Mengapa Gereja Mempunyai Registrasi Paroki?
oleh: P. William P. Saunders *
Mengapakah seorang Katolik tidak dapat mendaftarkan diri pada suatu gereja Katolik manapun yang ia kehendaki? Pendatang-pendatang baru masuk ke dalam suatu wilayah; mereka menyukai suatu gereja tertentu dan ingin menggabungkan diri. Tetapi mereka mendapati bahwa mereka tidak dapat didaftar sebab mereka tidak tinggal dalam batas wilayah gereja. Baru-baru ini, kepada seorang teman dikatakan bahwa ia dapat datang ke suatu gereja, tetapi tidak dapat didaftar sebagai warga gereja tersebut karena alasan tempat tinggal.
~ seorang pembaca di Alexandria
Sebelum membahas lebih lanjut pertanyaan mengenai registrasi paroki, pertama-tama kita patut ingat akan apa itu paroki. Kata “paroki” itu sendiri berasal dari Yudaisme yang berarti kumpulan orang. “Paroki” adalah orang-orang Israel yang tinggal dalam pembuangan di Mesir. Di kemudian hari, “paroki” menunjuk pada keberadaan duniawi orang-orang Israel yang tinggal di dunia ini tetapi bukan sebagai bagian dari dunia ini, melainkan sebagai suatu paroki peziarah umat Allah, orang-orang Israel yang merindukan Yerusalem surgawi.
Senada dengan itu, dalam kekristenan istilah “paroki” dipergunakan untuk menunjuk pada komunitas gereja yang tinggal dalam Kerajaan Allah sekarang di dunia ini tetapi dengan pengharapan akan kegenapannya kelak dalam Kerajaan surgawi. St Petrus mengingatkan Gereja Perdana, “Hendaklah kamu hidup dalam ketakutan selama kamu menumpang di dunia ini” (1 Pet 1:17), dengan menekankan gagasan akan suatu umat peziarah yang mengadakan perjalanan menuju surga. Pada masa penganiayaan, paroki adalah setiap komunitas individual yang dipimpin oleh seorang uskup. Pada tahun 100, uskup akan mengutus imam-imam untuk mempersembahkan Misa di rumah-rumah teristimewa di daerah pedesaan; di samping itu, setiap imam juga akan membawa Ekaristi Kudus yang telah dikonsekrasikan oleh uskup untuk dibagi-bagikan kepada umat beriman di tempat-tempat tersebut sebagai tanda persatuan mereka sebagai Gereja yang satu.
Setelah disahkannya kekristenan, segera muncul struktur keuskupan. Uskup mengemban tanggung jawab pemeliharaan seluruh keuskupan, yang disebut sebagai “Gereja”, misalnya “Gereja Surabaya,” dan menunjuk para imam sebagai pastor yang mewakilinya melayani komunitas-komunitas lokal yang lebih kecil, yang sekarang disebut sebagai “paroki”. Pada masa Paus Zosimus (417-418) dan Paus Leo Agung (440-461), kepada paroki-paroki diberikan wilayah geografis yang spesifik oleh uskup demi menjamin reksa pastoral jemaat. Namun demikian, karena situasi politik seputar sistem feodal pada Abad Pertengahan, terkadang yurisdiksi uskup, pula wilayah teritorial paroki, kurang begitu jelas.
Konsili Trente (1545-1563) membahas struktur paroki dari keuskupan dan menetapkan ketentuan-ketentuan berikut: Uskup adalah pastor bagi umatnya. Uskup wajib tinggal di tengah umatnya dan secara pribadi memimpin keuskupannya, yang meliputi mengunjungi paroki-parokinya. Ia wajib menjamin pewartaan iman yang otentik dan pelayanan sakramen-sakramen. Sebab itu, demi memenuhi kebutuhan umat beriman, uskup membentuk paroki-paroki dengan batas-batas wilayah yang spesifik dan menunjuk para pastor paroki dan para pastor pembantu yang telah dididik dengan pantas.
Kitab Hukum Kanonik yang sekarang mencerminkan sejarah ini, dengan memaklumkan, “Paroki ialah jemaat tertentu kaum beriman kristiani yang dibentuk secara tetap dalam gereja partikular dan yang reksa pastoralnya, di bawah otoritas Uskup diosesan, dipercayakan kepada pastor paroki sebagai gembalanya sendiri” (No. 515). Bahkan di mana keadaan menuntutnya, reksa pastoral paroki atau pelbagai paroki bersama-sama dapat dipercayakan kepada beberapa imam dalam kebersamaan, tetapi dengan ketentuan bahwasanya seorang dari mereka menjadi pemimpin dalam pelaksanaan reksa pastoral; ia harus mengerahkan kegiatan yang terpadu dan mempertanggungjawabkannya kepada uskup. Demikian pula, dalam hal seorang pastor paroki meninggal dunia atau apabila tidak ada seorang pastor paroki yang dapat ditunjuk untuk tinggal di sana, uskup tetap wajib mengangkat seorang imam yang dibekali kuasa dan kewenangan pastor paroki, untuk memimpin reksa pastoral (No. 517). Pastor paroki terikat kewajiban terhadap umatnya: ia wajib mewartakan Sabda Allah; mengajar umat dalam kebenaran-kebenaran iman; membina karya-karya kerasulan; memberikan perhatian khusus untuk pendidikan Katolik anak-anak dan kaum muda; mengusahakan agar warta Injil menjangkau mereka juga yang meninggalkan praktek keagamaannya atau tidak memeluk iman yang benar; menjamin perayaan khidmad sakramen-sakramen, dan secara khusus agar mereka sering menerima Sakramen Ekaristi Mahakudus dan Tobat; dan mendorong doa dan devosi dalam keluarga (No. 528).
