Surabaya Post, 6 April 2005
Perjamuan Terakhir Karol Wojtyla
oleh A.A. Ariwibowo*
Berpakaian putih dengan latar belakang dedaunan hijau dilengkapi dengan jubah kebesaran pemimpin umat Katolik, sosok Karol Wojtyla atau Paus Yohannes Paulus II (84) tampak membelakangi untuk mengesankan hendak pergi meninggalkan publik dunia yang dikasihinya dengan segenap akal budi dan hati. Itulah gambar yang dimuat oleh Kantor Berita Italia, ANSA ketika mewartakan kematian Paus Yohannes Paulus II. Ada semburat cahaya matahari yang tertangkap kamera, sehingga putih jubahnya terasa mendominasi gambar itu.

Ia membelakangi publik, seperti hendak melakukan perjalanan ke suatu tempat. Cahaya putih menyambutnya. Posisi tangan dari pemimpin umat Katolik sedunia itu ke bawah, sementara yang tampak hanyalah topi kecil kepausan yang melekat di kepalanya. Ia membelakangi publik untuk pergi bersama cahaya putih. Kantor berita Italia itu agaknya tidak tanpa maksud membobot kematian Paus asal Polandia itu. Kendati menurut kepercayaan Katolik, “kematian adalah awal dari kehidupan baru”, namun ia menggores kenangan akan kehangatan pribadi, dan kekokohan pendirian akan perjuangan kemanusiaan.

Gambar yang diambil wartawan kantor berita Italia itu tampak kontras dengan gambar yang disaksikan selama ini. Ia selalu melambaikan tangan, memberi berkat kepada publik dan mengajak berdialog kepada semua orang tanpa membedakan suku, agama dan ras. Untuk itu, selama 26 tahun masa jabatan kepausannya sejak ditahbiskan sebagai Paus tahun 1978, ia mengadakan perjalanan ke ratusan negara dan mengadakan pertemuan langsung dengan orang-orang yang dikasihi tidak sebatas mereka yang beriman Kristen, tetapi kepada semua orang.

Lolek panggilan akrab KaroI Wojtyla yang memiliki hobby berolahraga dari renang dan ski ini telah mengikuti Perjamuan Kudus (Sacrum Convivium) untuk kemudian menghadap Pribadi yang amat dicintai dengan segenap akal budi dan hati dalam hidupnya. Hidup Paus ditujukan bagi perjalanan demi bertemu dengan sesamanya, karena Ia yang dikasihi dengan segenap akal budi dan hati telah lebih dulu bersua dengan manusia 2005 tahun yang lalu. Dalam kemanusiaan, Paus menemukan perjalanan dunia yang dirahmati dan diberkati.

Mengenai ratusan perjalanan ke seluruh dunia, Paus Yohannes Paulus II dalam surat Apostolik Tertio Millenio Adveniente (Kedatangan Milenium Ketiga) menulis bahwa langkah itu mengimplementasikan Konsili Vatikan II, sebuah langkah revolusioner Gereja Katolik dunia untuk menyambut dunia dalam semangat kemanusiaan yang terbuka bagi pewahyuan ilahi. Gereja Katolik bersama dengan kurang lebih satu milyar umatnya hendak melakukan perjalanan ke seluruh dunia. Ini yang menginspirasikan dan mendorong Karol Wojtyla untuk bertemu dengan sesamanya di seluruh benua.

Pendahulunya yakni Yohanes XXIII pada hari menjelang Konsili dengan ziarahnya ke Loreto dan Assisi (1962), dua kota di Italia, mengisyaratkan bahwa perjalanan ke luar Vatikan untuk bertemu dengan sesama manusia adalah esensial bagi masa depan kemanusiaan itu sendiri. Ini kemudian dilakukan juga oleh Paus Paulus VI yang mengunjungi Tanah Suci (1964). Dan mengenai perjalanannya ke berbagai wilayah, Paus menulis, “perjalanan yang mempunyai arti penting dan khusus dalam hal ini adalah kunjungan ke Turki (1979), Jerman (1980), Inggris, Skotlandia dan Wales (1982), Swiss (1984), negara-negara Skandinavia (1989) dan sejumlah negara Balkan (1993).”

Sejumlah media massa internasional, antara lain CNN dan Kantor Berita Reuters, AP dan AFP menampilkan sosok Paus sebagai orang yang berperan di balik keruntuhan komunisme. Mengenai komunisme, Paus menulis dalam Ensiklik Centesimus Annus, “Dalam tergelarnya peristiwa-peristiwa itu, sudah dapat kita lihat tangan Penyelenggaraan Ilahi yang tampak sedang bekerja dengan perhatian penuh keibuan bahwa mungkinkah seorang ibu melupakan anaknya.”

Paus memiliki pendapat menarik mengenai dunia modern. Baginya, dunia modern mencerminkan situasi Areopagus Athena, tempat pendahulunya Santo Paulus berbicara, “dewasa ini ada banyak areopagus” dan areopagus-areopagus ini adalah sektor-sektor peradaban dan kebudayaan jaman ini, baik menyangkut bidang politik dan ekonomi. Namun, di tengah kesibukannya “mendunia”, akhirnya Paus pada Sabtu malam akhirnya meninggal dunia.

Uskup Agung Jakarta, Julius Kardinal Darmaatmadja SJ ketika diwawancarai oleh sebuah stasiun televisi nasional mengatakan bahwa Paus telah melewati masa penderitaan sebelum menjemput kematian. Karena Dia yang dikasihi Paus dengan segenap akal budi dan hati telah juga wafat dan bangkit.

Mengenai penderitaan, Paus dalam renungannya berjudul “O Sacrum Convivium” (O Perjamuan Kudus) menyatakan, “Dia menerima dengan bebas penderitaan yang akan menimpa-Nya. Penderitaan itu sekaligius menjadi obyek pilihan bagi-Nya. Dimensi penderitaan seperti ini berada di luar jangkauan pemahaman manusia.” Kata Paus lagi, “Sebenarnya Dia sudah menjatuhkan pilihan-Nya pada saat mengadakan Perjamuan Terakhir bersama para rasul-Nya. Dia bertindak dengan kesadaran penuh atas pilihan yang dibuatnya.”

Akankah Paus hendak menunjukkan bahwa mempersatukan penderitaan yang dirasakan oleh seluruh manusia adalah kenistaan? Bahkan ia sendiri mengalami penderitaan itu dengan rentetan sakit yang dialami sebelum wafat guna bersua dengan Dia di Yerusalem Abadi.

* Jurnalis tinggal di Jakarta