala sesuatu seperti Tuhan melihatnya. Dan dalam pemakluman absolusi sakramental, kita diyakinkan bahwa Tuhan sungguh mengampuni.
Betapa penting jaminan itu pada masa kini ketika di sekeliling kita, kita mendengar tentang orang-orang yang tak dapat atau tak mau mengampuni. Dikelilingi begitu banyak “tanpa pengampunan”, secara istimewa penting bagi kita untuk mendengar kembali bahwa dosa-dosa kita telah diampuni. Dan kita dapat melanjutkan ziarah agung kita menuju Bapa tanpa dibebani dosa dan sesal.
Melanjutkan Perjalanan
Sakramen Rekonsiliasi tidak hanya membantu kita “mengoreksi jalan kita,” melainkan juga memanggil kita untuk melanjutkan perjalanan. Terkadang, kita tergoda untuk berpuas diri dengan apa yang ada sekarang, dengan jalan kita sekarang, dan membiarkan ziarah Gereja bergerak maju tanpa kita.
Suatu ketika, saya berkesempatan mengunjungi makam-makam para raja di Luxor, Mesir. Setelah berjalan berjam-jam lamanya di bawah terik padang gurun (dan melihat banyak makam yang mengagumkan), kami tiba di sebuah tenda di mana seorang berjualan minuman dingin. Tenda itu sungguh luar biasa: menawarkan tempat bernaung, minuman dingin, dan tempat untuk duduk. Saya ingin tinggal di sana selamanya, dan nyaris lupa akan banyak hal-hal indah lainnya yang masih harus dikunjungi! Tetapi, teman saya mendorong saya setelah beristirahat sejenak, dan kami pun melanjutkan perjalanan.
Atau, mungkin kalian lebih familiar dengan contoh ini: Ingatkah kalian ketika kalian mulai bersekolah? Kalian muda belia dan ketakutan; kalian berada di urutan terbawah dari jenjang sekolah dasar; anak-anak lain lebih besar dan lebih kuat dan lebih pintar. Anak-anak kelas tiga dapat menulis halus, anak-anak kelas lima hafal perkalian; anak-anak kelas delapan hafal nama ibukota dari seluruh propinsi di seluruh tanah air. Tetapi, pada akhirnya kalian menjadi anak-anak kelas delapan dan lebih besar dan lebih kuat dan lebih pintar dan lebih tahu akan segala hal yang tidak diketahui anak-anak kelas satu. Tetapi, ketika kalian telah berada di tingkat teratas, tibalah saatnya bagi kalian untuk meninggalkan sekolah dasar dan memulai sekolah menengah. Kalian harus “melepaskan” menjadi yang teratas dan memulai semuanya kembali, sebagai pemula, dan sekali lagi, anak-anak lain lebih besar dan lebih kuat dan lebih pintar.
Sekarang, bagaimana jika pada tahap itu kalian memutuskan bahwa kalian tak hendak melanjutkan dan berkata, “Aku suka di sini; Aku pikir aku akan tinggal di kelas delapan saja.” Jika orangtua kalian sama seperti orangtua saya, maka segera saja mereka akan memberitahu kalian bahwa ini adalah keputusan yang tak dapat diterima, dan mereka akan mendorong kalian untuk tanpa ragu “melepaskan”, “meninggalkannya”, dan “maju terus”.
Dalam Masa Prapaskah, Sakramen Rekonsiliasi membantu kita untuk “maju terus”. Jika kita telah berhenti atau berlambat dalam perjalanan kita menuju Bapa, Tuhan sebagai orangtua yang penuh kasih akan mendorong kita untuk “maju terus”. Kita seringkali “melepaskan sesuatu (berpantang) pada Masa Prapaskah”. Seringkali hal (atau tempat atau orang) yang Tuhan minta agar kita “lepaskan” sepanjang Masa Prapaskah bukanlah suatu dosa berat; kerapkali malah bukan dosa sama sekali. Terkadang seperti halnya kelas delapan - sesuatu yang baik, tetapi hanya pada waktu yang tepat. Dosa, bagaimanapun, adalah kegagalan untuk bertumbuh, kegagalan untuk maju terus, kegagalan untuk melanjutkan perjalanan. Pertobatan adalah “tugas yang terus-menerus untuk seluruh Gereja” (Katekismus Gereja Katolik, #1428).