Namun demikian, kehidupan paroki tidak semata-mata tergantung pada para imam. “Dekrit tentang Kerasulan Awam” dari Konsili Vatican II menegaskan bahwa awam sepatutnya penuh dengan semangat kerasulan dan bekerja erat dengan para imam mereka: “Sebab diteguhkan karena ikut serta secara aktif dalam kehidupan liturgis jemaat mereka, para awam itu penuh perhatian memainkan peran dalam kegiatan kerasulan jemaat. Orang-orang yang barangkali sedang menjauh mereka hantar kembali ke Gereja. Secara intensif mereka menyumbangkan tenaga dengan menyampaikan Sabda Allah, terutama melalui katekese. Berkat sumbangan kemahiran mereka - mereka menjadi reksa jiwa-jiwa dan juga tata-usaha harta-milik Gereja lebih tepat guna” (No. 10). Sebab itu, pastor paroki, para pastor pembantunya, dan umat beriman bekerja sama untuk membangun rasa kebersamaan dalam paroki, teristimewa melalui perayaan Misa. Karena alasan ini, dalam keadaan normal, orang-orang dewasa sepatutnya dibaptis dalam gereja paroki mereka dan para balita dalam gereja paroki orangtua mereka, dan pasangan-pasangan hendaknya menikah dalam paroki di mana mempelai laki-laki atau mempelai perempuan tinggal. Melalui semangat dan praktek dari kaum awam dan kaum klerus yang saling bekerja sama untuk mengembangkan komunitas ini, hubungan antara paroki dengan uskup semakin diperkuat (“Konstitusi Liturgi Suci”, No. 42).
Guna membantu memastikan dinamika ini dalam paroki, Gereja membutuhkan registrasi. Registrasi paroki menciptakan kewajiban ganda: di satu pihak, pastor terikat kewajiban untuk melayani kebutuhan rohani umat. Di lain pihak, umat terikat kewajiban untuk mendukung misi dan kebutuhan paroki.
Dalam kebijaksanaannya, Gereja telah melihat praktek registrasi pada gereja yang bertanggung jawab atas suatu wilayah tertentu sebagai cara terbaik bagi imam dan awam untuk memenuhi kewajiban-kewajiban tersebut. Kitab Hukum Kanonik memaklumkan, “Pada umumnya paroki hendaknya bersifat teritorial, yakni mencakup semua orang beriman kristiani wilayah tertentu, tetapi di mana dianggap bermanfaat, hendaknya didirikan paroki personal, yang ditentukan atas dasar ritus, bahasa, bangsa kaum beriman kristiani wilayah tertentu dan juga atas dasar lain” (No. 518).
Memang, dalam masyarakat kita sekarang ini, terkadang seorang merasa lebih nyaman di suatu paroki tertentu atau lebih suka suasana suatu paroki tertentu meski paroki tersebut bukanlah paroki teritorial di mana ia tinggal. Seorang pastor paroki, sesuai kebijaksanaan uskup, dapat menerima seorang dari luar wilayah teritorial sebagai warganya. Apabila pastor paroki mengijinkan orang-orang dari luar wilayah teritorial ini untuk mendaftarkan diri, maka ia juga menerima tanggungjawab atas pemeliharaan rohani mereka. Sebagai misal, jika seorang sakit atau di ambang ajal, imam paroki sekarang mempunyai tanggung jawab atas orang tersebut. Sisi ironisnya adalah bahwa dalam kasus-kasus darurat, pada umumnya para imam dari paroki terdekat - paroki teritorial - yang dipanggil. Di lain pihak, umat “dari luar wilayah” hendaknya aktif dan mendukung paroki; paroki hendaknya menjadi seperti rumah rohani baginya.
Pada intinya, Paus Pius X mengingatkan kita bahwa tujuan dari paroki adalah untuk mengumpulkan umat beriman dari berbagai macam latar belakang dan bakat yang berbeda dan memasukkan mereka ke dalam universalitas Gereja. Paroki adalah mikrokosmos dari Gereja semesta. Sementara memelihara jiwa-jiwa umat beriman warganya, paroki sebagai suatu kesatuan hendaknya siap sedia untuk menanggapi kepentingan-kepentingan keuskupan yang lebih luas, Gereja nasioal maupun internasional. Umat beriman sepatutnya juga memiliki rasa peduli akan kebutuhan-kebutuhan segenap umat beriman di seluruh penjuru dunia dan akan pengembangan Kerajaan Allah pada masa ini.
* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls, and dean of the Notre Dame Graduate School of Christendom College in Alexandria.
sumber : “Straight Answers: Why Does the Church Have Parish Registration?” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2001 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”
|