Diperkaya oleh Rekan Seperjalanan
Salah satu hal yang selalu saya sukai dalam pergi berziarah adalah bahwa saya bertemu dengan orang-orang yang menarik yang mengadakan perjalanan ke tujuan yang sama. Seringkali mereka ini adalah orang-orang yang tak akan pernah saya jumpai andai saya tidak pergi berziarah. Gereja Peziarah, juga, bertemu dengan rekan-rekan seperjalanan yang, meski berada di luar tubuh Gereja-yang-kelihatan, adalah “orang yang berkehendak baik, yang hatinya menjadi kancah kegiatan rahmat yang tidak kelihatan” (seperti diajarkan Konsili Vatican Kedua dalam Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini, #22). Sebab mereka berjalan bersama kita dalam ziarah agung kita menuju rumah Bapa, adalah normal jika kita berbicara dengan mereka, terlibat dialog dengan mereka, mengenal harapan-harapan dan impian-impian mereka. Dialog dengan agama-agama dunia adalah tema ekumenis Bapa Suci untuk tahun 1999. Dalam Kedatangan Milenium Ketiga, beliau menyarankan dialog teristimewa dengan kaum Yahudi dan kaum Muslim (TMA, #53).
Masa Prapaskah 1999 merupakan masa yang tepat untuk mengenal lebih banyak agama-agama ini. Mungkin suatu kunjungan ke sinagoga dan masjid. Sementara kita umat Kristiani bersiap diri merayakan Paskah, mungkin kita ingin tahu lebih banyak mengenai perayaan Paskah kaum Yahudi atau Idul Adha kaum Muslim. Kebanyakan kita orang-orang Katolik tahu hanya sedikit saja mengenai agama-agama lain di luar agama kita. Jika kita tergoda untuk sekedar menganggap orang-orang non-Kristiani sebagai “asing”, kita diingatkan oleh Bapa Suci bahwa tahun 1999 adalah tahun yang ditujukan untuk “memperluas cakrawala orang-orang percaya” (TMA, 349). Sementara kita merenungkan “kasih tak bersyarat Tuhan bagi segenap umat manusia, dan teristimewa bagi `anak yang hilang'” kita ingat bagaimana bapa dalam perumpamaan Injil Lukas menghendaki kedua anaknya datang ke perjamuan. “Ziarah kita berlangsung dalam hati tiap-tiap orang, diperluas kepada komunitas orang-orang percaya dan kemudian menjangkau ke seluruh umat manusia” (TMA, #49).
Dalam Doa Syukur Agung untuk Berbagai Kepentingan, kita berdoa, “Bantulah agar semua orang beriman, dengan meneliti tanda-tanda zaman dalam terang iman, mampu melibatkan diri secara terpadu dalam pelayanan Injil. Jadikanlah kami peka terhadap kepentingan semua orang agar dengan melibatkan diri dalam kesedihan dan kecemasan mereka, dalam kegembiraan dan harapan mereka, kami setia membawakan kabar keselamatan kepada mereka dan bersama mereka, kami dapat melangkah maju pada jalan kerajaan-Mu.” Dan dalam Doa Syukur Agung untuk Tobat II, kita memohon, “Bapa yang kudus, sebagaimana Engkau menghimpun kami dalam perjamuan ini, persatukanlah kami dengan Santa Perawan Maria, Bunda Allah, dengan para rasul-Mu yang berbahagia dan semua orang yang kudus, dengan semua orang dari segala suku dan bahasa yang telah meninggal dalam persahabatan dengan Dikau; himpunlah kami bersama mereka semua dalam perjamuan persaudaraan abadi di langit dan bumi yang baru yang dipenuhi dengan terang damai-Mu dalam Kristus, Tuhan kami.” Inilah tujuan utama dari ziarah agung kita.
* Fr Thomas Richstatter, O.F.M., S.T.D., has a doctorate in liturgy and sacramental theology from the Institut Catholique of Paris. He teaches courses on the sacraments at Saint Meinrad (Indiana) School of Theology.
sumber : “Our Journey to the Father by Thomas Richstatter, O.F.M., S.T.D.”; Copyright St. Anthony Messenger Press; www.americancatholic.org
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”
|